Pada awalnya ketika masih duduk di bangku sekolah, tepatnya di SMA, sempat terucap dari mulut saya sebuah janji. Ya, sebuah janji kepada Tuhan. Janji untuk melayani Tuhan dan menjadi berkat bagi orang-orang di sekeliling saya. Ketika janji itu terucap, tidak langsung membuat saya memutuskan untuk menjadi seorang guru sekolah minggu. Saya masih menunggu jawaban dari Tuhan. Sebuah jawaban atas pertanyaan dan doa saya. Sebuah jawaban di "ladang" mana Tuhan mengutus saya.
Waktu pun berlalu, saya mulai masuk ke dalam masa-masa kuliah. Karena banyaknya tugas yang harus saya kerjakan, perlahan-lahan janji itu mulai terlupakan. Saya mulai menikmati masa-masa kuliah saya dengan segudang aktivitas, yang akhirnya menuntun saya pada sebuah jawaban yang saya tunggu-tunggu, sebuah jawaban atas pertanyaan dan doa yang hampir saya lupakan.
Saya mulai terjun dan mulai terjerumus dalam dunia anak-anak. Saat itu saya bukan langsung memutuskan untuk menjadi seorang guru sekolah minggu, tetapi saya memutuskan untuk mulai menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar saya, yang mungkin bagi sebagian besar orang tak dianggap dan bahkan terlupakan.
Saya mulai melakukan beberapa aktivitas pada sekelompok anak jalanan. Anak-anak yang sering kali dianggap sebelah mata oleh beberapa orang, yang dipandang menjijikkan oleh sebagian orang, dan bahkan anak-anak yang mungkin di mata kita terlupakan. Seminggu sekali saya selalu menyempatkan diri pergi ke sebuah rumah singgah, sebuah tempat di mana para anak jalanan sering kali berkumpul untuk sekadar melepaskan lelah mereka, bermain, atau bahkan tinggal di sana.
Hal ini terus berlanjut hingga bertahun-tahun, sampai suatu saat Tuhan menegur saya melalui seseorang hamba-Nya. Ketika itu saya sempat terdiam sejenak dan berpikir bagaimana mungkin saya melayani di tempat orang, tetapi di tempat saya sendiri, yang rupanya juga membutuhkan bantuan, justru saya hanya menutup mata saja.
Satu tahun bukan waktu yang mudah dan singkat bagi saya, hingga saya bisa memutuskan apa yang sebaiknya saya lakukan. Ya, kembali semua itu saya bawa dalam doa. Dalam sebuah pertanyaan kepada-Nya, apakah memang Tuhan mengutus saya untuk melayani di sekolah minggu GKIPI (GKI Pondok Indah), akhirnya saya mendapatkan jawaban-Nya. Ya, jawaban yang lama saya tunggu-tunggu, yang membuat saya memutuskan untuk melayani Tuhan sebagai seorang guru sekolah minggu.
Tetapi, ternyata menjadi seorang guru sekolah minggu tidaklah mudah. Dalam melayani Tuhan di sekolah minggu, saya sempat mengalami naik-turun pada komitmen saya. Kalau saya boleh mengutip dari seorang teman, katanya, "Ketika kita mulai memutuskan untuk mengikut Tuhan dengan lebih bersungguh-sungguh, maka saat itu juga iblis akan semakin menggoda kita dengan segala tipu muslihatnya, lebih hebat dari sebelumnya." Tetapi saya terus-menerus membawa semua pergumulan saya dalam doa.
Saya percaya bahwa ketika kita tetap tekun dalam perkara-perkara kecil, maka Tuhan akan memercayakan perkara besar kepada kita. Ya, itulah yang selalu saya percayai. Puji Tuhan, sampai saat ini saya masih tetap melayani-Nya sebagai seorang guru sekolah minggu dan tetap melayani-Nya juga di tengah-tengah kelompok anak jalanan. Saya masih terus belajar untuk menyeimbangkan pelayanan saya di dalam gereja dan pelayanan di luar gereja. Kedua aktivitas yang membuat saya semakin mencintai dunia anak-anak dan semakin mencintai Tuhan.
Itulah kisah seorang guru sekolah minggu, seorang sarjana psikologi yang masih muda, dan belum lama bergabung bersama dengan para guru sekolah minggu dalam Komisi Anak GKI Pondok Indah.
Diambil dan disunting dari:
Nama situs | : | gkipi.org |
Alamat URL | : | http://gkipi.org/melayani-sebagai-guru-sekolah-minggu-tunggu-dulu%E2%80%A6/ |
Penulis artikel | : | Ms |
Tanggal akses | : | 1 Juni 2011 |
Kategori Bahan PEPAK: Kesaksian Guru
- Login to post comments
- Printer-friendly version