Di ruangan itulah saya pertama kali mendengar cerita tentang Abraham, Yesus, Daniel, Paulus, Debora, dan yang lainnya. Guru sekolah minggunya gemuk. Senyumnya lebar. Sikapnya ramah. Namanya Om Sioe Beng. Ia mengajar dengan penuh semangat. Pernah ia memperagakan sesuatu lalu lengannya terayun memukul kepala saya karena saya duduk paling dekat dengan dia. Ketika bubar ia berjongkok dan mengelus-elus kepala saya sambil berkata, "Maaf, Om nggak sengaja pukul kepala Hong An. Minggu depan Hong An datang seperti biasa, ya?"
Kami bergegas pulang. Kadang-kadang di tengah jalan saya ingin menonton tentara Jepang berbaris, tetapi tangan saya langsung ditarik oleh kakak. Ketika itu Bandung diduduki pasukan Jepang. Setiba di rumah, giliran mama yang berangkat ke gereja.
Mama hampir selalu mengajak saya untuk menemaninya ke gereja. Selama ibadah saya menunggu di luar. Di samping dan belakang gereja ada pelataran yang luas dan berpohon rindang. Sambil menunggu saya juga sering duduk di tangga depan mengamat-amati pintu angin yang bisa tertutup sendiri oleh tarikan per. Saya dorong pintu itu pelan, lalu pintu itu tertutup kembali perlahan-lahan. Saya dorong kuat-kuat, langsung ia tertutup kembali dengan cepat. Asyik! Pernah saya ditegur oleh seorang pria yang berdasi dan ia menyuruh saya menjauhi pintu. Tetapi pada hari Minggu berikutnya saya dorong-dorong lagi pintu ajaib itu.
Tiap Selasa sore saya menemani mama lagi ke gereja. Mama belajar katakese. Selain katakese, mama ikut pertemuan kaum wanita tiap Rabu sore. Begitulah saya pergi ke gereja tiga kali seminggu.
Kemudian ketika saya mulai bersekolah, SDK Penabur terletak tepat di belakang gereja dan hanya dibatasi oleh pagar yang pendek. Mata pelajaran menyanyi kadang-kadang diadakan di dalam gedung gereja. Pernah pula selama beberapa bulan tiap pagi ada pembagian bubur havermut di gereja untuk para murid.
Beberapa tahun kemudian papa berhenti bekerja karena sakit. Mama mencari nafkah di sana-sini. Makanan di rumah semakin terbatas. Pada suatu hari beberapa orang penatua berkunjung dan memberitahukan bahwa kami dijadikan anggota diakoni, sehingga saya sering membantu mama mengambil pembagian beras, ikan asin, dan kecap di gereja.
Jika di gereja diadakan pertemuan besar, kaum wanita memasak secara sukarela. Mama saya selalu menjadi pemasak di gereja. Jadi, tiap kali ada acara seperti itu, saya selalu menemani mama berjalan ke gereja.
Pada suatu kali gereja mengadakan bazar untuk mengumpulkan dana pembangunan gereja. Mama membantu memasak. Pelataran belakang gereja penuh dengan tenda. Ada stan ketangkasan lempar bola tenis ke tumpukan kaleng. Ada pameran dan penjualan tanaman, dan lain sebagainya. Yang paling ramai dikunjungi adalah stan makanan. Semua kursi dan meja di stan itu terisi penuh. Rupa-rupa makanan disajikan. Yang memikat saya adalah lontong sayur. Ada seorang tante yang begitu cekatan. Ia meletakkan lontong itu di telapak tangan, lalu dengan tangan yang lain ia memotong lontong itu serong-serong. Bagian yang belum terpotong dibungkusnya kembali. Lontong itu tampak pulen dan putih. Dari pojok halaman yang gelap saya meneteskan air liur. Saya berdiri dari jauh sebab mama sering berpesan, "Kalau owe nonton tukang makanan, nontonnya dari jauh. Kalau nonton dari dekat, nanti dikira mau beli."
Selain itu yang membuat saya lebih sering lagi datang ke gereja adalah kegiatan pramuka. Tiap Sabtu sore kami berlatih di halaman belakang gereja. Jika ada api unggun, kami tinggal di sana sampai malam, belum lagi jika ada aksi sosial, latihan sandiwara, atau kegiatan lainnya.
Begitulah, saya betul-betul tiap hari berada di gereja. Dari usia 4 sampai 12 tahun, GKI Kebonjati adalah rumah kedua saya. Saya tumbuh di gereja. Saya besar di gereja. Saya seolah-olah ditanam di pelataran gereja, seperti kata pemazmur di Mazmur 92:13-16). Di dalam ayat-ayat tadi tercantum kata-kata "bertunas" dan "berbuah". Apakah saya telah bertunas dan berbuah? Wallahualam! Hanya Yang di Atas yang berhak menilainya.
Entah dengan sengaja atau tidak, mama telah menanam saya di pelataran gereja. Kalau orang bertanya di manakah awal karier saya, saya akan menjawabnya "Di pelataran Gereja Jalan Kebonjati Bandung". Di situ saya merupakan benih kecil yang ditanam. Di situ saya belajar bertumbuh; bertumbuh dari anak diakoni menjadi pendeta, dari murid sekolah minggu menjadi dosen teologi, dan dari yang belum bisa baca menjadi penulis buku.
Diambil dan disunting dari:
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK