Bukan rahasia lagi kalau minat baca di negeri kita tergolong rendah. Entah mengapa, bangsa ini seolah-olah "jauh" dari yang namanya buku. Padahal persoalan membaca bukan semata soal ketiadaan waktu, mahalnya buku, atau jumlah buku yang terbatas. Lebih dari itu, membaca harus dipercaya dapat mengubah pola pikir seseorang dan menjadikannya maju. Kalau tidak, percuma!
Berapa lama dalam sehari Anda menghabiskan waktu untuk membaca? Satu, dua, atau tiga jam? Lalu, bacaan apa saja yang biasa Anda lahap? Koran, majalah, atau buku? Pertanyaan-pertanyaan tadi bukan dalam rangka interogasi atau kuis yang harus dijawab lewat SMS. Namun, sekadar mengingatkan betapa pentingnya membaca.
Kalaupun pada praktiknya sampai saat ini Anda tidak sempat membaca buku sama sekali, hal itu masih bisa dimaklumi. Hasil survei pada 2004, yang dimuat sejumlah media cetak berkaitan dengan Hari Buku Nasional Ke-3 di Bandung, menyebutkan daya baca orang Indonesia tergolong rendah, yaitu berada di urutan ke-39 dari 41 negara yang diteliti. Sayangnya, tidak dijelaskan lembaga apa yang meneliti.
Urutan ketiga dari posisi bontot tentu bukan berita menggembirakan. Padahal buku itu salah satu sumber ilmu. Dari sanalah pemikiran seseorang dicerahkan, untuk akhirnya menuju ke arah lebih baik. Rasanya sulit membayangkan kalau negeri ini akan bisa terbebas dari belenggu keterbelakangan, kemiskinan, dan setumpuk masalah lain bila masyarakatnya enggan belajar seperti itu.
Dengan nada pesimistis, Prof. Riris K. Toha Sarumpaet, Ph.D., pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, malah tidak yakin daya baca (bisa dipersamakan dengan minat baca) kita ada di urutan ke-39. "Mungkin lebih di bawah lagi," ujarnya serius. "Orang Indonesia tidak membaca, tapi banyak berbicara dan mendengar."
Menurut Riris, bangsa kita tidak punya kepercayaan bahwa membaca dapat membuat lebih bahagia, pandai, dan berwawasan. Jadi, ketika orang-orang punya kelebihan dana, yang utama dipikirkan bukanlah buku, melainkan pakaian mode terbaru, aksesori, atau bagaimana mengganti perabot rumah.
MELIRIK HARRY POTTER
Sejauh seseorang pernah bersekolah, dapat dipastikan ia juga bisa membaca. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, seperti fakta bahwa beberapa murid tamatan SMP di Flores yang diketahui tidak bisa membaca. Data terbaru dari Depdiknas menyebutkan, jumlah orang buta huruf di Indonesia 15,5 juta atau 9,07% dari total penduduk di atas 15 tahun. Diasumsikan, sisanya bisa membaca.
Masalahnya, tidak semua orang yang melek huruf pasti aktif membaca buku. Banyak anak sekolah yang memegang buku sebatas mengikuti pelajaran atau mengerjakan tugas. "Mereka memang membaca, tapi apakah mereka pembaca?" tanya Riris. Di luar tugas sekolah, sedikit kegiatan anak yang berhubungan dengan bacaan. Lebih-lebih ada godaan dari televisi, film, atau games.
Antara seseorang yang sekadar membaca dan yang berminat besar terhadap bacaan jelas berbeda. Sesempit apa pun waktu yang dimiliki, orang yang "gila baca" akan selalu menyempatkan diri melirik buku kesenangannya. Di saat sibuk belajar mempersiapkan tes hasil belajar, misalnya, seorang anak kutu buku akan menyempatkan diri melirik barang sejenak buku cerita fiksi Harry Potter favoritnya. Sejauh tidak mencuri seluruh perhatiannya, hal itu wajar saja.
