Ide-ide abstrak dan simbolis akan ditangkap menurut pengertian
harafiah mereka. Misalnya saja, Monika, gadis kecil yang baru
berusia lima tahun, ia berhenti mengucapkan doa malamnya pada
minggu di mana ia dan keluarganya pindah ke rumah baru mereka.
Ibu Monika menyangka keengganan putrinya untuk mengucapkan doa
malam ini disebabkan karena kekecewaan Monika karena pindah dari
rumah mereka yang lama. Namun demikian, Monika tampak benar-benar
bahagia dengan rumah barunya dan lingkungan di sekitarnya.
Akhirnya, setelah beberapa minggu berlalu, orangtua Monika baru
mengerti alasan yang sebenarnya Monika enggan berdoa malam. Di
rumah mereka yang lama, Monika dengan mudah memvisualisasikan
bahwa doanya didengar Tuhan karena di dekat rumah mereka yang
lama tersebut ada sebuah gereja. Tuhan, menurut pemikirannya yang
lugu, tinggal di "rumah-Nya" yaitu di gereja. Dengan demikian
ketika mereka harus pindah ke luar kota, pikiran dan keyakinannya
tidak terentang cukup jauh untuk membayangkan bahwa Tuhan masih
dapat mendengar doanya walaupun rumah mereka yang baru jauh dari
gereja. Pemikirannya yang lugu membuatnya menciptakan gambaran
bahwa Tuhan tinggal di dalam gereja, oleh karena itu di rumah
lama doanya masih dapat didengar Tuhan karena dekat gereja.
2. Pemikiran anak berkembang dari pengalaman pribadinya
Anak-anak tahu apa yang ia lihat dan ia kerjakan. Kata-kata tidak
cukup untuk menyampaikan informasi yang ingin ia ucapkan. Anak-
anak membutuhkan bingkai referensi sehingga penjelasan verbal
yang ingin ia sampaikan mempunyai makna yang jelas. Kebutuhan
anak akan pengalaman seringkali diikuti dengan masalah
keterbatasan anak dalam berpikir, yaitu masalah kosa kata.
3. Pemikiran anak dibatasi oleh perbendaharaan kosa kata yang
dimilikinya
Anak usia tiga tahun mampu memahami 85-89% percakapan normal yang
dilakukan oleh orang dewasa. Namun, 10-15% kata-kata asing yang
ditangkapnya seringkali menimbulkan masalah. Anak usia di bawah
empat tahun jarang sekali ada yang meminta penjelasan untuk kata-
kata asing yang didengarnya. Mereka terlalu sibuk belajar tentang
segala hal sehingga tidak sempat bertanya definisi kata-kata yang
didengarnya tersebut. Sebaliknya, anak-anak akan mengembangkan
suatu pola mencocokkan kata-kata asing tersebut dengan kata-kata
yang telah mereka ketahui maknanya.
Pada suatu Minggu Paskah, dalam perjalanan kami pulang dari
menghadiri misa Paskah di gereja, saya menanyai Andrew di mobil
tentang kisah Alkitab yang baru saja ia dengarkan. Tampaknya
tidak ada salahnya kami bertanya hal-hal seputar Paskah pada
Andrew, tetapi jawaban Andrew sungguh mengejutkan, "Cerita tadi
tentang Yesus di penjara (prison)!"
Saya tahu isi Alkitab dan saya tentu saja tahu kisah Paulus dalam
penjara atau Yusuf dalam penjara, tetapi tak pernah sekalipun
saya mendengar tentang Yesus dalam penjara. Setelah beberapa
pertanyaan, akhirnya jelas sudah apa yang sebenarnya didengar
Andrew. Pada masa pra-paskah, guru-guru di sekolah Andrew selalu
memperbincangkan bahwa "Allah telah bangkit!", "God is risen!".
Mereka juga menyanyikan lagu tentang hal itu dan mengatakan agar
anak-anak bahagia karena "Allah telah bangkit (risen)". Tetapi
tak satupun dari guru-guru tersebut yang menjelaskan apa arti
"risen" sebenarnya. Karena belum pernah mendengarkan kata
tersebut sebelumnya, Andrew melakukan apa yang biasanya dilakukan
anak-anak jika mereka mendengarkan kata-kata asing. Ia
menggunakan kata tersebut untuk menggantikan kata yang mirip
bunyinya (kata "risen" dan "prison") dengan kata yang pernah ia
dengarkan dan sepanjang hari ia merasa heran mengapa semua orang
harus berbahagia jika Yesus dipenjarakan.
Bahkan jika anak-anak menggunakan kata-kata dengan benar, belum
tentu mereka memahami kata-kata tersebut. Anak-anak sangat lihai
dalam menirukan, mereka ikut bernyanyi, mengutip sajak-sajak,
menggunakan ungkapan atau kiasan tanpa memahami apa yang baru
saja mereka nyanyikan atau katakan. Kenyataan bahwa mereka tidak
memahami arti kata-kata yang mereka ucapkan juga tidak mengganggu
mereka sedikitpun. Mereka itu seperti politikus yang puas
mendengar apapun yang mereka ucapkan walaupun sebenarnya kata-
kata tersebut tidak mempunyai arti sama sekali.
4. Pemikiran anak-anak dibentuk oleh sudut pandang yang terbatas
Jika orang-orang dewasa seringkali kesulitan dalam menerima sudut
pandang orang lain, anak-anak seringkali mengalami kesulitan
karena mereka tidak menyadari bahwa orang lain dapat mempunyai
sudut pandang yang berbeda dari sudut pandang yang dimilikinya.
Anak-anak dengan gembiranya menganggap orang lain mempunyai
pikiran dan perasaan yang sama tentang segala hal.
Dengan demikian, jika seorang anak kecil mempunyai suatu ide
yang mantap, adalah hal yang sulit untuk dapat mengubah cara
berpikirnya. Jika ada cara lain untuk melihat sesuatu, cara
anak-anaklah yang benar.
Sudut pandang anak akan menghasilkan kesimpulan yang menarik karena
ia seringkali akan memfokuskan perhatian mereka terhadap suatu
masalah kecil atau tidak ada hubungannya sama sekali dan kehilangan
komponen yang utama. Contohnya, seorang anak dalam menceritakan
orang Samaria yang baik hati akan lebih memfokuskan cerita pada
keledai-keledai, tutup kepala, atau para perampok dari pada tentang
kebaikan yang harus diberikan kepada siapapun yang membutuhkannya.
Jika dalam cerita, anak-anak tertarik kepada keledainya, maka cerita
tersebut adalah tentang keledai menurut sudut pandang si anak.