Waktu saya masih seorang gadis kecil, nenek teman saya, orang
Polandia, selalu menambah satu kursi tambahan di ruang makan
keluarga mereka pada Hari Natal. Saya masih ingat, dengan aksen
Inggris yang kental, nenek itu menjelaskan, "Kita harus selalu siap
untuk menyambut Tuhan di dalam hati kita dan rumah kita. Siapa yang
tahu kapan Ia akan datang kembali?"
Setiap Hari Natal, kata-katanya pasti muncul dalam ingatan saya,
sama seperti gemerlapnya pohon terang. Namun sejak suami saya
bergurau menyebut "'Kue Arbei Raksasa' Buatan Ibu", kata-kata itu
memiliki arti yang jauh lebih dalam daripada yang pernah saya
bayangkan.
Seandainya Natal tahun itu tidak jatuh pada hari Sabtu, mungkin tiga
hari sebelumnya saya tidak akan pernah berpikir untuk mengundang
lima puluh keluarga tetangga menikmati kue dan minuman pada pesta
hari Minggu sore.
Suami saya dan ketiga anak laki-laki saya yang masih remaja mencoba
mengendurkan semangat saya dengan berbagai alasan: tidak ada cukup
waktu untuk mempersiapkan ... terlalu dekat dengan Hari Natal ...,
terlambat untuk mengirim undangan.
Karena saya sudah dapat mengantisipasi keberatan mereka, saya
langsung menyela, "Saya sudah mengundang melalui telepon. Sejauh ini
tanggapan mereka baik sekali! Hampir setiap orang berkata,
'Sepertinya menyenangkan -- kami akan berusaha datang.'"
"Lagi pula bukankah Natal merupakan waktu untuk menebarkan kasih
kepada tetangga kita? Jangan ditunda-tunda lagi!"
Apa yang tidak diketahui oleh suami saya dan ketiga anak laki-laki
saya ialah hal yang tersembunyi di balik gagasan saya yang tiba-
tiba ini, yaitu angan-angan yang terus saya kembangkan dalam
kehidupan pernikahan saya: membuat pesta Natal yang meriah seperti
yang terpampang di majalah keluarga edisi Natal. Unsur-unsur yang
mendukung pesta semacam itu tidak banyak -- rumah yang dihias
dengan indah, hidangan khas Natal yang berlimpah-ruah, wajah ramah
tuan dan nyonya rumah, cahaya lilin yang lembut dan tamu yang
memenuhi ruangan yang wajahnya tersenyum gembira penuh penghargaan.
Tanpa mempedulikan kecemasan dan peringatan mereka, saya tetap
melanjutkan, "Kita bisa menaruh lampu-lampu Natal pada kedua pohon
cemara di dekat pintu masuk, menjalin pita dan hiasan Natal di
sepanjang tangga, menggantung buah 'mistletoe'*1 di ruangan dekat
pintu masuk dan deretan daun 'poinsettia'*2 menghias jendela."
Lalu saya menambah dengan penuh keyakinan, "Saya tahu kita bisa
mengerjakannya, asalkan kita semua bekerja sama."
[Red.:
*1 (Mistletoe: tanaman hijau sepanjang tahun dengan buah kecil
berwarna putih yang tumbuh sebagai parasit pada beberapa pohon
tertentu -- jika ada dua orang yang berdiri di bawah tanaman
mistletoe tersebut, itu berarti salah satu dari orang tersebut
harus memberi ciuman kepada orang yang satu lagi.)
*2 (Poinsettia: sejenis tanaman tropis dengan bunga kecil berwarna
kuning dan berdaun merah -- biasanya tanaman ini berbunga di
musim Natal.)]
"Nah, anak-anak," keluh suami saya pasrah, "sepertinya Ibu benar-
benar menginginkan 'Kue Arbei Raksasa' untuk Natal hari Minggu sore
ini." Mereka semua tahu bahwa rencana ini tidak bisa diubah lagi.
Bagaimana kami menyelesaikan persiapannya sejak tanggal 22 sampai 26
Desember masih belum terbayangkan karena kami masih harus merangkai
daun, membersihkan karpet dua kali, membereskan lemari dinding yang
penuh sesak dengan hadiah-hadiah yang baru dibuka, memanggang serta
menyusun kue-kue yang baru keluar dari oven sepanjang siang dan
malam.
Hari Minggu, jam tiga sore, kami sudah siap. Meja makan kami penuh
dengan kue Natal seperti mosaik yang tersusun dari berbagai bentuk
dan jenis kue buatan sendiri yang membangkitkan selera. Saya berdiri
di dekat semangkuk minuman buah beri. Suami saya dan anak-anak ada
di dekat pintu depan. Anjing spaniel kami yang senang melompat,
berbaring di dekat perapian mengenakan rompi beludru berwarna merah,
khusus untuk kesempatan ini. Semuanya hampir sempurna. Hanya kurang
tamu yang memeriahkan rumah kami.
Setelah satu jam berlalu, saya merasakan ada yang tidak beres. Hanya
sedikit tetangga yang datang. Pesta itu sangat sepi dan lengang.
Setelah dua jam berlalu saya merasa seolah-olah kue-kue itu jatuh
berantakan di sekitar saya. Hanya ada sedikit tamu yang datang lagi,
mengucapkan selamat Hari Natal. Saya tetap menunggu dan berharap
pada menit-menit terakhir akan ada tamu berdatangan, tetapi harapan
itu tidak pernah mewujud.
Apa yang salah? Bukankah sewaktu ditelepon setiap orang
kedengarannya tertarik dan berjanji mau datang?
Pada saat itu saya sama sekali belum siap mendengar berbagai
penjelasan yang akan muncul: "Anak-anak yang lelah", "Tamu yang
tidak terduga", "Pulang terlambat", apalagi alasan "Maaf, kami
lupa." Tentu saja waktu saya mengundang lewat telepon, saya berusaha
supaya tidak terdengar terlalu mengharapkan. Rupanya nada saya
terlalu memaksa.
Waktu kami membereskan piring dan cangkir, suami saya mencoba
menghibur saya, "Semuanya berjalan lancar. Saya rasa orang-orang
yang datang benar-benar menikmatinya."
"Kue-kue itu rasanya sungguh nikmat," sela si bungsu.
"Ya, tetapi bagaimana dengan begitu banyak kue yang masih tersisa,"
tanya kakaknya. "Meskipun kita semua memakannya, sisanya pasti masih
banyak."
Saya memandang pada tumpukan permen jeruk asem, buah-buahan yang
berbentuk segi empat, tetesan air jeruk manis dan kuah kari, permen
coklat dan manisan buah almond, belum lagi gambar-gambar yang biasa
digunting pada Hari Natal. Sisa kue yang begitu banyak sama sekali
tidak pernah terpikirkan oleh saya.
"Saya akan menyimpan semuanya ke dalam lemari," kata saya. "Bila
kalian tahu kue ini harus diapakan, lakukan saja, tidak usah
memberitahu saya." Saya membanting pintu lemari dengan pedih dan
kecewa.
Tidak ada seorang pun yang menyebut-nyebut 'kue' atau 'pesta' di
rumah kami sepanjang minggu itu. Karena itu, saya merasa heran
sewaktu membuka lemari pada akhir minggu dan tidak menemukan satu
kue pun yang tersisa. Ke mana perginya kue-kue itu?
Saya sendiri hanya dapat memberi penjelasan untuk dua kotak kue.
Saya membawanya ke panti asuhan. Di sana, teman saya yang tuna netra
meraba-raba kue yang saya letakkan dalam tangannya, dan ia tampak
senang mengenali bentuk bintang, malaikat, serta kue jahe berbentuk
anak laki-laki.
Malam itu, di ruang makan, semua misteri saya terjawab. Suami saya
memberikan satu kotak untuk teman kerjanya yang pergelangan kakinya
terkilir pada Hari Natal. Anak laki-laki kami yang sulung memberikan
dua kotak untuk temannya yang bekerja sebagai relawan di penjara
terdekat dan kue itu dibawanya ke sana. Anak laki-laki kami yang
kedua memberikan satu kotak untuk tetangga baru kami yang pindah
tiga hari sesudah Natal. Anak bungsu kami, dalam perjalanannya
mengantar koran, memberikan satu kotak untuk seorang ibu yang belum
lama kehilangan suami dan anak laki-lakinya dalam kecelakaan yang
tragis.
Tiba-tiba saya merasa lebih dari satu misteri yang sudah terjawab.
Termasuk kata-kata yang menggema dari masa kanak-kanak saya, "Kita
harus selalu siap untuk menyambut Tuhan di dalam hati dan rumah
kita."
Tetapi sebenarnya saya tidak mengundang siapa pun. Saya juga tidak
menyediakan tempat. Hati saya meluap dengan kebanggaan dan
kesombongan untuk mewujudkan pesta sempurna seperti yang terpampang
di majalah. Tidak ada tempat bagi Tuhan di sana. Justru setelah
pesta selesai saya baru memberi kesempatan bagi kami semua untuk
menyediakan tempat bagi Dia.
"Tahukah kalian," tanya saya perlahan, "bahwa kita merayakan pesta
Natal yang kedua? Pesta yang sangat sukses. Semua yang diundang
datang. Bahkan ada tamu yang tidak diundang, tamu yang sangat
istimewa."
"Apa maksudmu?" tanya suami saya kebingungan.
"Siapa?" tanya anak-anak serempak.
Lalu dengan mantap saya berkata, "Ingat, Segala sesuatu yang kamu
lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku." (Lihat/Baca
Matius 25:35-40)
Semua mata saling berpandangan; tidak ada keraguan di dalam hati
maupun dalam benak kami siapa "Tamu" yang istimewa itu.
-Deana Kohl-