Permainan Anak -- Menghibur atau Menghancurkan?

Jenis Bahan PEPAK: Tips

Dunia anak adalah dunia permainan. Seorang anak akan tumbuh dengan wajar bila ia dibiarkan bebas berkembang dengan segala permainan yang ada untuk menciptakan kreativitas dan imajinasinya. Para pendidik sepakat bahwa proses belajar yang paling cepat dan efektif bagi anak adalah bermain. Namun, sadarkah para orangtua dan pendidik, bila ada permainan anak-anak yang justru dapat menghancurkan masa depannya? Apakah ini tidak terlalu nampak mengada-ada?

Dalam seminar Bahaya Permainan Anak yang diadakan oleh Gerakan Peduli Anak Indonesia (GPAI) di Auditorium Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya pada 10 Nopember 2000 lalu, Dra. Magdalena Pranata Santoso, MSi memberikan masukan perihal beberapa permainan anak yang dianggap cukup berbahaya bagi perkembangan jiwa serta karakter seorang anak. Selain itu, ia juga mengungkapkan beberapa fakta yang terjadi berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan oleh permainan anak. Ini bukan terjadi di manca negara, melainkan terjadi di Indonesia, di negeri kita.

Menyitir kitab Markus 10:14 dan Matius 18:6,10,14 tentang kerinduan Tuhan Yesus agar setiap anak kecil itu tidak disesatkan dan juga tidak terhilang, Magdalena, yang juga staf pendidik di Universitas Kristen Petra Surabaya ini mengungkapkan iblis selalu ingin menyesatkan anak-anak. Dan, jalan yang paling mudah untuk menyesatkan mereka adalah melalui permainan, karena memang itulah dunia mereka. Lantas, ibu seorang putra ini memberi 4 (empat) peringatan.

PERTAMA, dunia anak dan dunia permainan adalah dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Yang memberikan peluang untuk kemungkinan yang bersifat negatif adalah ketika anak bermain dengan memakai sarana yang salah dan tidak mendidik. Salah satu poin yang dibahas di sini adalah perihal Kotak Mainan Elektronik, seperti televisi, video player, VCD player, nintendo, play station, dan lain-lain. Yang menjadi masalah bukanlah sarananya, melainkan pada materinya. Ketika materi yang dimunculkan melalui kotak mainan elektronik itu bersifat negatif, pengaruhnya dalam diri anak pasti sangat kuat. Anak dipengaruhi dan belajar sesuatu yang negatif pula. Hal inilah yang akan segera mempengaruhi perilaku, karakter bahkan kepribadiannya.

KEDUA, keluarga modern yang ayah dan ibunya bekerja merasa perlu mencari semacam pengganti posisi orang tua untuk anaknya. Pengganti itu bisa saja baby sitter, nenek, pembantu, kakak sulung atau juga ‘guru’ lainnya. Mereka inilah yang nantinya memberikan atau mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Kebetulan, anak-anak adalah murid yang baik. Mereka cepat sekali belajar dan beradaptasi, serta mengembangkan daya fantasi mereka. Bila guru kehidupan itu tidak mengajarkan nilai-nilai kebenaran Allah, kita bisa membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.

KETIGA, sesungguhnya guru yang menggantikan posisi ayah dan ibu di rumah sudah ada. Mungkin keberadaannya tidak kita sadari, namun dapat kita rasakan. Ia hadir di rumah kita karena kita sendirilah yang telah mengundang guru itu ke rumah kita. Namanya, Guru Elektronik. Kehadirannya kita beli dengan harga mahal, namun kita tak dapat mengendalikannya. Apalagi saat ia mengajarkan kekerasan, sihir, okultisme, fantasi seksual, kekejaman dan sebagainya. Anak- anak terlanjur jatuh cinta pada permainan yang mengajarkan taktik berperang, taktik menyerang, dll.. Menurut Dr. Arnold Goldstein, direktur pusat agresi di Syracuse University, bila anak bermain dengan kekerasan, hal itu akan meningkatkan risiko si anak untuk memakai agresi dalam kehidupan nyata. Apa ini ada hubungannya dengan kerusuhan yang merebak di tanah air belakangan ini?

KEEMPAT, kita sudah sepatutnya menyadari bahwa dunia realita dan fantasi amat tipis batasnya. Nilai-nilai kenikmatan, kebebasan, individualistis, materialistis, kekerasan, kesuksesan sangat mendominasi pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Lalu, nilai apakah yang sudah kita ajarkan pada anak-anak kita? Adakah rasa hormat dan mengasihi Allah, adakah cinta kasih, adakah tanggung jawab, taat pada otoritas, kebaikan, kejujuran, kesetiaan, keberanian, keadilan, kepedulian sosial, persahabatan dan lain-lain?

Mencermati keempat hal di atas, Magdalena mengajak sekitar 500 peserta seminar yang hadir untuk membuat komitmen.

  1. Menerima peran orangtua dan pendidik sebagai sebuah tanggung jawab hidup serius di hadapan Tuhan. Maksudnya, para pendidik Kristen, termasuk orangtua harus dapat mendidik anak di jalan Tuhan. Karena permainan elektronik lebih menarik bagi anak-anak, maka orangtua dan guru seharusnya memberikan figur dan teladan yang lebih kuat dalam hidup anak.

  2. Menyadari bahwa dunia bermain sangat penting dan kuat dalam mempengaruhi kehidupan anak-anak. Sebagai orangtua dan pendidik Kristen, sudah sepatutnya kita turut melindungi anak-anak dari bahaya permainan itu.

  3. Harus ada kerja sama antara orangtua, guru, dan juga rohaniwan. Untuk itu, perlu dipersiapkan perpustakaan yang dilengkapi dengan hadirnya program TV, VCD, video games, play station serta permainan anak yang didesain dengan nilai-nilai yang benar.

  4. Menyadari bahwa panggilan utama orangtua dan para pelayan anak adalah untuk membawa anak-anak dan membimbing mereka sejak kecil agar menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat pribadinya. Satu pertanyaan untuk direnungkan, kemana anak kita akan pergi bila malam ini mereka meninggal dunia?
    <fanny/warningnews.com>

Kategori Bahan PEPAK: Anak - Murid

Sumber
Judul Artikel: 
Permainan Anak -- Menghibur atau Menghancurkan?
Judul Buku: 
Forum Diskusi e-BinaGuru
Pengarang: 
Fanny
Situs: 

subscribe-i-kan-binaguru(at)xc.org