Akan menjadi apakah anak-anak yang Saudara didik? Apakah sekadar menjadikan mereka orang pandai, yang tidak kalah intelektualnya dengan orang lain? Pertanyaan yang serius adalah: Apakah mereka bisa menjadi berkat bagi orang lain? Westminster Shorter Catechism, yang merupakan katekismus pengakuan iman yang sangat penting dan dipakai di seluruh dunia, dalam pertanyaan pertamanya mengulas apakah yang menjadi sasaran utama hidup manusia.
Jawabnya adalah: untuk memuliakan Allah dan menikmati-Nya seumur hidup. Kalau kita mendidik anak kita, mendidik murid kita, maka kita harus mendidik mereka terutama agar mereka mengetahui bahwa karakter terpenting yang harus mereka perjuangkan adalah bagaimana mereka hidup mempermuliakan Allah dan menjadi berkat bagi orang lain. Kalau yang mendirikan sekolah Kristen sendiri tidak tahu bagaimana konsep ini, silakan berhenti menjadi guru. Kalau Saudara menjadi orang tua yang tidak tahu bagaimana hidup bertanggung jawab memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi orang lain, mintalah ampun kepada Tuhan dan segera bertobat. Biarlah kita semua bertobat dan memohon kepada Tuhan agar kita boleh diberi bijaksana mendidik, agar anak-anak kita memuliakan Tuhan dan mendatangkan faedah bagi orang lain.
Kita harus memikirkan bagaimana menanamkan konsep "ideal-man" yang bisa diidam-idamkan oleh anak atau murid-murid kita sehingga dari kecil, mereka sudah dipupuk di dalam suasana bagaimana mereka mengejar ke arah sasaran yang indah ini. Paulus menegaskan bahwa Kristus menjadi sasaran kita. Berarti "ideal-man" itu adalah diri Kristus sendiri. Paulus seumur hidupnya bekerja untuk memuliakan Kristus dan ia berusaha sekuat tenaga untuk menjadi serupa seperti Kristus. Ia berjuang untuk menyatakan kemuliaan Kristus sehingga Kristus terus-menerus dibesarkan, baik melalui hidup maupun matinya. Itulah pelayanan. Pelayanan berarti, baik di dalam hidup maupun matiku, aku tetap memuliakan Kristus dan hidup sesuai dengan Kristus sehingga setiap orang yang melihat aku akan melihat Kristus hadir, sehingga kemuliaan-Nya dinyatakan kepada mereka.
Sebelum Kristus hadir, begitu banyak konsep tentang manusia ideal diutarakan oleh manusia, tetapi ketika Kristus hadir, semua konsep itu kini mewujud dalam diri Kristus. Di dalam diri Kristus tersimpan segala kebijaksanaan Allah yang terwujud di dalam daging. Oleh karena itu, Ia dapat berkata, "Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa yang mengutus Aku. Barangsiapa percaya kepada-Ku, ia bukan percaya kepada-Ku, tetapi percaya kepada Bapa yang mengutus Aku." Berikut ini hal-hal yang perlu diperhatikan pendidik Kristen untuk membawa anak-anak memiliki watak Kristus.
1. Cermin Kemuliaan Allah
Seorang guru Kristen harus bisa memaparkan kesempurnaan, keindahan, dan kemuliaan Kristus untuk menjadi ide sasaran Saudara dan sekaligus ide sasaran murid. Dengan demikian, pembentukan karakter Kristen bisa dimungkinkan terjadi. Sejak kecil, murid harus melihat sesuatu yang menarik dia dan memberikan inspirasi kepadanya, yang merangsang dan memotivasi dia, sehingga ia tahu bahwa ia tidak boleh mundur. Ia harus memiliki keyakinan, yaitu jika orang lain bisa mencapai prestasi mereka, mengapa saya tidak bisa mencapai prestasi saya. Ibu saya selalu mendorong saya untuk belajar lebih baik dan tidak pernah puas. Kalimat-kalimat ibu saya yang begitu sedikit selalu merangsang pikiran saya. Saya menjadi anak yatim pada usia 3 tahun. Ibu saya membesarkan saya dengan susah payah. Ia selalu merangsang saya dengan kalimat-kalimat, "Jangan cepat puas, jangan mundur, engkau harus mengembangkan dirimu sendiri." Ibu saya memakai kalimat-kalimat yang kembali saya pakai untuk anak-anak saya: "Saya tidak akan ikut menentukan hari depanmu, saya tidak akan memilihkan jodoh bagimu, dan saya tidak akan menentukan arah profesimu. Engkau harus bertanggung jawab, minta kepada Tuhan untuk memberikan kepadamu kebijaksanaan agar engkau mempunyai prinsip Alkitab untuk memilih, lalu menempuh jalan itu dengan berani." Inilah perbedaan antara orang Kristen dan orang bukan Kristen. Orang bukan Kristen selalu peduli prestasi, keuangan, agar anak-anaknya bisa mencari uang sebanyak mungkin. Itulah ukuran kesuksesan mereka. Jika uang adalah standar, Yesus adalah Pribadi yang paling gagal! Apabila ukuran kesuksesan adalah pengakuan dan penerimaan oleh banyak orang, Yesus yang mati dipaku di atas kayu salib adalah Pribadi yang paling gagal! Namun, justru ketika Yesus Kristus berada di kayu salib, Ia berkata, "Sudah selesai! Genaplah!" Ini merupakan suatu pandangan filsafat pendidikan Kristen yang sama sekali berbeda dari pandangan dunia. Kita mempunyai sasaran, kita mempunyai ide, yaitu ide Tuhan, yang lebih tinggi dari semua ide manusia, untuk menjadi ide kita hidup di dalam dunia. Ada perbedaan besar antara: aku mempunyai cita-citaku, dengan aku yang sesuai dengan ideal yang harus kucapai.
2. Sasaran Pendidikan
Konfusius mempunyai prinsip yang sangat besar dengan membedakan antara orang terhormat (gentleman/ideal--man) dan orang kecil (orang rendah, orang yang hatinya sempit, yang tidak memiliki keagungan jiwa dan wataknya). Dunia ini mempunyai dua macam pribadi. Satu, golongan orang memiliki sasaran dan keanggunan hidup. Orang seperti ini mempunyai visi, beban, pengabdian, dan moral di dalam diri lebih daripada sekadar jasmani di luar. Orang-orang seperti inilah yang akan menentukan arah sejarah dan akan mengetuk hati nurani orang lain. Orang lain akan ikut menangis apabila mereka menangis, dan orang lain akan turut tertawa apabila mereka sukses. Mereka akan menjadikan orang lain terharu dan rela berkorban demi sesuatu yang bernilai lebih tinggi. Inilah manusia ideal, menjadi manusia seperti yang seharusnya. Konfusius mengatakan bahwa orang-orang seperti ini mempunyai ciri khusus, yaitu mencari kebenaran lebih daripada sekadar mencari makanan.
Dunia sekarang ini hanyalah merupakan dunia yang sedang mengejar, mencari makan, mencari promosi jabatan, mencari kesenangan dunia, tetapi pada akhirnya, justru karena menginginkan kedudukan yang tinggi, mereka menggeser posisi orang lain, berlaku munafik, atau memakai segala cara yang jahat untuk menjatuhkan orang lain. Orang-orang seperti ini sering memiliki gelar yang tinggi, mungkin sampai Ph.D. atau doktor-doktor yang lain. Jika mereka mempunyai kesempatan mendapatkan pengisian otak yang paling besar, tetapi hati nurani mereka masih penuh dengan kejahatan, maka pendidikan telah gagal total.
Tempat yang paling tidak adil justru di pengadilan. Ini berarti bahwa orang bisa belajar hukum setinggi mungkin secara akademis, tetapi hukum ternyata tidak berhasil mengontrol mereka untuk mencapai keadilan. Hukum hanya menjadi suatu alat yang dipermainkan oleh para ahli hukum untuk menjatuhkan orang lain. Ahli hukum adalah ahli-ahli yang mengerti hukum dan di tengah-tengah hukum berbuat sesuatu yang melanggar hukum, tetapi tetap tidak dihukum. Bukankah pengadilan seharusnya menjadi tempat yang menegakkan keadilan? Akan tetapi, sering kali pengadilan justru menjadi tempat yang paling berani menghujat keadilan, menjadi tempat yang paling tidak adil. Inilah hasil pendidikan.
Bukankah Alkitab merupakan sumber pengajaran firman Tuhan? Namun, mengapa orang-orang Farisi yang paling banyak menghafal Alkitab justru yang paling berani membunuh Yesus di atas kayu salib? Sebab, agama telah diperalat. Secara akademis, mereka mencapai tuntutan yang diminta, tetapi secara fakta, mereka sangat miskin dan gagal.
Mengapa begitu banyak anak-anak ahli pendidikan, para profesor yang besar, hidup tidak beres? Mengapa banyak anak-anak pendeta yang hidup tidak beres? Mengapa begitu banyak kaum awam, yang tidak banyak belajar teologi, anak-anaknya begitu mencintai Tuhan? Mengapa banyak janda, ibu yang lemah, tidak mempunyai cukup uang untuk mendidik, anak-anaknya ternyata begitu sukses? Semua ini tidak mudah dijawab. Di tengah ketidakmengertian ini, pada akhirnya saya berani berdiri untuk mendidik para guru, sekalipun saya bukan doktor pendidikan karena saya tahu bahwa bobot lebih penting daripada sekadar gelar akademis atau diakui di dalam sekolah saja. Saya ingin menjalankan suatu revolusi di bidang pendidikan ini supaya pendidikan kembali melihat apa yang diinginkan oleh Tuhan. Bagaimana menjadi manusia ideal (Ideal Man)? Jika Saudara membaca karya-karya Konfusius, konsepnya tentang manusia ideal muncul terus-menerus. Orang-orang kecil hanya mementingkan untung rugi, tetapi orang terhormat akan memperbincangkan apa yang benar dan tidak benar.
Kalau gereja ribut hanya karena gagal mau menjadi pemimpin, pemimpin gereja seperti itu lebih parah dibandingkan dengan para pemimpin sekuler di dunia. Jika satu gereja bertengkar karena dipilih jadi majelis atau tidak, pendidikan Kristen telah gagal sama sekali. Pendidikan harus membentuk pribadi. Kalau pendidikan tidak membentuk pribadi, pendidikan belum dapat disebut sebagai pendidikan. Biarlah kita yang sudah mendengar dan menerima hal ini, diberikan kekuatan dan kuasa untuk mengubah arah baru pendidikan di sekolah-sekolah tempat Saudara berada.
Diambil dan disunting dari:
Judul buku | : | Seni Membentuk Karakter Kristus |
Judul asli artikel | : | Cermin Kemuliaan Allah |
Penulis | : | Dr. Mary Setiawani dan Pdt. Dr. Stephen Tong |
Penerbit | : | Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1995 |
Halaman | : | 92 -- 96 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK