Jenis Bahan PEPAK: Artikel
Bagi orang Israel, pendidikan -- khususnya pendidikan rohani --
merupakan bagian integral dari perjanjian antara Allah dengan umat-
Nya. Ulangan 6:4 memuat "Shema", yaitu doa yang diucapkan dua kali
sehari, setiap pagi dan petang dalam ibadah di sinagoga. Ayat ini
amat penting karena merupakan pengakuan iman yang sangat tegas akan
TUHAN (Yahweh) sebagai satu-satunya Allah yang layak disembah:
"Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu
esa!" (Ulangan 6:4)
Pernyataan ini kemudian langsung dilanjutkan dengan perintah rangkap
untuk mengasihi TUHAN dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan mereka
(ayat 5), menaruh perintah itu dalam hati (ayat 6), mengajarkannya
kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang (ayat 7),
mengikatkannya sebagai tanda pada tangan dan dahi (ayat 8), dan
menuliskannya di pintu rumah dan gerbang (ayat 9).
Orang Israel menafsirkan perintah-perintah tersebut secara harafiah
dengan membuat "tali sembahyang" yang diikatkan di dahi atau lengan
dan berisi empat naskah, salah satunya adalah Ulangan 6:4-9 di atas.
Ketiga naskah lainnya diambil dari Keluaran 13:1-10, Keluaran 13:11-16 dan Ulangan 11:18-21. Di dalam keempat naskah tersebut, kewajiban
untuk mengajarkan hukum dan pengetahuan tentang Allah kepada anak-
anak mendapat penekanan yang besar. Hal ini menunjukkan besarnya
hubungan antara pendidikan rohani dalam rumah tangga dengan ketaatan
kepada Allah.
PENERAPAN PENDIDIKAN PL UNTUK ERA MODERN
Era modern mengubah cara pandang para pendidik Kristen dalam
mendidik anak. Toleransi tinggi dan keleluasaan tidak terbatas
cenderung merupakan gaya pendidikan saat ini. Sebenarnya justru
dalam era modern sekarang, pendidik Kristen harus menerapkan
beberapa prinsip dalam Perjanjian Lama yang lebih disiplin dalam hal
pendidikan anak.
Tanggung jawab pendidikan Kristen pertama-tama dan terutama
terletak pada orangtua, yaitu ayah dan ibu (Amsal 1:8). Banyak
keluarga Kristen masa kini yang menyerahkan pendidikan rohani
anak mereka sepenuhnya pada Gereja atau Sekolah Minggu. Mereka
beranggapan bahwa Gereja atau Sekolah Minggu tentunya memiliki
"staf profesional" yang lebih handal dalam menangani pendidikan
rohani anak mereka. Namun, mereka lupa bahwa lama waktu
perjumpaan antara anak mereka dengan Pendeta, Pastor, Gembala,
Guru Sekolah Minggu, atau pembimbing rohaninya yang hanya
beberapa jam dalam seminggu tentunya terlalu singkat untuk
mengajarkan betapa luas dan dalamnya pengetahuan tentang Allah.
Satu hal lain yang terpenting adalah Allah sendiri telah
meletakkan tugas untuk merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak
ke dalam tangan orangtua. Merekalah yang harus mempersiapkan
anak-anak mereka agar hidup berkenan kepada Allah. Gereja dan
Sekolah Minggu hanya membantu dalam proses pendidikan tersebut.
Tujuan utama pendidikan Kristen adalah untuk mengajar anak-anak
takut akan Tuhan, hidup menurut jalan-Nya, mengasihi Dia, dan
melayani Dia dengan segenap hati dan jiwa mereka (Ulangan 10:12).
Berlainan dengan pendidikan oleh dunia yang bertujuan untuk
menciptakan generasi muda yang penuh ambisi untuk sukses, mandiri
dan percaya pada kekuatan diri sendiri, pendidikan Kristen
mendidik anak-anak untuk memiliki sikap mementingkan Tuhan di
atas segala-galanya, taat pada Tuhan, dan bergantung pada
kekuatan Tuhan untuk terus berkarya. Nilai-nilai yang penting
dalam pendidikan Kristen adalah kasih, ketaatan, kerendahan hati
dan kesediaan untuk ditegur.
Orangtua yang baik mendidik anaknya dengan teguran dan hajaran
dalam kasih (Amsal 6:23). Ada teori pendidikan modern yang
menyarankan agar orangtua jangan pernah menyakiti anak-anak
mereka, baik secara fisik maupun secara verbal atau melalui kata-
kata karena hal tersebut dapat menimbulkan kebencian dan dendam
pada orangtua dalam diri anak-anak. Teori ini menganjurkan
orangtua untuk membangun anak-anaknya hanya melalui pujian dan
dorongan. Hal ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab yang
mengatakan bahwa teguran dan hajaran juga dapat mendidik anak
sama efektifnya dengan pujian dan dorongan, selama semuanya
dilakukan dalam kasih.
Pendidikan Kristen harus dilakukan secara terus-menerus melalui
kata-kata, sikap dan perbuatan (Ulangan 6:7). Kata bahasa Ibrani
yang dipakai dalam ayat ini adalah "shinnantam" yang berasal dari
akar kata "shanan" yang berarti mengasah atau menajamkan,
biasanya, pedang atau anak panah. Kata ini dipakai sebagai simbol
untuk menggambarkan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang
seperti orang mengasah sesuatu dengan tujuan untuk menajamkannya.
Orangtua tidak dapat hanya mengandalkan khotbah atau pelajaran
Alkitab setiap hari Minggu untuk memberi "makanan rohani" bagi
anak-anak mereka. Orangtua harus secara rutin dan dalam segala
kesempatan menyampaikan kebenaran Firman Tuhan kepada anak-anak
mereka. Lebih jauh lagi, orangtua harus menjadi teladan yang baik
bagi anak-anak mereka, bukan hanya melalui perkataan, tapi juga
perbuatan.
Tanggung jawab pendidikan Kristen memang bukan tugas yang mudah,
baik bagi bangsa Israel pada jaman Perjanjian Lama, maupun bagi kita
pada zaman sekarang. Setiap zaman memiliki kesulitan dan pergumulan
masing-masing, namun prinsip-prinsip dasar pendidikan Kristen yang
Alkitabiah tetap bertahan di tengah berbagai teori pendidikan baru
yang muncul. Jika orang Israel menafsirkan Keluaran 13:9 atau
Ulangan 6:8 secara harafiah dengan mengikatkan tali sembahyang pada
lengan dan dahi mereka:
"Hal itu bagimu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi
peringatan di dahimu, supaya hukum TUHAN ada di bibirmu;"
(Keluaran 13:9a)
Maka saat ini kita yang sudah mengerti makna sesungguhnya dari
perintah ini harus senantiasa merenungkannya dalam pemikiran kita,
memperkatakannya setiap hari, dan melakukannya dengan segenap
kemampuan tangan kita.
Penulis: Daniel Kurniawan Budi Laksono