Dalam masa tumbuh kembang anak, ada hal yang sangat ditunggu bagi
orangtua yakni mendengar bayinya bersuara, tetapi ketika anak
kemudian tumbuh dan berkembang serta sudah lancar berbicara, kadang
orangtua mengabaikan apa pendapat anak atau apa yang diinginkan
anak. Mendengar pendapat anak dan menyejajarkannya dengan pendapat
orang dewasa, hingga kini belum banyak dilakukan orang dewasa dan
tentu saja menjadi pekerjaan rumah (PR) besar buat kita.
BATASAN USIA ANAK
Hingga saat ini masih terjadi perbedaan kategori batasan usia anak.
Padahal, batasan usia anak akan sangat menentukan siapa yang berhak
untuk diberi perlindungan. Dalam produk perundangan negara kita,
batasan usia anak sangat bervariasi. Sebagai contoh batasan usia
anak/orang dalam hal politik (menggunakan hak pilih pada saat
Pemilu) akan berbeda dengan batasan usia perkawinan, yang juga
berbeda dengan batasan usia anak dalam ketenagakerjaan. Perbedaan
batasan usia tersebut tentu saja sangat membingungkan dan kurang
memberi ketegasan terhadap batasan usia anak secara umum.
Sebenarnya batasan usia anak telah secara jelas diakui internasional
yakni dengan acuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of
the Children atau CRC), yang telah diratifikasi oleh Indonesia
melalui Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990. Disebutkan dalam CRC
bahwa anak adalah setiap yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali
berdasarkan undang-undang (UU) yang berlaku, ketentuan usia dewasa
anak bisa dicapai lebih awal. Dengan demikian apabila suatu negara
menetapkan batas usia anak berbeda dalam setiap undang-undang yang
ditetapkan dalam wilayah negaranya maka tidak bertentangan dengan
CRC.
MAMPU BERPENDAPAT
Terkait dengan hak berpendapat meskipun sederhana tetapi masih
jarang dilakukan, karena adanya anggapan bahwa anak dipandang belum
memberikan aspirasi mengenai dirinya karena kesulitan bahasa dan
komunikasi secara verbal. Jika kita lebih cermati sebenarnya anak
mempunyai bahasa tersendiri untuk mengungkapkan pendapatnya seperti
bahasa tubuh, bahasa gambar, atau bahasa-bahasa lain yang kadang
kurang kita (sebagai orang dewasa) pahami.
Satu konsorsium di sebuah kota di Jawa Tengah mengadakan forum
diskusi bagi anak yang diselenggarakan dalam rangka Hari Anak
Nasional. Dalam kegiatan tersebut terkumpul kurang lebih 70 anak
yang diberikan kebebasan untuk beraspirasi dengan menggambar,
bercerita mengenai hal-hal yang paling disayangi, dan paling
dibenci. Hasilnya sangat menakjubkan, ternyata anak mampu
beraspirasi mengenai pengalaman hidupnya, mengenai keinginannya yang
sederhana dan mengenai kondisi lingkungan di sekitarnya.
Dengan cara tersebut kita menjadi seperti anak-anak dan menyadari
bahwa lingkungan di sekitar anak sangat berpengaruh pada
pertumbuhannya dan bahwa anak sangat rentan menjadi korban
kekerasan. Beberapa bentuk kekerasan yang muncul pada anak misalnya
yang harus hidup di jalan sebagai anak jalanan, anak yang harus
bekerja, menjadi korban kekerasan seksual dan terbelenggu karena
tanggung jawab keluarga yang dibebankan kepada mereka.
Dari kenyataan itu tidak ada alasan tidak, bahwa kita harus
mendengar pendapat anak dan memberi kesempatan anak untuk
beraspirasi. Menjadikan anak sebagai subyek bukan obyek, adalah
catatan penting yang harus kita lakukan. Dengan menganggap anak
sebagai subyek, kita akan mampu mendengar pendapat anak yang
disejajarkan dengan pendapat orang dewasa.
Didengarnya suara anak dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk
kebijakan pemerintah adalah hal yang menarik untuk dikaji. Secara
langsung atau tak langsung setiap kebijakan yang diambil pemerintah
juga berimbas pada anak. Misalnya kebijakan tata kota. Jika tata
ruang kota tidak mempunyai perspektif pada anak, maka akan semakin
sempitlah ruang bermain anak.
Pola pembangunan yang mengabaikan kepentingan anak, salah satunya
dengan tidak menyediakan "public space" (ruang publik) yang mudah
diakses oleh anak-anak. Kepentingan penyediaan "public space"
sebenarnya sebagai media untuk anak. Dengan demikian anak dididik
untuk belajar berinteraksi dengan orang lain dan kenal terhadap
lingkungannya. Jika kemudian tempat-tempat bermain anak tidak ada,
akan sangat berpengaruh terhadap masa tumbuh kembang anak.
Jika kita menjelajahi wilayah di kota kita masing-masing, sering
kita bertemu banyak anak yang terpaksa bermain layang-layang di
jalan yang tentu akan membahayakan jiwa mereka. Kemudian sempat juga
kita temui segerombolan anak yang bermain bola di lahan- lahan
parkir. Sebenarnya ada tempat-tempat publik/bermain lainnya, seperti
play station, taman hiburan, kebun binatang, dan lain-lain. Namun
itu semua sarat dengan kepentingan bisnis daripada kepentingan
pendidikan bagi anak-anak. Dan mesti diingat pula bahwa ruang-ruang
itu ternyata hanya bisa diakses oleh anak yang cukup mampu secara
ekonomi.
Kenyataan itu seharusnya membuka kesadaran bagi pengambil kebijakan
di pemerintah kota, bahwa setiap pembuatan keputusan haruslah
mempunyai perspektif yang jelas untuk anak. Terlebih lagi untuk
kebijakan yang terkait dengan masalah anak haruslah mengikutsertakan
anak. Sejauh ini dinilai bahwa pembangunan kota kurang bersahabat
dengan anak, seperti pengaturan transportasi bagi kepentingan anak-
anak. Seharusnya Pemerintah Kota mampu menyediakan bus-bus sekolah
yang dikhususkan beroperasi pada jam-jam sekolah sehingga anak-anak
tidak perlu berdesak-desakan atau bergelantungan di pintu bus umum
yang dipastikan berbahaya untuk mereka. Atau, Pemerintah Kota perlu
membangun tempat-tempat yang "accesible" untuk anak-anak "disabled"
(anak- anak penyandang cacat) sehingga mereka mampu mengakses tempat-
tempat tertentu, terutama tempat-tempat umum seperti tempat bermain.
Hak berpendapat anak merupakan satu-satunya hak dari sepuluh hak
anak yang telah diakui secara internasional dalam CRC, sembilan hak
anak yang lain adalah hak mendapat informasi, hak bermain, hak
berkumpul, hak mendapat pendidikan, hak beristirahat, hak memiliki
identitas, hak dilindungi keluarga, hak untuk sehat, dan hak
terpenuhi kebutuhan dasarnya.
TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
Dalam CRC yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia,
sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah untuk memberikan hak
berpendapat bagi anak. Dalam CRC, hak berpendapat anak tertuang
dalam Pasal 12 ayat 1, disebutkan, "Negara-negara peserta akan
menjamin anak-anak yang mampu membentuk pandangannya sendiri bahwa
mereka mempunyai hak untuk menyatakan pandangan-pandangan secara
bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak dipertimbangkan sesuai
dengan usia dan kematangan anak."
Dengan mempertimbangkan masa tumbuh anak tentu hak berpendapat tidak
hanya dimaknai pada saat anak berbicara secara verbal, karena hak
berpendapat ini mencakup kebebasan yang terlepas dari pembatasan
untuk meminta, menerima, dan memberi informasi serta gagasan dalam
segala jenis, baik lisan, tulisan, atau cetakan, dalam bentuk seni
ataupun media yang lain.
Sifat hak asasi anak yang universal memberikan arti bahwa hak ini
dilekatkan pada anak tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, warna
kulit, kelamin, bahasa, pandangan, politik dan lain-lain, asal-usul
bangsa, harta kekayaan, cacat, kelahiran, atau status lain dari anak
atau orangtua.
Mendengar suara anak dan mengikutsertakan anak dalam rencana
kebijakan kota terutama yang terkait dengan anak tentu menjadi
bagian dari kewajiban pemerintah untuk turut menghargai hak asasi
anak. Untuk mendengar suara anak, pemerintah bisa memfasilitasi
terbentuknya forum-forum anak. Karena, dalam penyelenggaraan forum
anak, banyak hal yang bisa digali dari anak seperti apa yang terjadi
pada anak termasuk kekerasan yang menimpanya dan apa yang menjadi
keinginan anak.
Sebagaimana terungkap dalam CRC Pasal 12 ayat 2, mendengar pendapat
anak dapat dilakukan baik secara langsung ataupun tak langsung
melalui perwakilan atau suatu badan yang tepat. Jadi, memulai dengan
mendengar pendapat anak kita termasuk anak sebagai generasi penerus
akan semakin dididik untuk menghargai perbedaan dalam berpendapat
dan menjadi pilar untuk membangun negara Indonesia yang lebih
demokratis.