Ditulis oleh: Santi T.
Suasana ramai terdengar dari meja sebelah ketika saya makan di sebuah rumah makan sederhana di pinggir jalan. Ternyata, suara ramai itu muncul dari "tablet" yang dipegang seorang anak kecil dan dari telepon genggam seorang pria separuh baya -- mungkin ayahnya. Belum ada makanan di atas meja mereka, hanya ada sekotak tisu dan sekotak tusuk gigi. Sepertinya, mereka berdua sedang bermain game (dengan "volume" yang keras) untuk mengisi waktu senggang menunggu pesanan makanan datang. Mereka sangat menikmati sekali petualangan/pengalaman bermain game di gadget mereka. Mereka begitu serius, hampir jarang berkedip, dan sangat fokus. Tiba-tiba, seorang wanita (mungkin ibunya) datang dengan membawa beberapa botol minuman, lalu ia meletakkannya di meja. Tak ada respons, pandangan anak dan ayah itu tetap terfokus pada layar gadget mereka. Wanita itu hanya mengembuskan napas pendek dan mengernyitkan dahi, tanda kurang senang dengan keadaan itu.
"Aduh! Sayang sekali!" kata pria itu sembari tangan kanannya memegang kepala.
"Kenapa?" tanya wanita itu.
"Baterainya habis," jawab pria itu dengan nada menyesal.
"Baguslah!" kata wanita itu.
Akhirnya, mereka bertiga makan dengan perbincangan yang sangat minim sekali. Mereka menikmati makanan, tetapi tidak menikmati kebersamaan. Sangat terlihat betapa jauhnya relasi mereka dan begitu dekatnya gadget mereka. Aneh memang, tetapi inilah kenyataannya. Bahkan, anak kecil itu pun sudah terbiasa dengan keadaan ini. Dia sangat asyik dengan tabletnya, dan ketika tablet itu diambil darinya, ia berteriak dan memberontak sembari menarik tablet itu. Karena tak berhasil, ia terdiam, cukup lama ... hanya memandangi orang-orang yang berjalan di sekitar tempat itu. Terlihat sekali betapa jenuhnya anak itu karena orang tua mereka hanya bicara berdua, itu pun si wanita yang banyak bicara. Anak itu gelisah dan terlihat tidak nyaman. Akhirnya, bukan pelukan hangat atau cerita menarik yang didapat si anak, tetapi secangkir es krim warna-warni, di atasnya penuh cokelat, dan bertaburkan puding kotak-kotak kecil. Perhatian orang tua yang tercurah melalui secangkir es krim sepertinya tak melenyapkan kegelisahan dan kebosanan anak itu.
Peristiwa singkat yang saya temui di sebuah rumah makan sederhana ini menarik, tetapi juga tragis. Saya berpikir bahwa orang tua zaman sekarang sudah terjebak dalam "menyenangkan anak" atau memerhatikan anak dengan cara yang salah. Memang, siapa pun anak itu, kalau dibelikan gadget, es krim, dan barang-barang yang mereka sukai pasti akan sangat senang, dan mungkin akan menceritakan hal itu kepada siapa saja yang mereka temui. Namun, setiap anak memerlukan perhatian yang sesungguhnya dari orang tua mereka. Setiap anak memerlukan kasih sayang, komunikasi yang baik, bimbingan rohani yang bertanggung jawab, dan perhatian yang meluap dari hati orang tuanya.
Saya pikir orang tua yang berhasil adalah orang tua yang bisa menanamkan konsep bahwa kepuasan hidup manusia bukan bersumber dari hal-hal materi, melainkan dari hal-hal rohani. Orang tua yang bisa membimbing dan memerhatikan anak-anak mereka dengan kasih yang telah mereka terima dari Allah, akan jauh lebih baik daripada orang tua yang hanya berfokus menyediakan segala fasilitas untuk menunjang kehidupan anak supaya anak tidak ketinggalan zaman. Kehadiran orang tua, baik secara fisik maupun psikis, akan sangat memengaruhi proses perkembangan anak, seperti cara berpikir, berkomunikasi, berelasi, menyelesaikan masalah, dll.. Untuk itu, marilah kita, terutama para orang tua dan pelayan anak, meminta pertolongan Tuhan supaya kita bisa lebih peka dan intens dalam membimbing dan memperhatikan anak. Kita juga harus senantiasa bersandar pada Tuhan karena Dialah yang memampukan kita untuk bisa mengasihi anak-anak kita dengan tulus.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK