Menghormati Otoritas

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

"Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." (Amsal 29:17) Sebagai orang tua, kita telah sering mendengar ayat ini. Bahkan, ada saat-saat di mana kita sangat bergantung pada kepastian yang diberikan dalam ayat ini. Apakah saya melakukannya dengan benar? Apakah saya telah terlalu banyak mengatakan "tidak" hari ini? Apakah ini benar-benar "perang" yang pantas bagi anak dua tahun? Bagi anak tujuh belas tahun? Apakah saya membangun atau malah

"Didiklah anakmu, maka ia akan memberikan ketenteraman kepadamu, dan mendatangkan sukacita kepadamu." (Amsal 29:17)

Sebagai orang tua, kita telah sering mendengar ayat ini. Bahkan, ada saat-saat di mana kita sangat bergantung pada kepastian yang diberikan dalam ayat ini. Apakah saya melakukannya dengan benar? Apakah saya telah terlalu banyak mengatakan "tidak" hari ini? Apakah ini benar-benar "perang" yang pantas bagi anak dua tahun? Bagi anak tujuh belas tahun? Apakah saya membangun atau malah merusak rasa hormat anak saya terhadap otoritas? Pertanyaan yang bagus. Jika Anda bertanya-tanya dalam hati seperti ini dalam membesarkan anak-anak, Anda berada di jalur yang benar -- Anda menyadari bahwa Anda tidak sempurna dan bahwa tanggung jawab untuk menjadi orang tua sangatlah besar. Jika Amsal 22:6, "Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu", menggugah hati Anda sehubungan dengan peran orang tua sebagai tugas yang menakjubkan, And a berada di jalur yang benar.

Apa yang dimaksud dengan "jalan yang patut baginya"? Umumnya, orang setuju bahwa yang termasuk di dalamnya adalah hormat terhadap otoritas. Namun, dari mana seorang anak memiliki kemampuan itu? Sejak lahir, hubungan yang dimiliki seorang anak dengan orang tuanya akan memberi pengaruh terbesar dalam menentukan bagaimana anak itu berhadapan dengan para pemegang otoritas dalam hidupnya kelak. Namun, pengaruh masyarakat juga berperan. Jadi sebelum kita berbicara tentang pengaruh langsung dari orang tua, marilah kita melihat sekilas bagaimana pandangan masyarakat kita dalam menghormati atau tidak menghormati otoritas.

Pukulan Keras

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda pada saat Anda mendengar kata otoritas? Jika Anda pernah merasakan pengalaman baik dengan para pemegang otoritas dalam hidup Anda, kata itu mungkin tidak terlalu memengaruhi Anda. Namun, jika pernah ada seseorang yang menggunakan otoritasnya untuk menyakiti dan memanipulasi Anda, maka mungkin kata itu memiliki konotasi yang negatif bagi Anda. Sekarang ini, umumnya kata otoritas tidak memberi kita perasaan hangat dan nyaman. Bahkan bagi masyarakat tertentu, seperti Amerika, kata otoritas telah menjadi sesuatu yang mengerikan. Mengapa ada persepsi bahwa otoritas dapat diartikan sebagai kendali atau paksaan adalah karena adanya reaksi untuk menyalahgunakan atau menyelewengkan otoritas.

Tahun-tahun yang paling menentukan dalam kehidupan saya (Pam) adalah tahun 1960-an dan 1970-an, di mana budaya kami mencapai titik baliknya. Filsafat humanisme berkembang. Para demonstran menuntut pengakuan hak kaum wanita dan hak sipil serta menentang perang Vietnam. Inilah masa yang ditandai dengan kemarahan terhadap pemegang otoritas.

Para orang tua pada tahun 1960-an dan 1970-an memutuskan bahwa inilah saatnya melakukan perubahan. Peran orang tua sebelum era perang Vietnam umumnya bersifat otoriter. Disiplin merupakan cara efektif dalam menghentikan suatu perilaku, tetapi sering kali cara ini malah menyiksa dan menghancurkan hati seorang anak. Buku-buku tentang membesarkan anak yang efektif masih sangat sedikit dan langka. Bahkan, bukannya belajar dan melakukan penyesuaian terhadap pola-pola membesarkan anak yang diterapkan oleh generasi sebelumnya, masyarakat malah mengubah cara mereka membesarkan anak dari yang sebelumnya otoriter menjadi permisif (memberi kebebasan penuh pada anak). Perubahan inilah yang berperan terhadap kurangnya sikap hormat atau bahkan kebencian terhadap otoritas. Orang tua yang punya anak, yang berusaha untuk memerbaiki cara mereka sendiri dibesarkan sebelumnya, telah menetapkan bahwa tujuan utama mereka adalah menjadi orang tua yang disukai. Inilah yang membuat mereka sulit sekali menetapkan batas-batas. Ini jugalah yang telah membawa kita berpindah dari keluarga dengan peraturan ketat kepada keluarga yang hampir tanpa aturan. Hasilnya kita kehilangan sikap hormat yang sehat terhadap otoritas. Apakah Anda menunjukkan sikap hormat terhadap otoritas? Luangkanlah waktu untuk menilai diri Anda sendiri.

Luangkan Waktu: H-O-R-M-A-T

Isilah pertanyaan-pertanyaan berikut ini untuk mengukur sikap H-O-R-M-A-T Anda:

  1. Jika seorang kasir lupa mencatat harga barang yang Anda beli atau salah mencatat harga, sehingga harganya menjadi lebih murah, apakah Anda akan mengingatkannya?
  2. Apakah Anda memarkir kendaraan Anda di tempat khusus bagi orang cacat "sebentar saja"?
  3. Apakah Anda sering mengebut dan melaju sesuai dengan batas kecepatan hanya jika ada polisi atau Anda ketahuan mengendarai mobil melewati batas kecepatan?
  4. Apakah Anda mengatakan dusta "putih" untuk melepaskan diri dari sesuatu yang tidak ingin Anda lakukan?
  5. Pernahkah Anda membiarkan anak Anda tanpa sabuk pengaman hanya karena Anda tidak punya waktu untuk memindahkan sabuk pengaman anak dari mobil yang satu ke mobil yang akan dipakai?

Jika Anda menjawab "ya" pada pertanyaan ini, Anda tidak sendirian. Inilah hal-hal yang banyak dilakukan orang karena kita tidak punya waktu untuk "melakukan yang benar" atau karena kita telah terbiasa bersikap "ini tidak apa-apa". Apakah izin Anda dalam menjalankan peran sebagai orang tua harus dicabut jika ternyata Anda menjawab "ya" pada dua atau tiga pertanyaan di atas? Tidak, tetapi Anda harus meninjau sikap Anda sendiri terhadap otoritas. Jujurlah pada diri Anda sendiri. Apakah Anda memiliki rasa hormat yang sehat terhadap perintah Tuhan "jangan membunuh", tetapi cenderung melanggar tanda "dilarang parkir"? Jika ya, maka kemungkinan yang ada adalah anak-anak Anda melihat perilaku Anda dan belajar bahwa ternyata boleh- boleh saja kita tidak menaati peraturan jika kita tidak menyukainya atau jika tidak menyenangkan. Inilah saatnya Anda memikirkan kembali sikap Anda sendiri. Tuliskan bagaimana Anda bisa meningkatkan cara Anda menunjukkan sikap hormat kepa da para pemegang otoritas di atas Anda. Mulailah dari hal-hal kecil, dan teruslah meninjau ulang catatan Anda.

Bagaimana bentuk sikap hormat terhadap otoritas bagi anak-anak? Berikut ini beberapa pernyataan singkat. Tandailah setiap kalimat yang menurut Anda telah diterapkan pada anak Anda. Jika anak Anda tidak melakukan sebagian besar dari daftar di bawah ini, mungkin Anda perlu mengusahakannya lagi. Daftar ini bukan penilaian mutlak, tetapi bisa dijadikan langkah awal yang baik.

Seorang anak yang menghormati otoritas akan:

  1. berbicara dengan bahasa sopan kepada orang dewasa;
  2. menggunakan nada hormat kepada orang lain;
  3. menatap mata dengan sopan pada saat berbicara dan pada saat mendengarkan orang berbicara kepadanya; dan
  4. menunjukkan sikap suka menolong.

Tujuan Fungsional dari Otoritas

Sebagaimana ada peraturan dalam pertandingan untuk menjamin agar setiap pemain memiliki peluang yang seimbang untuk menikmati pertandingan, demikian pula setiap sistem masyarakat memiliki peraturan bagi kebaikan setiap orang. Menurut Kevin Gerald dalam bukunya "The Proving Ground", otoritas harus selalu memiliki tujuan fungsional. Otoritas ditujukan untuk mencegah kerusuhan, ketiadaan hukum, dan kekacauan. Namun, tujuan otoritas lebih dari sekadar alat pencegahan. Otoritas harus menciptakan suatu lingkungan di mana kita bisa berfungsi secara optimal. Misalnya, jika hukum tidak melindungi kita dari orang-orang yang mencuri, membunuh, atau mengendarai kendaraan lebih dari 100 mil (160 km) per jam, tentu kita hidup dalam ketakutan jika kita berada di tempat umum. Jika tidak ada struktur otoritas di sekolah, tidak akan ada murid yang belajar.

Jadi, dari manakah asal konsep otoritas itu? Dari Allah, yang merancangnya bagi kebebasan kita dan kesejahteraan kita. Tahu paradoksnya? Dia menaruh para pemegang otoritas dalam hidup kita supaya kita bisa menjadi sesuai dengan tujuan kita diciptakan oleh-Nya dan menjadi seperti yang kita cita-citakan. Marilah kita lihat Matius 28:18-20. Yesus mengatakan, "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."

Biasanya pada saat kita membaca ayat ini, perhatian kita terpusat pada perintah untuk memberitakan Injil dan tidak memerhatikan kuasa dalam kalimat pertamanya. Kita diperlengkapi untuk mengikuti perintah-Nya, karena otoritas (kuasa) yang Yesus miliki di sorga dan di bumi. Dia turun dan mengangkat kita secara emosi dan rohani untuk menggenapi perintah itu. Dialah Pelatih kita, Guru kita, Kekasih Jiwa kita. Namun, hanya jika kita hidup seturut jalan-jalan-Nya dan di bawah otoritas-Nyalah, kita bisa bekerja dengan lebih efektif.

Banyak orang mengalami kesulitan untuk memahami arti otoritas karena kurangnya penjelasan, dan bahkan penyelewengan otoritas di dalam gereja. Donald E. Sloat, Ph.D. adalah seorang psikolog yang membuka praktik sendiri di Michigan. Dalam bukunya, "The Dangers of Growing Up in a Christian Home", dia menulis, "Salah satu praktik paling berbahaya dalam keluarga Kristen adalah sikap orang tua yang menggunakan Allah dan ayat-ayat Alkitab untuk mengendalikan anak-anak mereka, mengelak dari tanggung jawab pribadinya sendiri, dan membenarkan cara-cara membesarkan anak yang salah." Donald menyarankan agar kita menghindari kata-kata: "Apa kamu tidak malu pada dirimu sendiri?" dan "Apa kata Yesus kalau Dia melihatmu berbuat begitu?" Pernyataan-pernyataan seperti ini dan tindakan-tindakan mengendalikan anak dengan manipulatif ini, malah memberikan batu dan ular pada anak-anak kita, bukannya roti dan ikan (lihat Matius 8:7-11). Tindakan-tindakan seperti itu mengakibatkan kerusakan yang lebih besar dari yang kita duga terhadap perkembangan konsep Allah dalam diri anak kita. Yesus tidak menyalahgunakan otoritas-Nya dengan memanipulasi manusia agar memiliki perilaku yang diinginkan.

Penting bagi kita untuk membangun pengertian bahwa otoritas memberikan tujuan yang kokoh bagi kehidupan keluarga, tempat kerja, dan masyarakat yang baik. Namun perlu penjelasan berulang kali bahwa agar semua sistem dapat berfungsi baik tanpa kerusuhan dan kekacauan, maka harus ada seorang pemimpin. Di samping itu, posisi pemegang otoritas menuntut tanggung jawab serius dan menghormati orang-orang yang berada di bawah naungannya. Tanggung jawab dan sikap hormat itu merupakan dasar suatu hubungan yang sehat.

Menggunakan Otoritas dengan Bertanggung Jawab

Tidak ada tempat yang lebih baik untuk mengalami hubungan yang sehat selain di dalam keluarga. Keluarga harus menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar memahami nilai-nilai yang berharga tentang mengasihi diri sendiri, mengasihi orang lain, dan mengasihi Allah. Memang, keluarga bukanlah tempat yang sempurna, tetapi idealnya, keluarga adalah tempat berlimpahnya kasih karunia, di mana kesalahan-kesalahan juga dilakukan oleh semua anggota. Inilah tempat yang aman. Di mana ada kasih dan hormat, pemulihan dan rekonsiliasi mengalir alami.

Kita tahu bahwa anak-anak tanggap terhadap batasan-batasan. Anak-anak kecil khususnya, akan berusaha melawan jika ada figur otoritas yang jelas dan tegas. Bayangkan seorang anak balita, sebut saja namanya Annie, yang baru saja membayangkan kalau dirinya terpisah dari ibu dan ayahnya. Bayangan yang mengerikan! Lalu, bayangkan dia bertanggung jawab atas semua keputusan yang diambilnya. Jelas, dia tidak akan bisa memikul tanggung jawab itu; otaknya belum siap. Dia butuh seseorang yang bisa memberitahunya dalam bahasa yang dapat dia pahami untuk berpegangan tangan saat menyeberang jalan, jangan menyentuh kompor panas, dan jangan menaruh mentega di dalam VCR.

Namun, dia juga butuh keseimbangan. Semakin bertambah dewasa, dia perlu menentukan keputusannya sendiri, sedikit demi sedikit, dan tetap di dalam batas-batas aman. Jadi, bagaimana Anda menyeimbangkannya? Dengan menggunakan pola membesarkan anak yang mengajarkan pada anak-anak untuk menghormati otoritas Anda, pola yang menunjukkan bahwa Anda memenuhi hidup mereka dengan aturan dan ketetapan, karena Anda mengasihi mereka.

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Anak Umum

Sumber
Judul Buku: 
7 Kecerdasan Emosional yang Dibutuhkan oleh Anak Anda
Pengarang: 
Pam Galbraith dan Rachel C. Hoyer
Halaman: 
35 -- 45
Penerbit: 
Gospel Press
Kota: 
Batam
Tahun: 
2005