Sekitar Pemberian Hukuman

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Hukuman pada hakikatnya adalah suatu "penderitaan" yang sengaja dilakukan guna memberikan suatu asosiasi dengan perbuatan tidak baik, yang dilakukan oleh seorang anak. Jadi, jika penderitaan tersebut tidak dirasakan, anak belum merasa dihukum. Dengan demikian, agar hukuman benar-benar tepat, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah adanya suatu penderitaan yang dirasakan oleh si anak.

Tujuan jangka pendek dari menjatuhkan hukuman itu ialah untuk menghentikan tingkah laku yang salah; sedangkan tujuan jangka panjangnya ialah mengajar dan mendorong anak-anak untuk menghentikan sendiri tingkah laku mereka yang salah itu, dengan mengarahkan dirinya sendiri. Anak-anak ingin dikoreksi, tetapi mereka menghendaki koreksi dalam suatu semangat umum yang bersifat menolong dan mengasuh mereka. Dengan menjalankan suatu aturan, Anda menolong anak-anak untuk memahami batas-batas mereka, dan dengan demikian membangun serta mengembangkan pengendalian diri sendiri.

Bila hukuman itu tidak dikaitkan dengan disiplin, dalam artian jika hukuman tidak dikaitkan dengan peraturan yang Anda buat, maka sifatnya akan berubah menjadi merugikan. Menjatuhkan hukuman pada seorang anak dapat bersifat merugikan, apabila sebenarnya anak tidak bersalah sedikit pun juga. Jika anak memandang orangtuanya semata- mata sebagai orang yang ditakuti, bukan orang yang dapat melindunginya, maka hal ini juga kurang sehat. Hukuman dapat pula membawa akibat yang merugikan bila tidak dilakukan dengan segera.

Bila kita lihat, ada beberapa orangtua yang menganggap bahwa menghukum anak dengan cara memukul merupakan suatu cara yang paling ampuh. Karena pukulan akan memberikan suatu perasaan tidak enak pada anak, sehingga anak cenderung untuk tidak mengulangi perbuatannya.

Namun bagaimanapun juga, memberikan hukuman fisik sebaiknya dihindarkan, meskipun hanya berupa jeweran atau pukulan kecil. Hukuman-hukuman fisik ini, seberapa pun ringannya, akan memberikan akibat buruk bagi perkembangan anak selanjutnya. Si anak cenderung berkembang sebagai anak yang agresif. Karena mungkin saja, ia akan meniru semua tindakan kekerasan yang pernah Anda lakukan padanya. Terutama bila ia menghadapi suatu hal yang dianggap menghalangi keinginannya, atau bila ia menghadapi anak lain yang lebih muda usianya, dan lebih lemah daripada dirinya.

Sebetulnya, pada kebanyakan anak, pukulan pada jari atau telapak tangannya sudah akan menolong, tetapi tindakan ini lebih tepat dilakukan pada anak-anak yang sudah menjalin hubungan yang serasi dengan orangtuanya. Dengan kata lain, anak-anak yang sudah mampu membina hubungan yang harmonis, dalam arti anak sudah dapat dengan mudahnya diajak berkomunikasi, atau anak yang sudah dapat menerima baik segala perlakuan orangtuanya. Cara ini tepat pula jika diterapkan pada anak-anak yang bersifat "alim" dan mudah menyesuaikan dirinya, sehingga belalakan mata atau kerutan kening ibunya, misalnya, sudah mampu menghapuskan kelakuannya yang buruk.

Tetapi, menurut pengamatan para ahli, menyentik atau memukul telapak tangannya pun sudah dianggap tindakan yang berlebihan. Anak-anak yang demikian tidak begitu sulit diberi pengertian bahwa ayah dan ibu tidak akan memukulnya (walaupun ia telah lebih dulu memukul), karena memang pada dasarnya siapa pun tidak boleh "ringan tangan" terhadap anak.

Anak-anak munafik biasanya dibentuk oleh kebiasaan orangtuanya sendiri dalam mendidik. Misalnya, karena orangtua tersebut punya kebiasaan menghukum anak dengan cara kekerasan, sehingga si anak takut mengakui dan bertanggung jawab terhadap kesalahannya. Sedangkan pukulan-pukulan itu sendiri, kalau terlalu sering ditimpakan pada anak, lama-kelamaan tidak ada manfaatnya sama sekali. Apalagi kalau pukulan itu Anda lakukan pada saat emosi Anda sedang mendidih, maka hasilnya hanya rasa penyesalan saja.

Bagi mereka yang kontra, antara lain mengatakan bahwa memukul lebih banyak menimbulkan efek negatif daripada positif. Seorang anak sering sengaja mengada-ada, bertingkah laku nakal untuk memancing perhatian orangtuanya. Oleh karena itu, agar anak tidak melakukan hal-hal yang memancing hukuman sebagai perhatian, seyogyanyalah kalau orangtua tidak melupakan anak yang baik dan penurut dengan memuji tindakan-tindakan mereka yang menyenangkan. Apabila menerima pukulan "sama" dengan mendapat perhatian, anak akan berlomba-lomba mendapatkan perhatian dari orangtuanya.

Supaya efektif, hukuman harus diberikan langsung setelah anak melakukan kesalahan. Percuma saja menghukum anak satu atau dua hari kemudian, setelah ia melakukan kesalahan karena si anak tidak akan bisa melihat hubungan antara kesalahannya dengan hukuman tersebut. Hukuman badan yang terlalu sering diberikan, juga menyebabkan anak seakan-akan "kebal" terhadap hukuman tersebut. Dalam hal ini, hukuman badan sudah kehilangan fungsi dan artinya sebagai alat untuk menegakkan disiplin.

Hukuman yang berupa tidak mau memperhatikan anak selama beberapa jam, dianggap sebagai jenis hukuman yang bermanfaat dan paling baik. Hukuman itu akan bertambah berat jika disertai dengan kata-kata, "Sekarang ibu tidak sayang lagi padamu," seperti yang amat sering dipakai oleh orangtua sebagai ancaman terhadap anak. Seorang ibu mengatakan, "Saya tahu bahwa kata-kata itu merupakan hukuman yang paling berat bagi anak saya. Tetapi, hukuman tersebut satu-satunya jenis hukuman yang masih membawa hasil. Biasanya, setelah dua tiga menit, ia akan datang menghampiri saya dengan penuh rasa sesal."

Bila orangtua tidak berhati-hati dalam memberikan hukuman fisik, anak bisa menganggap tindakan ini sebagai suatu bentuk penolakan terhadap dirinya. Hal ini akan mengakibatkan anak tidak merasa dekat dengan orangtuanya. Terkadang pula, anak sudah terlalu besar untuk dipukul. Orangtua sering melupakan hal ini, sedangkan anak merasa malu dan sakit hati karena merasa diperlakukan seperti anak kecil. Dalam keadaan semacam ini, harga diri seorang anak tersentuh. Ia akan merasa terhina, karena orangtuanya membuat dirinya menjadi kecil. Bila keadaan ini terjadi berulang kali, maka perkembangan anak tentu akan dipengaruhi.

Ukurlah berat ringannya hukuman sesuai dengan kesalahan anak. Selalu bersikap keras sekali atau selalu bersikap halus membuat anak tidak menyadari kesalahan yang "keterlaluan" dan yang sekali-kali tidak boleh dilakukan.

Dr. Charles Schaefer, berpendapat bahwa suatu hukuman yang logis, haruslah proporsional atau seimbang besar/kerasnya terhadap pelanggaran. Jadi, seorang anak belasan tahun yang menghilangkan suatu barang, umpamanya, sangatlah tidak layak kalau mendapat hukuman kerja tambahan selama satu bulan. Tentu saja, hal ini sudah keterlaluan, yang akan menimbulkan perasaan dan kemauan yang negatif, serta rasa dendam karena ketidakadilan hukuman itu. Usahakanlah untuk memperoleh suatu keseimbangan antara besar kelakuan yang salah itu dengan hukuman. Namun, hukuman-hukuman juga janganlah sedemikian ringannya, sehingga seperti tidak berpengaruh atau tidak terasa oleh anak, dan juga jangan terlalu kuat sehingga merusak.

Dalam hal ini, jelaslah bahwa hukuman-hukuman harus direncanakan sebelumnya. Dalam "saat-saat yang panas" dimana orangtua sedang marah dan emosi, biasanya sangat sukar atau malah tidak mungkin, untuk menentukan hukuman-hukuman yang layak. Jika emosi sedang tinggi, maka ada suatu tendensi untuk mengakibatkan dan menimbulkan "pikiran yang tambah panas dan gelap", bukannya tambah terang, mengenai suatu problema.

Kategori Bahan PEPAK: Anak - Murid

Sumber
Judul Buku: 
Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga
Pengarang: 
Alex Sobur
Halaman: 
48 - 52
Penerbit: 
BPK Gunung Mulia
Kota: 
Jakarta
Tahun: 
1987