Skip to main content

Ketika istri saya, Tanja, dan saya mulai berbicara tentang cara kami akan mengasuh anak, kami merefleksikan pengalaman kami sendiri saat tumbuh dewasa. Saya dibesarkan dalam gaya pengasuhan yang dominan yang bersifat otoriter pada waktu itu. Ini adalah norma, 'Lakukan apa yang saya katakan', 'Lakukan atau tidak', dan tidak ada penjelasan yang diberikan. Gaya pengasuhan ini dapat digambarkan sebagai gaya pengasuhan yang memiliki banyak batasan yang kuat, tetapi tidak banyak instruksi tentang alasannya. Bagi banyak orang tua pada saat itu (mungkin termasuk saya), mengasuh anak adalah tentang menekan kenakalan dengan cara yang keras dan penuh paksaan.

Sangat mudah untuk melihat ke belakang dan mengkritik generasi sebelumnya dengan gaya yang dominan. Selain itu, mudah untuk mulai mengadopsi gaya yang sama atau, seperti yang terlihat pada banyak orang tua saat ini, bereaksi menentang gaya pengasuhan ini dan pindah ke ujung lain dari spektrum pengasuhan. Ketika saya dan Tanja mulai memikirkan hal yang akan kami lakukan, kami bersyukur kepada orang tua kami yang memiliki niat baik dan penuh kasih sayang, tetapi kami mengambil jalan tengah di antara dua gaya pengasuhan yang dominan; otoriter dan permisif.

Mungkin akan sangat membantu jika kami menguraikan tiga gaya pengasuhan yang utama. Ini adalah sesuatu yang saya harapkan dapat dijelaskan dalam tulisan sebelumnya mengenai pendekatan kami dalam mengasuh anak.

Pola asuh otoriter

Gaya ini berusaha mengendalikan perilaku melalui cara-cara eksternal dan pengekangan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, gaya ini dapat dicirikan dengan perkataan seperti, "Lakukan atau tidak", di mana 'tidak' dapat berupa hukuman fisik atau verbal.

Gambar: gambar

Pada dua tahap pertama kehidupan anak yang saya sebut sebagai Catering (Usia 0-2) dan Conforming (Usia 2-5), tidak ada banyak ruang untuk penjelasan rasional sehingga pada tahap ini orang tua membangun otoritas mereka. Pada fase ini, orang tua tanpa menjadi penyembah berhala, adalah seperti Allah bagi anak mereka (Kel. 4:16; 7:1, 2 Musa seperti Allah bagi Harun dan Israel). Dalam pengertian ini, selama fase-fase ini, anak dibentuk untuk taat. Di rumah kami, kami memiliki mantra tiga langkah dengan gerakan tangan, 'Dengarkan, patuhi, langsung taat'. Ketika anak-anak kami mendengarkan dan mematuhi kami, mereka belajar untuk taat. Tujuannya adalah agar mereka mendengarkan dan menaati Allah saat mereka dewasa, dan hal ini didorong oleh kasih. Pada tahun-tahun awal, gaya pengasuhan kami mungkin terlihat sangat otoriter, namun harapan kami adalah bahwa kami akan menyesuaikan pendekatan pola asih ini seiring dengan kedewasaan anak-anak kami.

Hasil dari gaya pengasuhan yang otoriter (jika terus berlanjut melewati dua tahap perkembangan pertama) adalah perilaku yang baik sampai pada titik tertentu, tetapi bukan dari hati atau berorientasi pada orang lain berdasarkan kasih, melainkan karena rasa takut. Ketika saya memikirkan gaya pengasuhan ini, saya membayangkannya seperti sebuah tabung yang dapat menyebabkan konflik dan pemberontakan jika pendekatan otoriter ini terus berlanjut hingga usia 5 tahun. Ini adalah pengalaman saya sebagai seorang remaja yang mengalami masa-masa pemberontakan dari usia 12 hingga 20 tahun.

Saya dan Tanja tidak ingin menjadi orang tua dengan gaya seperti ini, meskipun saya menyadari bahwa dalam diri saya ada kecenderungan untuk menjadi orang tua dengan gaya seperti ini, karena cara tersebut telah dicontohkan oleh orang tua saya.

Pengasuhan yang permisif atau laissez faire

Arah umum pengasuhan anak di dunia barat mungkin merupakan hasil dari reaksi terhadap gaya pengasuhan otoriter yang umum pada awalnya. Meskipun dalam kasus saya, dan saya menduga pada orang lain, mungkin ada kecenderungan untuk mengasuh anak dengan cara yang lebih otoriter oleh mereka yang dibesarkan dengan gaya tersebut.

Istri saya berasal dari Eropa, dan berdasarkan pengalaman saya yang terbatas dalam mengasuh anak di Eropa, pola asuh permisif tampaknya menjadi gaya yang dominan. Orang tua umumnya menunjukkan kehangatan dan kasih sayang yang besar kepada anak mereka. Namun dalam gaya permisif atau laissez faire, hanya ada sedikit intervensi dan pengekangan.

Saya yakin hasil dari gaya pengasuhan ini berdampak pada masyarakat kita. Saya membayangkan pendekatan ini seperti gunung berapi, tidak ada pengekangan atau batasan sejak dini, lalu ada upaya untuk 'mengendalikan' perilaku buruk di masa remaja. Hal ini dapat mengakibatkan perilaku yang meledak-ledak dan jarak antara anak dan orang tua. Tampaknya anak yang dibesarkan dengan cara ini hanya memiliki sedikit batasan sejak dini, namun ketika masa remaja tiba, orang tua menyadari bahwa beberapa pilihan yang dibuat tidak bijaksana, dan kemudian mencoba untuk mengekang kembali dengan berbagai batasan.


Prinsip moral diberikan sebagai petunjuk karena penetapan batasan merupakan aspek penting dari pengasuhan yang otoritatif. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan anak-anak yang dewasa yang mampu bernalar serta bertanggung jawab.

 

Namun, pola perilaku sudah terbentuk dan hasilnya adalah konflik, pemberontakan, dan terkadang hubungan yang rusak. Tanja dan saya ingin menghindari keretakan hubungan dengan anak-anak kami selama masa remaja ini. Kami sadar akan kebutuhan perkembangan anak-anak untuk menjadi dewasa dan bahwa individualisasi adalah bagian dari kedewasaan ketika mereka berusaha untuk mulai membentuk pandangan dunia mereka sendiri, mengambil iman mereka sendiri kepada Yesus, dan mencari masukan dari orang lain yang signifikan dalam hidup mereka. Namun, kami tetap ingin berada di sana untuk mereka, dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Kami mendengar orang-orang mengatakan hal-hal seperti 'tunggu saja sampai mereka menjadi remaja dan kemudian masalah dimulai' dan kami terpikir jika ini menjadi ramalan yang terjadi karena ulah kami sendiri, tentu saja ini adalah hal yang tidak kami inginkan. Jadi, kami berdoa dan merencanakan untuk mengasuh anak dengan cara yang berbeda dari pola asuh yang tampaknya menjadi norma dalam masyarakat kami.

Pengasuhan yang otoritatif

Ini adalah jalan tengah yang saya dan Tanja pilih untuk membesarkan anak-anak kami.

Dalam gaya pengasuhan ini, orang tua terlibat secara emosional dengan anak mereka, dengan menunjukkan kasih sayang dan kehangatan. Namun, ada batasan-batasan yang ditetapkan secara tepat tergantung pada usia, tahap perkembangan, dan kedewasaan anak. Prinsip moral diberikan sebagai petunjuk karena penetapan batasan merupakan aspek penting dari pengasuhan yang otoritatif. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan anak-anak dewasa yang mampu bernalar serta bertanggung jawab.

Gaya pengasuhan otoritatif dapat digambarkan sebagai corong, di mana batas-batas yang ketat ditetapkan sejak dini, tetapi dilonggarkan seiring dengan kedewasaan anak, menunjukkan tanggung jawab dan pemahaman tentang prinsip-prinsip moral yang mendasarinya.

Gaya pengasuhan otoritatif menyajikan jalan tengah antara otoriter dan permisif. Sebagai contoh sederhana, orang tua yang otoriter tidak memberikan pilihan saat sarapan; anak hanya diperbolehkan makan selai stroberi di atas roti panggang. Orang tua yang permisif memberikan pilihan tak terbatas pada anak untuk sarapan. Orang tua yang otoritatif memberikan pilihan di antara batasan-batasan yang mereka tetapkan - anak dapat memilih antara bubur dan sereal jagung, serta memiliki pilihan selai vegemite atau nutella pada roti bakar mereka.

Tujuan yang saya dan Tanja miliki di bawah Allah untuk anak-anak kami adalah agar mereka bertumbuh menjadi orang Kristen yang dewasa, serta memiliki penalaran moral yang baik melalui doa dan pengajaran kami. Kami ingin agar anak-anak kami memiliki tanggung jawab yang semakin besar ketika mereka menunjukkan kedewasaan dalam pilihan yang mereka ambil dan bertanggung jawab terhadap perilaku mereka.

(t/Jing-jing)

Diambil dari:

Nama situs

:

Growing Faith

Alamat artikel

:

https://growingfaith.com.au/articles/choosing-between-three-style-of-parenting

Judul asli artikel

:

Choosing between three styles of parenting

Penulis artikel

:

Jim French

Jenis Bahan PEPAK
Situs