Pada usia dewasa, seseorang yang berminat baca besar terlihat dari kesehariannya yang tidak lepas dari buku. Di waktu-waktu senggang, seperti saat menunggu, di halte bus, atau dalam perjalanan, tak ada teman setia kecuali buku. Mereka juga menyediakan waktu yang lebih khusus untuk membaca seperti pada malam hari atau menjelang tidur. Gaya hidup seperti ini mencerminkan, ia tidak terpisahkan dari bacaan yang diminatinya.
Menurut Riris, persoalan minat baca, bukan terletak pada berapa jam seseorang tahan membaca dalam sehari, "Tapi menyempatkan diri untuk selalu menyentuh bacaan yang disukai sudah cukup mewakili semangat membaca," paparnya. "Mungkin hanya beberapa menit, namun bisa memuaskan dahaganya pada bacaan bermutu."
Di luar soal alokasi waktu, memahami bacaan itu sendiri lebih penting. "Dengan membaca, seseorang harus menjadi lebih baik karena bacaannya itu. Pola pikir dan perilakunya akan berubah seiring dengan kualitas bacaannya," kata Riris. Nah, persoalan ini rupanya yang banyak terabaikan.
Bagi seorang pembaca sejati, bacaan akan menjadi referensi terhadap pemikiran dan tindakannya sehari-hari. Tutur kata dan tata bahasanya bisa menjadi baik.
Bacaan juga dapat menjadi inspirasi seseorang untuk terus menjadi besar dan terus mewujudkan keinginannya itu. Kita bisa mengambil contoh Proklamator Kemerdekaan RI, Bung Karno, yang harus membaca puluhan buku untuk menyusun pledoinya, "Indonesia Menggugat", di hadapan pengadilan kolonial Belanda pada 1930.
"Berkat bacaannya, seseorang juga semakin realistis, bahwa untuk menggapai sesuatu, tidak bisa ditempuh secara singkat seperti ajang pemilihan idol(a) di televisi. Mereka merasa harus berjuang untuk mendapatkannya," kata Riris.
MERANGSANG IMAJINASI
Menumbuhkan minat baca haruslah dimulai sejak dini, yaitu sejak masih anak-anak. "Kalau sudah dewasa, rasanya sulit," kata Riris yang juga dikenal sebagai pemerhati bacaan anak ini. Anak mudah terikat dengan buku yang menarik perhatian mereka, bisa buku cerita terjemahan, cerita rakyat, atau buku pengetahuan yang disajikan dengan ringan. Yang paling menarik bagi anak, tentu saja cerita fiksi.
Sebenarnya, bukan hanya pada anak, menurut perempuan kelahiran Tarutung tahun 1950 ini, bacaan fiksi tetap menjadi pilihan bacaan menarik di semua golongan usia. Lewat fiksi, pembaca dapat mengikuti si tokoh dalam cerita dengan konflik-konfliknya. Dari sana pembaca bisa menemukan sesuatu, mengidentifikasi, meniru, atau bahkan mencemoohnya. Pembaca juga bisa mempelajari sesuatu dengan membandingkan dirinya dengan si tokoh.
Melalui fiksi yang baik pula, kita akan mengerti apa dan mengapa sebuah peristiwa bisa terjadi. Bila suatu tokoh diceritakan jahat, misalnya, kita bisa tahu alasan-alasan berbuat kejahatan, apakah karena kemiskinan atau kebodohan. Inilah yang memperkaya pengetahuan sekaligus imajinasi.
Namun, agar bisa beroleh manfaat, bukan berarti hanya didapat lewat bacaan yang berat. "Yang ringan atau remeh juga bisa," pesan Riris. Bacaan menarik dan ringan malah bisa membuat seseorang bersabar menuntaskan sebuah cerita dari awal sampai akhir. Jika sudah terbiasa, ia akan semakin cepat dan efektif saat membaca. Ujung-ujungnya, ia akan terus membaca.
Namun Riris mengingatkan, tidak semua buku cerita fiksi berkualitas baik. Sebuah novel bisa menceritakan tokoh dan latar belakang secara lebih baik dibandingkan dengan cerita pendek (cerpen), misalnya. Dalam novel ada afirmasi dari pembaca itu sendiri yang bisa memperkaya batinnya dan membuat ia menyatu dengan bacaannya.
"Beda dengan cerpen yang berkisah pada satu sisi cerita. Hanya sebuah pertemuan di ujung gang," kata Riris mengibaratkan.
Maraknya buku-buku cerita remaja dan juga buku kumpulan cerpen yang menonjolkan erotisme juga dipertanyakan ibu tiga remaja putri ini. "Apakah buku-buku semacam ini bisa memperkaya?"
Untuk membedakan bacaan yang baik dan bukan tidaklah terlalu sulit. Intinya, sebuah bacaan memengaruhi pemikiran dan dapat dijadikan referensi jika suatu saat diperlukan. Cara ini juga berlaku untuk menilai buku-buku nonfiksi.
MEMBERI CONTOH
Menumbuhkan minat baca untuk anggota keluarga, terutama anak, tentu harus dimulai di rumah. Orang tua harus rela kalau suasana rumah jadi sedikit "berantakan" oleh buku-buku. Dalam kondisi seperti itu, lambat laun seluruh anggota keluarga akan terbiasa dan penasaran untuk ikut membaca. Namun, yang penting adalah adanya contoh dari orang tua. Anak akan tertarik membaca jika mereka melihat orang tuanya juga suka membaca.
Sejak anak masih balita, orang tua bisa memperkenalkan buku melalui bermacam cara. Anak yang belum bisa membaca bisa dimotivasi lewat orang tua yang mendongeng sambil menunjukkan buku-buku bergambar sehingga anak terbiasa melihatnya. Untuk anak yang lebih besar, bisa mulai membaca sendiri bahkan memilih bacaannya sendiri.
Riris mengakui, upaya orang tua ini sering harus menghadapi kendala. Acara-acara televisi atau film video, misalnya, yang juga menyajikan pengetahuan atau cerita, bisa mengalihkan perhatian anak dari bacaan. "Seharusnya, acara-acara semacam itu tidak menggantikan buku, justru orang tua harus menjadikannya sebagai referensi untuk memilih buku yang tepat karena sudah mengetahui minat anaknya," tutur ibu dari Risa, Astrid, dan Thalia ini.
Gangguan lain juga bisa berupa membanjirnya komik. Riris sendiri mengaku tidak antipati terhadap komik, bahkan sering kali membacanya. Komik-komik keagamaan, pewayangan, atau pengetahuan, juga baik dibaca anak. "Tapi jika anak hanya diberikan komik, mereka akan terampas dari pendalaman buku-buku yang benar-benar berisi. Sebab komik kurang mengembangkan imajinasi dibandingkan dengan buku bacaan," kata penyuka komik Asterix ini.
Banyaknya buku yang ditawarkan di toko buku juga kadang menyulitkan orang tua. "Masalahnya, buku-buku itu cuma membanyak (jumlahnya), tapi bukan membaik kualitasnya," nilai Riris. Orang tua harus bisa memilih dengan tepat berdasarkan informasi dari pelbagai sumber, seperti resensi di media massa, internet, atau dari pengamatan mereka sendiri. Diakui Riris, ini tidak semudah di negara maju yang informasi perbukuannya sudah amat memadai. "Tapi orang tua harus aktif melakukan," tekannya.
Satu lagi yang harus diperhatikan orang tua, yaitu alokasi waktu membaca. Minat baca yang tinggi bukan berarti lalu harus melupakan kegiatan anak yang lain seperti bermain dan bersosialisasi dengan lingkungan. "Jangan sampai membaca melupakan perkembangan fisiknya," pesan Riris. "Jadi, selain mengajak mereka berdiskusi tentang buku, anak-anak juga tetap harus didorong untuk melakukan kegiatan fisik."
Oleh: T. Tjahjo Widyasmoro
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK