Setiap anak pernah berbohong dalam hidupnya. Ada yang melakukannya karena situasi yang mendesak, namun ada pula yang menjadikannya sebagai suatu kebiasaan yang pada akhirnya akan membawa kehancuran pada hidup anak.
Menindak seorang anak yang kedapatan berbohong tidaklah mudah. Selain meneliti berbagai alasan dan penyebab yang mungkin mendorong seorang anak untuk berbohong, sebagai guru Sekolah Minggu kita juga harus bertindak dengan sangat hati-hati serta bijaksana, supaya teguran dan disiplin yang kita berikan dapat membawa anak pada jalan yang benar dan bukannya malah menyakiti hati anak.
A. Cerita Anak yang Berbohong
Tentunya kita masih ingat cerita si boneka kayu lucu yang bernama Pinokio. Dalam salah satu adegannya diceritakan bagaimana si Pinokio berbohong untuk menutupi kesalahannya, yaitu membolos dari sekolah. Pada saat kata-kata bohong keluar dari mulutnya, bertambah panjanglah hidung si Pinokio.
Cuplikan cerita di atas ingin mengajarkan pada anak bahwa berbohong itu tidak baik, dan berkata bohong bukanlah suatu tindakan yang benar untuk dilakukan apa pun alasannya. Selain itu, berbohong juga tidak akan menyelesaikan masalah, sebaliknya justru akan menimbulkan masalah lain.
Cerita "The Boy Who Cried Wolf" (Anak Laki-Laki yang Teriak Serigala) merupakan contoh lain yang mengajarkan kepada anak untuk tidak dengan mudah berbohong pada orang lain, meskipun itu hanya sekedar "main-main".
Dalam cerita yang terkenal ini, dikisahkan kebiasaan buruk seorang anak yang suka berteriak, "Ada serigala, ada serigala!". Namun setiap kali orang banyak datang dan hendak menolongnya dari serangan serigala, anak tersebut tertawa karena semua orang terpedaya oleh ucapan bohongnya itu. Hingga pada suatu hari dimana anak tersebut sungguh-sungguh diserang oleh serigala dan berteriak, "Ada serigala, ada serigala!", tidak ada seorang pun yang menggubrisnya karena mereka mengira bahwa anak tersebut berbohong lagi seperti yang sudah-sudah.
B. Pelajaran dari Alkitab Mengenai Kebohongan
Alkitab mengajarkan pada kita untuk selalu berlaku jujur, mengatakan yang benar jika itu benar dan yang salah jika itu salah, membuang dusta, dan menghindari kebohongan.
Beberapa kisah di Alkitab secara jelas menunjukkan penghukuman Tuhan atas sikap serta perilaku orang-orang yang tidak jujur, misalnya: Ananias dan Safira bersepakat mengatakan hal yang tidak sebenarnya, Gehazi menipu tamu Elisa untuk mendapatkan uang serta materi, atau Yakub yang bersekongkol dengan ibunya untuk mengelabui Ishak, ayahnya sendiri.
Kebohongan jelas merupakan perbuatan yang tidak terpuji, namun cara mengoreksi tindakan anak yang berbohong tidaklah sederhana dan mudah. Karena ada beberapa jenis kebohongan dan berbagai alasan anak berbohong, maka sebagai guru Sekolah Minggu kita perlu terlebih dulu mengenali latar belakang dan sebab-sebab seorang anak berbohong sebelum kita melakukan tindakan koreksi.
C. Dusta Semu dan Dusta yang Sebenarnya
Seorang anak balita yang melihat sebuah film tentang kereta api dan bercerita bahwa ia baru saja naik kereta api (padahal kenyataannya tidak demikian), tidak dapat disebut berdusta/berbohong. Anak balita suka berimajinasi dan masih sulit membedakan khayalannya dengan kenyataan hidupnya. Anak pada usia ini masih banyak yang belum mengetahui perbedaan mengatakan yang benar dan yang tidak benar. "Kebohongan" semacam ini disebut sebagai "dusta semu".
Alex Sobur dalam artikelnya yang berjudul Bila Anak Anda Suka Berdusta mengajak para pembaca untuk membedakan antara dusta semu dari dusta yang sebenarnya. Seseorang melakukan dusta yang sebenarnya apabila "ia secara sadar mengatakan sesuatu yang tidak benar, dengan maksud memperdaya seseorang untuk memperoleh suatu penipuan."
Untuk membedakan dusta yang bersifat semu dan dusta yang sebenarnya, Alex Sobur mengemukakan ciri-ciri dusta semu sebagai berikut:
D. Harga Diri dan Perilaku Berbohong
Mengapa ada anak yang sepertinya "suka berbohong"? Bahkan cenderung menjadikan perilaku tersebut sebagai suatu kebiasaan dalam hidupnya?
Dalam banyak kasus, menurut artikel yang berjudul "Karena Terancam Tito Berbohong", masalah utama seorang anak jatuh dalam kebiasaan berbohong adalah karena anak tersebut mulai kurang menghargai dirinya sendiri. Hal ini bisa disebabkan oleh orang-orang di sekitarnya yang menuntut secara berlebihan, tidak menghargainya, atau karena pola pendidikan yang keliru.
Mendorong anak untuk menguasai kecakapan tertentu, sesederhana apapun bentuknya, sangatlah membantu anak untuk mengembalikan rasa percaya dirinya. Lingkungan yang mendukung dari orang-orang yang mau mengerti serta menerima anak (meskipun anak tersebut bukan anak yang "manis" atau "pandai") juga akan menolong anak keluar dari rasa takut berbuat salah atau dari rasa minder yang tidak sehat.
Seorang anak yang menerima cinta kasih yang tulus dari orang-orang yang dekat dengannya cenderung akan lebih mengembangkan kebiasaan yang baik dan tidak suka berbohong. Sebaliknya, seorang anak yang dibesarkan dalam suasana yang tegang, dimana kesalahan kecil mendatangkan hukuman yang hebat, tuntutan orang tua sangat tinggi, dan penghargaan serta pujian mahal harganya, akan mencetak anak yang rusak harga dirinya, yang memilih jalan keluar "berbohong" untuk menghindar dari berbagai tekanan hidupnya.
Menanamkan nilai-nilai kejujuran adalah penting. Ajarkan pada anak bahwa Tuhan menghendaki anak-anak-Nya datang kepada-Nya dengan hati yang jujur dan terbuka. Bahwa Tuhan mau menerima siapa saja yang datang kepada-Nya meminta pengampunan atas segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan bahwa Tuhan memberikan pengampunan serta hidup baru bagi mereka yang bertobat / berbalik dari perilakunya yang tidak benar.
Kiranya Tuhan memberkati pelayanan anda.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK