Mungkin sebutan hamba itu agak menyinggung. Maklum, siapa yang suka
diperintah? Lagipula kedengarannya agak feodal dan termasuk zaman
dulu. Namun, kata tersebut dipakai Tuhan Yesus sendiri untuk
menyebut diri-Nya. Dalam Filipi 2:7, Tuhan (kurios) surgawi itu
telah mengambil rupa seorang hamba (doulos). Ia juga mengenakan pada
diri-Nya kata kerja yang berarti melayani pada waktu makan, apabila
Ia mengatakan bahwa Ia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk
melayani (Matius 20:28).
Apabila kita mengaku, bahwa Yesus adalah Tuhan (dan kita sekali-kali
bukan Kristen kalau tidak mengakui itu, Roma 10:9), dan kalau Dia
yang adalah Tuhan kita, rela untuk menjadi seorang hamba dan seorang
pelayan dengan tujuan untuk melayani kita, bukankah dengan demikian
lebih banyak alasan bagi kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya dan
pelayan-pelayan-Nya? Hubungan inilah yang senantiasa tercakup setiap
kali kita berbicara tentang Tuhan Yesus Kristus. Kita telah mengabdi
kepada-Nya dan telah menjadi pelayan-pelayan-Nya. Perbedaan yang
mencolok ialah bahwa sementara sebutan pelayan dipakai secara
harafiah untuk menyebut mereka yang pekerjaannya melayani, maka
sebutan hamba itu dipakai dalam arti kiasan untuk mengungkapkan
hubungan orang Kristen dengan Tuannya.
Seorang hamba adalah milik tuannya; tubuhnya yang hidup adalah
kepunyaan tuannya dan ia tidak bebas sebelum mati. Ia bukan orang
upahan seperti pekerja-pekerja di kebun anggur yang mendapat upah
setiap hari (Matius 20:1-15; bahasa Yunani: ergates). Ia adalah
mutlak milik tuannya. Dalam hubungan ini, maka jelaslah bagi kita
bagian-bagian Alkitab, seperti misalnya, 1Korintus 6:19-20: "Kamu
bukan milik kamu sendiri; sebab kamu telah dibeli dan harganya telah
lunas dibayar. Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu." Yang
hendak dikatakan rasul Paulus ialah bahwa kita telah dibeli Allah
sebagai hamba-hamba-Nya, kita bukan lagi milik kita sendiri.
Kewajiban kita ialah untuk melayani Sang Tuan yang telah membeli
kita untuk bekerja bagi Dia.
Dalam bagian-bagian yang berikut ini disinggung perbedaan mengenai
kelas dalam masyarakat. Rasul Paulus kembali mengatakan, "Adakah
engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa. Tetapi
jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah
kesempatan itu: Sebab seorang hamba yang dipanggil oleh Tuhan dalam
pelayanan-Nya, adalah orang bebas, milik Tuhan. Demikian pula orang
bebas yang dipanggil Kristus, adalah hamba-Nya" (1Korintus 7:21-24).
Jadi, artinya seseorang dalam masyarakat sekalipun adalah orang
bebas, namun tetap hamba dari Yesus Kristus. Atau kembali, seperti
tertulis dalam bagian yang cukup dikenal dalam Roma 6:17-22, Rasul
Paulus mengatakan bahwa mereka yang ditulisinya itu dahulu adalah
"hamba-hamba dosa" (ayat 17) tapi sekarang telah menjadi hamba-hamba
kebenaran (ayat 18), dan kemudian (dalam ayat 22) ia memakai kata-
kata "dimerdekakan" dan mengatakan bahwa mereka telah menjadi hamba
Allah.
Kenyataan ini menyingkapkan kuat kuasa kata-kata yang sudah kita
kutip di atas dari Matius 20:28: "Anak Manusia datang bukan untuk
dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang". Tebusan ialah harga yang harus
dibayar untuk memerdekakan seorang hamba, sehingga dengan kalimat
lain, ayat tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut, "Aku telah
datang bukannya untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan
memberikan nyawa-Ku untuk memerdekakan hamba-hamba". Di kayu salib,
Yesus telah membayar tebusan yang memerdekakan kita dari perhambaan
dosa, dan dengan demikian kita telah dipindahkan menjadi abdi dari
pada Dia yang telah menjadi Tuan kita yang baru.
Di sini kita harus berhenti sebentar untuk menanyakan diri kita
sendiri, "Saya ini, hamba siapakah? Apakah saya mengakui Tuhan Yesus
Kristus sebagai Tuan saya? Dapatkah saya berkata, ´Saya bukan lagi
milik saya, saya adalah milik Dia´?"
Di Jepang, gagasan tuan beserta para abdi yang setia sampai mati,
kita jumpai berulang-ulang dalam sejarah dan literatur. Menjadi
orang Kristen berarti mengakui Yesus sebagai Tuan yang berdaulat
atas hidup dan diri kita, sebagai Raja di raja dan Tuan atas segala
tuan, dan menganggap diri sendiri selanjutnya sebagai milik yang
sudah dibeli, hamba dari pada Dia.