Perlukah Hadiah Natal bagi Anak?

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Bolehkah merayakan Natal dengan pesta? Bagaimana pula pemberian kado atau hadiah Natal buat anak? Semuanya boleh-boleh saja, asal anak tetap diajari perihal esensi Natal yang sesungguhnya.

Bagi anak, Natal bisa berarti makan-makan dan hadiah. Namun, sebetulnya orang tua bisa memberi lebih. Menurut Henny E. Wirawan, M.Hum., Psi. dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, "Orang tua bisa menginformasikan kepada anak bahwa Natal adalah memperingati kelahiran Tuhan Yesus yang tugasnya menyelamatkan manusia."

Bisa jadi awalnya anak belum mengerti. "Namun, perlahan anak akan mulai mengerti. Apalagi Natal kan dirayakan setiap tahun, beda dengan perayaan keagamaan lain. Di sekolah minggu, juga ada kelas untuk batita kok. Jadi, tak sulit sebetulnya bagi anak untuk membayangkan dan memahami apa yang terjadi saat Natal," terang Henny. Belum lagi pada setiap perayaan Natal biasanya juga digelar drama dengan visualisasi sehingga anak akan mudah mengerti.

Merayakan Natal, ujar Henny, boleh-boleh saja asalkan tidak bermewah-mewah. "Soalnya esensi Natal kan bukan pesta-poranya, melainkan pada semangat berbagi. Ada sesuatu yang dibagi kepada orang lain, itulah yang harus ditanamkan pada anak," lanjut Henny. Jadi, kalau Natal diidentikkan dengan makan-makan, pesta di hotel, atau hadiah semata, justru menyimpang dari esensi yang sebetulnya. "Yesus saja dilahirkan di tempat yang sangat sederhana kok, jadi kenapa kita merayakannya berlebihan di tempat-tempat yang sangat mewah misalnya. Ini kan tidak tepat."

Henny menganjurkan, lebih baik memperingati Natal dengan berkunjung dan berbagi ke panti asuhan atau panti jompo. "Ingat, esensi Natal adalah membagi kasih kepada sesama manusia," ujar Henny. Esensi Natal juga bukan pada baju baru atau kado, "Meskipun kalau mau pakai baju baru juga boleh. Ini yang mestinya sejak kecil sudah diajarkan pada anak. Natal itu seharusnya diperingati dalam kesederhanaan."

AJARI UNTUK MEMBERI

Natal juga berarti hadiah atau kado, apalagi buat anak-anak. Kado biasanya diletakkan di bawah pohon Natal. "Kado Natal itu kan sebetulnya intinya pemberian `reward` buat anak setelah selama setahun bertingkah laku baik. Ini yang kemudian menjadi tradisi pemberian kado."

Yang jelas, ada hadiah atau tidak, Natal tetap Natal. Bahkan dilihat dari sejarah dan tradisinya, kelahiran Tuhan Yesus sebetulnya bukan pada tanggal 25 Desember. "Sampai sekarang, orang enggak pernah tahu tanggal berapa Tuhan Yesus lahir." Intinya, tanggal sebetulnya tidak penting, yang penting adalah esensinya. "Bukan kadonya, makanannya, bajunya, atau hal-hal sampingan lain, melainkan maknanya yang harus ditanamkan pada anak."

Orang tua sebaiknya mengajak anak berunding mau memperingati Natal seperti apa. "Misalnya, orang tua memberikan wawasan, `Selama ini Adik kan sudah dapat kado. Nah, sekarang Adik yang kasih kado buat orang lain dong.` Jadi, tetap nyangkut dengan esensi Natal."

Anak balita sudah bisa kok diajar berbagi seperti itu. Misalnya, jika anak punya banyak boneka. "Tanyakan pada anak, `Mana boneka yang mau diberikan?` Tentu yang diberikan bukan boneka yang sudah jelek. Justru yang harus diberikan adalah boneka yang paling bagus. Latihan berbagi ini memang sulit, tapi harus dilatih. Ajarkan anak untuk memberi yang terbaik. `Mama-Papa kan juga memberi bukan yang sisa`," lanjut Henny.

Soal siapa yang harus diberi, bisa siapa saja. Bisa teman yang paling tidak punya. "Pokoknya bagikan kepada orang yang paling membutuhkan tanpa harus seiman. Kalau memang temannya sudah cukup semua, bisa dibagi ke orang lain yang memang butuh," lanjut Henny seraya menekankan pentingnya mengajarkan hal seperti ini sejak kecil agar anak punya kepedulian, rasa sayang, dan empati pada orang lain. Semuanya pasti akan berdampak sampai anak besar kelak. "Natal kan hanya salah satu momen, selebihnya masih banyak hari lain bisa dilakukan."

CARI YANG BERGUNA

Memberikan hadiah pada anak memang sah-sah saja. Soal hadiah apa yang sebaiknya diberikan kepada anak, Henny menyarankan jangan yang terlalu mewah. "Yang paling penting harus berguna bagi anak. Cari hadiah yang mendidik dan bersifat melatih anak melakukan sesuatu," ujarnya. Hadiah boneka biasanya sudah banyak. "Permainan edukatif yang bisa mengembangkan kognisi atau kreativitas anak bisa menjadi pilihan," sarannya.

Bisa juga memberikan hadiah peralatan musik, misalnya elekton (electone). "Enggak usah yang terlalu rumit, yang kecil saja, supaya minat musik atau seni anak juga tumbuh." Kaset anak bisa juga menjadi pilihan lain. "Murah meriah dan bisa sepanjang tahun disetel. Kalau bisa jangan kaset lagu-lagu Natal karena disetelnya hanya pas hari Natal. Kaset rohani yang lain supaya anak bisa belajar lebih religius. Atau Alkitab bergambar." Intinya, lanjut Henny, pilihlah hadiah atau kado yang ada gunanya jangan, cuma kue atau cokelat.

Hadiah bukan berupa benda, juga bisa, misalnya makan malam di restoran atau berlibur. "Boleh-boleh saja kalau memang ada dananya. Cuma, `kan enggak semua orang bisa. Jadi, sesuaikan dengan bujet yang ada. Yang penting nilai-nilai Natal tetap dimasukkan. Selama berlibur juga jangan lupa beribadah. Kadang-kadang kalau pas liburan, ke gerejanya prei dulu," kata Henny.

Yang penting, terapkan prinsip keseimbangan. Artinya, kita mau ke mana dapatnya apa. "Kalau tidak, anak bisa-bisa jadi tukang tagih. Setiap Natal tiba, sudah siap dengan permintaan yang bermacam-macam." Beda jika anak diajar untuk tak hanya menerima, tapi juga memberi. "Anak akan merasakan, `Oh, kalau memberi itu ternyata begini rasanya.` Sehingga anak akan merasakan betapa tak mudahnya memberi sesuatu kepada orang lain itu." Yang penting, anak jangan melulu diberi karena justru akan merugikan anak di masa depan. Orang tua harus mengajar anak untuk berbagi.

Dengan belajar memberi dan menerima, anak juga akan belajar prihatin. Mungkin tidak langsung timbul pada anak balita, tapi kalau selalu diajarkan, anak lama-lama juga akan tahu, termasuk memahami kondisi orang tua, misalnya. "Ia tahu rasanya berbagi, merasakan kalau dapat sesuatu. Kalau cuma dikasih terus, anak akan lupa berterima kasih. Enggak pernah bersyukur dan cenderung `take for granted`. Sehingga anak akan berpikir, `Memang sudah seharusnya saya dapat hadiah Natal kok.`"

AJANG SILATURAHMI

Natal juga memiliki fungsi untuk bersilaturahmi, menjalin keakraban dengan keluarga besar atau dengan tetangga. "Natal biasanya kan libur, jadi apa salahnya berkunjung ke rumah saudara, entah Nenek atau Paman sekaligus mempererat persaudaraan. Anak juga akan mengenal siapa saja saudara-saudaranya."

Yang tak boleh ketinggalan adalah mengajarkan unsur berbagi saat bersilaturahmi. Misalnya sebelum pergi ke rumah Nenek, ajak anak untuk berdiskusi, `Kita ke rumah Nenek bawa apa ya?` atau `Kita mau ketemu sama Nenek, bagaimana ya rasanya?` "Jadi, anak diajak ngobrol, apa pendapatnya, bagaimana perasaannya, dan sebagainya.

Yang tak kalah penting, pada saat bersilaturahmi ajarkan anak nilai-nilai lain, misalnya soal sopan santun selama bertamu. "Ini memang harus diajarkan sejak dini," ujar Henny. Apa saja yang bisa diajarkan pada anak saat bertamu?

  1. Ajari anak untuk duduk manis, tidak menyela pembicaraan pada saat orang tua tengah berbicara.

  2. Ajari anak untuk meminta izin sebelum mengambil sesuatu. Juga minta anak untuk tidak membuat anak lain menangis. Kalau perlu dibicarakan sebelum berangkat, dan dibuat kesepakatan.

  3. Jangan lupa, setelah pulang, bila perilaku anak ternyata menyenangkan selama bepergian, puji anak. "Wah, kamu tadi pintar, lho, di rumah Nenek." Dengan demikian, ajang silaturahmi dijadikan sarana untuk membangun perilaku anak agar anak mempertahankan sikapnya. Kalau bisa malah lebih bagus di kemudian hari.

Sumber:
Penulis Artikel:Hasto Prianggoro
Judul Buku:Tabloid Nova
Situs:http://www.tabloidnova.com/articles.asp?id=7198

Kategori Bahan PEPAK: Perayaan Hari Raya Kristen

Sumber
Judul Buku: 
Tabloid Nova