Oleh: Wilfrid Johansen
Rasanya kebanyakan orang Kristen akan mudah terhanyut dalam rasa pilu yang melankolis ketika menyaksikan adegan Yesus disiksa dalam film "The Passion of Christ" yang disutradarai oleh aktor Hollywood terkenal, Mel Gibson. Teriak kesakitan akibat deraan cambuk Romawi, juga darah yang melumuri sekujur tubuh Yesus, semuanya cukup memberikan efek yang mengharukan pada diri penonton kristiani. Penggalan film ini akhirnya menjadi salah satu klip video yang paling banyak dimunculkan pada ibadah-ibadah Kristen khususnya pada momen Jumat Agung. Artikel ini secara ringan ingin memaparkan kepada kita apakah sebenarnya yang dimaksud dengan "siksaan yang dialami Kristus" tersebut? Mengapa menurut pemimpin-pemimpin agama Yahudi saat itu Yesus layak untuk disiksa? Dan apakah ada hal penting yang bisa kita pelajari dari hal ini?
Hal Siksaan Yang Dialami Kristus
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "siksaan" memiliki arti "penderitaan atau kesengsaraan sebagai hukuman". Siksaan ini sendiri dapat berupa siksaan fisik maupun siksaan batin. Dengan demikian frasa "siksaan yang dialami Kristus", kurang lebih dapat diartikan sebagai "penderitaan atau kesengsaraan fisik ataupun batin yang harus dialami Kristus sebagai hukuman". Dan Kristus memang mengalami penderitaan sebagai hukuman baik dari segi fisik maupun batin.
Dalam hal siksaan fisik misalnya, seorang penafsir Alkitab terkenal, William Barclay, menuliskan bahwa Yesus sempat menderita hukuman siksa dengan cara diikat pada tonggak dengan punggung terbuka. Cemeti yang digunakan untuk mendera tubuh Yesus terbuat dari tali kulit panjang sembari di sana-sini diberi butir-butir timah dan potongan kecil tulang yang sudah diruncingkan. Lebih lanjut William Barclay menjelaskan bahwa hanya sedikit orang yang tidak pingsan selama penyesahan seperti itu dan bahkan ada yang mati atau menjadi gila. Siksaan fisik ini terus berlanjut hingga pada puncaknya ketika Yesus dieksekusi dengan metode kuno yaitu penyaliban; sang terhukum dipaku di sebuah kayu besar dan seharusnya dibiarkan menggantung hingga mati.
Siksaan batin yang telah dialami Yesus justru telah dimulai pada saat sebelum Ia ditangkap, disesah, dan disalibkan. Diceritakan bahwa Yesus sempat sangat ketakutan dan bahkan Alkitab menuliskan bahwa peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah (Lukas 22:44). Beberapa orang menilai bahwa keadaan yang dialami oleh Yesus menandakan bahwa Ia sedang dalam kondisi gejala stres berat dan dalam istilah medis biasa disebut "hematidrosis".
Lepas dari permasalahan siksaan sebagaimana yang telah banyak dibahas oleh para penulis dan pengkhotbah Kristen, ada hal penting lain yang perlu untuk ditanyakan dan dikaji lebih lanjut yaitu mengapa menurut pemimpin-pemimpin agama Yahudi saat itu, Yesus layak untuk disiksa?
Disiksa Bukan Sebagai Penjahat
Menurut Pdt. Eka Darmaputra, Ph.D. dalam bukunya yang berisikan kumpulan renungan tentang sengsara dan kebangkitan Yesus Kristus, "Mengapa Harus Disalib?", orang-orang pada zaman Yesus, menyalibkan (baca: menyiksa) Yesus atas nama kebenaran agama Yahudi (Yudaisme), bukan karena Yesus adalah orang jahat. Yesus dihukum sebagai penghujat dan penyesat. Lebih lanjut dalam bukunya tersebut, Eka menerangkan bahwa penghukuman kepada Yesus secara tidak langsung menyatakan bahwa Yudaisme adalah pemegang kebenaran mutlak dan maka keyakinan yang berbeda dengan Yudaisme akan dianggap sangat berbahaya. Pendeknya, dapat disampaikan di sini bahwa menurut penilaian para pemuka agama Yahudi pada masa itu, Yesus layak disiksa, karena Dia dianggap telah menodai kesucian dan kemurnian Yudaisme. Yesus layak dihukum karena Ia telah melakukan sesuatu yang disebut "penodaan agama".
Hal Penodaan Agama dan Akibat Siksaan yang Dialami Yesus
Pada hari-hari ini hal penodaan agama sedang cukup hangat diperbincangkan di Republik kita. Yang menjadi pokok permasalahan utama dan pro kontra dalam hal ini adalah tentang perlu dicabut atau tidaknya Undang-undang (UU) No. 1/PNPS/1965, tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Undang-undang tersebut selama ini menjadi telah menjadi payung hukum atas penindakan terhadap kegiatan yang dinilai identik dengan penodaan atau penyelewengan terhadap agama. Banyak pihak yang menginginkan agar UU No.1/PNPS/1965 yang walaupun diterbitkan pada masa darurat, tetap dapat dijadikan payung hukum agar tidak ada yang melakukan tindakan penodaan, penistaan, atau penyelewengan terhadap agama. Karena -- masih menurut kelompok ini -- jika UU ini ditiadakan, aparat penegakan hukum akan kehilangan pijakan peraturan untuk menindak para penyeleweng agama. Sedangkan pihak yang lain memandang bahwa UU tersebut justru kerap digunakan sebagai tameng untuk mengekang kebebasan hak individu dalam beragama dan bekeyakinan. Undang-undang tersebut juga sering kali dijadikan dasar untuk melakukan tindak kekerasan atas nama agama oleh kelompok tertentu pada kelompok lainnya.
"Menodai" sendiri menurut KBBI artinya adalah "1) mengotori, 2) mencemarkan, menjelekkan, 3) merusak (kesucian, keluhuran, dsb.)". Berdasarkan definisi tersebut frasa "penodaan agama" artinya kurang lebih adalah "tindakan mengotori atau mencemarkan atau menjelekkan atau merusak kesucian atau keluhuran agama tertentu." Jadi ketika Yesus diklaim telah menodai atau melakukan penodaan agama Yahudi maka hal itu berarti bahwa Yesus dinilai telah mengotori, mencemarkan, menjelekkan serta merusak kesucian atau keluhuran agama Yahudi. Suatu klaim atau tuduhan yang amat berat tentunya!
Lalu bagaimana seharusnya kita melihat permasalahan ini? Sebenarnya klaim penodaan agama Yahudi yang dilontarkan oleh para pemuka agama Yahudi dan ditujukan kepada Yesus tersebut didasarkan pada beberapa kesalahan paradigma yang amat mendasar. Suatu kesalahan mendasar yang sanggup menjadikan para pemuka agama Yahudi, dengan tameng penodaan agama, tega mengizinkan penyiksaan dilakukan terhadap Kristus. Berkaitan dengan hal ini, Eka lebih lanjut menuliskan bahwa seharusnya hanya Tuhan Yang Satu sajalah yang mutlak, maka yang lain -- sebab yang lain bukan Tuhan -- tidak pernah mutlak. Oleh karena itu, tidak pernah boleh kita memutlakkan hal yang lain. Hal "yang lain" di sini, lagi-lagi menurut Eka, termasuk adalah keyakinan agama kita sendiri. Kita memang harus menghormati keyakinan agama kita, tetapi kita tidak boleh mempertuhankannya. Kita memang wajib meyakini kebenaran agama kita, tetapi kita tidak perlu mengutuk yang lain. Kita memang akan bersedia mati bagi keyakinan agama kita, jika itu memang diperlukan, tetapi kita tidak perlu membunuh ataupun melakukan kekerasan. Kita memang tidak boleh memperjualbelikan prinsip-prinsip agama kita, tetapi kita tidak perlu menutup telinga dan hati untuk saling belajar dari yang lain.
Jadi betapa kita wajib waspada dan berhati-hati dalam hal ini, karena rupanya siksaan yang dialami oleh Yesus Kristus sang Putra Allah bersumber pada klaim penodaan agama yang didasarkan pada paradigma yang sempit. Para pemuka agama Yahudi telah mempertuhankan agama mereka dan telah menutup telinga serta hati mereka untuk belajar pada Yesus Kristus. Suatu kesalahan yang amat tragis! Dan kesalahan yang seperti itu, tentunya tidak perlu terulang kembali pada hari-hari ini di bumi pertiwi yang kita sama-sama kita cintai ini. Tetapi toh kalaupun hal semacam itu kembali berulang dan ketidakadilan menimpa kita umat Kristiani berdasarkan tuduhan penodaan agama, biarlah dengan kuat kuasa dari Allah kita dengan berani menanggungnya seperti Yesus.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK