Buat anak balita, bermain adalah pekerjaannya. Makanya dikatakan, dunia anak adalah dunia bermain. Namun, sambil bermain, sebenarnya anak belajar, yaitu mengembangkan seluruh aspek dalam dirinya.
DEFINISI
Bermain ialah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan, tanpa ada tujuan atau sasaran yang hendak dicapai. Jadi, apa pun kegiatannya, bila dilakukan dengan senang bisa dikatakan bermain. Pun bila sebenarnya bekerja, misal, membantu ibu memotong sayur di dapur, tapi karena dilakukan dengan senang dan atas inisiatif si anak, maka pekerjaan itu baginya dinamakan bermain. Begitu pula bila inisiatif bermain atas ajakan orangtua, tetap dikatakan bermain, asalkan anak senang melakukannya. Sebaliknya, jika anak melakukan perbuatan yang kita anggap bermain, tapi dengan terpaksa atau karena dipaksa, maka tak bisa dikatakan bermain.
Itu sebab, bermain dikatakan sebagai kegiatan inklusif dan inheren, yaitu muncul atas motivasi dari dalam diri dan tak perlu diajarkan lagi. Soalnya, sejak bayi memang ada kebutuhan bermain. Namun begitu, suatu kegiatan baru dikatakan bermain bila dilakukan setelah usia 3 bulan. Sebelum usia 3 bulan, kegiatannya lebih banyak menggambarkan refleksnya. Setelah usia 3 bulan, kegiatannya didasarkan dorongan untuk mencapai kesenangan.
Definisi bermain berlaku sampai tua. Hanya, orang dewasa menyebutnya bukan bermain, melainkan berekreasi. Sementara bermain untuk anak usia sekolah bukan atas dorongan semata, tapi juga disertai rasa ingin menang. Jadi, belum pantas bila anak balita dipacu untuk menang semisal mengikuti lomba-lomba yang menekankan kesempurnaan hasil. Hal ini sama saja dengan merampas hak anak.
MANFAAT BERMAIN
Manfaat bermain amat banyak dan selalu menyangkut tiga ranah yaitu:
Anak akan terlatih motorik kasar-halusnya. Dengan bergerak, ia akan memiliki otot-otot tubuh yang terbentuk secara baik dan lebih sehat.
Anak merasa senang karena ada teman bermainnya. Di tahun-tahun pertama kehidupan, orangtua merupakan teman bermain yang utama bagi anak. Ini membuatnya merasa disayang dan ada kelekatan dengan orangtua, selain belajar komunikasi dua arah.
(Berhubungan dengan berpikir/kecerdasan) Anak belajar mengenal atau punya pengalaman mengenai objek- objek tertentu seperti: benda dengan permukaan kasar-halus, rasa asam, manis, dan asin. Ia pun belajar perbendaharaan kata, bahasa, dan berkomunikasi timbal balik. Makin usia bertambah, ia pun tertarik memperhatikan sesuatu, memusatkan perhatian dan mengamati, misal, kala diperlihatkan buku-buku bergambar.
Pada anak-anak yang mengalami gangguan seperti autisme atau hiperaktif, lewat media bermain juga dilatih berkonsentrasi, mengenal warna atau bentuk, dan sebagainya. Anak autis juga dilatih untuk bisa melakukan kontak dengan orang lain; sedangkan anak hiperaktif atau gangguan atensi dilatih untuk memperhatikan dengan lebih sabar dan mau mencoba menyelesaikan tugasnya.
HARUS SEIMBANGKita hendaknya tak cuma mengembangkan aspek tertentu. Kalau tidak, misal, hanya aspek kognisinya yang distimulasi sejak dini agar cerdas, bisa-bisa anak jenuh. Berdasarkan studi banding di Amerika Serikat, dilakukan penelitian longitudinal terhadap anak-anak TK antara kelompok yang diberikan program 3 M (membaca, menulis, menghitung) dengan yang tidak, ternyata 10 tahun kemudian kemampuan akademis mereka sama. Bahkan, anak yang dirangsang terlalu dini, akhirnya mengalami gangguan-gangguan emosi, tak mau sekolah, berperilaku menyimpang, atau memberontak.
Seimbangkan juga kegiatan fisik dengan kegiatan di tempat seperti main lego, meronce, atau menggambar. Meski si anak tipe aktif yang tak suka permainan diam di tempat atau sebaliknya, kita tetap harus menyeimbangkannya. Jadi, anak harus punya kesempatan bermain yang melibatkan fisiknya, selain bermain yang perlu ketekunan. Dengan begitu, wawasannya jadi luas. Bila ia hanya bermain secara fisik terus, anak kurang mendapat kesempatan memperoleh berbagai pengetahuan dan kurang terlatih ketekunan serta konsentrasinya.
Sebaliknya, jika hanya bermain di tempat, tapi kurang kegiatan fisik, ia jadi kurang terampil pada kegiatan luar yang akan berdampak pada sosialisasi dengan teman-temannya kelak, juga mempengaruhi kepercayaan dirinya. Jadi, bila ia keasyikan bermain di tempat, dorong ia bermain di luar rumah (outdoor). Ajak ia bermain ayunan, meniti di atas balok, bermain bola, atau melompat. Selain melatih ketrampilan fisiknya, bermain di luar memberinya kesempatan bertemu teman sebayanya. Ia pun bisa bebas mengekspresikan emosinya: bebas berteriak, jingkrak-jingkrak. Dengan demikian, selain fisik motoriknya berkembang, juga emosi-sosialnya.
TAK PERLU MAHAL
Bermain sambil belajar bisa dilakukan melalui aktivitas:
Maksudnya merangkak, berjalan, berayun, atau ciluk-ba. Dalam merangkak, misal, selain melatih motorik kasarnya, juga mengaktifkan otak kanan dan kirinya. Jadi, saat anak merangkak, kita bisa menemaninya (ikut merangkak) semisal "berlomba" sampai tujuan tertentu. Ketika ia mulai belajar berjalan dengan cara merambat, tirukan dan ajaklah ia "berlomba". Hingga, ia terdorong melatih motorik kasarnya, selain juga mendekatkan hubungan dengan ayah-ibu.
Anak bisa bereksplorasi dengan barang-barang rumah tangga, semacam centong kayu dengan panci sebagai alat musik, belajar memutar atau memasukkan wadah dengan tutupnya, atau bermain dengan cermin, dan lainnya.
Alat permainan edukatif adalah alat yang sengaja dirancang untuk tujuan tertentu. Syaratnya:
Jika alat permainan edukatif tak bisa terbeli karena keterbatasan ekonomi, kita bisa berkreasi dengan membuatnya dari bahan-bahan yang ada di sekitar rumah. Misal, bagi yang tinggal di dekat pantai bisa menggunakan kumpulan kerang-kerang aneka bentuk dan ukuran yang telah dicuci bersih. Anak bisa diminta menyusun dari ukuran yang besar ke kecil atau dibuat bentuk tertentu, dironce.
Jadi, asalkan orangtua kreatif, sebenarnya mainan tak perlu mahal, tapi bisa dibuat sendiri. Misal, untuk melatih indera pendengaran, isilah botol bekas dari bahan kaleng dengan sesuatu agar berbunyi kala dikocok; untuk mengenalkan warna, bisa diambil berbagai jenis bunga atau buah. Kulit jeruk atau kotak korek api bisa dibuat mobil- mobilan. Pun bila ingin punya puzzle, kita bisa membuatnya dari potongan gambar di majalah yang ditempelkan ke kertas karton lantas dipotong-potong membentuk puzzle. Tentu tinggal menyesuaikan dengan usia anak; untuk usia lebih dini, dibuat puzzle tunggal, misal, gambar gajah utuh atau bunga mawar utuh; untuk tahapan selanjutnya, puzzle bisa lebih rumit lagi.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK