Waktu itu dua minggu menjelang Natal dan saya sedang mempersiapkan
undangan untuk pesta kedua anak saya, Ann dan Mark, dan teman-teman
mereka. Semestinya saya berharap-harap menanti-nantikannya, tetapi
saya tidak melakukannya. Beberapa kali saya telah mengadakan pesta
Natal yang serupa, tetapi hampir semua orang kecewa. Tamu-tamu kecil
saya tampaknya tidak merasakan daya tarik dan keajaiban yang dahulu
saya rasakan waktu kecil.
Waktu saya kecil, tetangga sebelah kami seorang pensiunan pendeta
yang disukai semua anak di kompleks perumahan kami. Dr. Howard tidak
pernah terlalu sibuk untuk mendengarkan keluhan kami, mengagumi
binatang peliharaan kami, dan menasihati kami dengan rendah hati.
Tetapi dari semua yang dilakukannya bagi kami, yang paling membuat
ia disayangi ialah pesta Natal yang luar biasa yang disiapkannya
bagi kami. Sudah lama saya memutuskan untuk mengadakan pesta seperti
itu bagi anak-anak saya, tetapi entah mengapa saya tidak dapat
menirunya, meskipun saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk
mengikuti cara yang digunakan Dr. Howard.
Hari berikutnya ada beberapa keperluan yang harus saya selesaikan
dan dalam perjalanan saya melewati tempat saya dibesarkan. Bagian
kota yang suram itu semua masih ada, tetapi sekarang saya sudah
tidak mengenalinya dan rumah tua Dr. Howard yang dahulunya berdiri
megah sekarang sudah sangat jauh berbeda. Tetapi saya terdorong
untuk berhenti ke tepi jalan dan melihat rumah yang sudah rusak itu.
Tiba-tiba saya kembali menjadi seorang anak berusia delapan tahun
yang mendekati pintu depan yang mengagumkan itu.
Saya teringat sedang memegang erat-erat tangan adik laki-laki saya
dan bel tua itu masih bergema waktu Dr. Howard membuka pintu. Ia
mengenakan baju pendeta berwarna hitam dengan baju berkerah dan dasi
kupu-kupu. Rambutnya yang ikal berwarna putih di sekelilling
kepalanya seperti sebuah lingkaran yang bercahaya, dan seperti
biasanya ia tersenyum berseri-seri.
"Dorothy! Bobby! Kalian baik sekali mau datang! Tunggu kejutan yang
sangat istimewa yang telah saya siapkan untuk kalian nanti malam!"
Waktu saya memberi salam pada anak-anak yang lain, saya perhatikan
anak-anak laki-laki keluarga Perry kelihatan serius seperti biasa.
Saya menduga itu disebabkan ibu mereka sudah lama sakit. Ketiga anak
keluarga Donetti juga ada di sana, mereka pemalu sekali seperti
biasa karena kami semua tahu ayah mereka di penjara karena
penggelapan uang. Anak kembar keluarga Muller, yang kelihatan lebih
dewasa karena baju yang mereka pakai, juga hadir di sana. Tentu saja
kedua anak perempuan keluarga Harris tampak istimewa -- saya dapat
membayangkan betapa bahagianya mereka mempunyai seorang kakek
seperti Dr. Howard!
Film tentang Tanah Perjanjian diputar Dr. Howard -- itu suatu acara
yang istimewa. Saya selalu tertarik pada tempat-tempat yang jauh,
saya sangat terpesona melihat kehidupan Yesus di dunia.
Kemudian sampai pada saatnya "Pergi ke Yerusalem", awal dari
serangkaian permainan di ruang ramu. Setelah menyusun kursi, tuan
rumah duduk di dekat piano dan mengulangi aturan permainan, "Saya
akan memainkan lagu-lagu Natal yang disukai anak-anak Perancis. Bila
musik berhenti, kalian harus cepat-cepat duduk. Anak yang mendapat
kursi terakhir ialah pemenangnya."
Saya menyukai setiap menit dalam pesta Dr. Howard, tetapi yang
paling saya sukai adalah ruang makan yang disinari cahaya lilin dan
meja yang dipenuhi hidangan. Es krim yang berbentuk malaikat, pohon
Natal, hiasan Natal dan bintang-bintang, juga kue, permen, dan
kacang yang menyilaukan mata saya. Belum pernah saya melihat makanan
sebanyak dan seenak itu.
Semua itu kembali dalam ingatan saya waktu saya duduk di mobil. Lalu
tiba-tiba saya tersentak dari lamunan saya waktu pintu depan terbuka
dan seorang wanita keluar. Wanita itu sangat menyedihkan, pikir
saya. Lalu, waktu saya memandangi penyewa rumah yang dahulu
ditempati Dr. Howard, sekilas saya seperti dikejutkan karena
terciprat air dingin. Bukankah semua anak yang diundang ke pesta-
pesta waktu itu karena mereka juga sedih? Tetapi tentunya tidak
termasuk adik laki-laki saya dan saya sendiri?
Tetapi waktu saya duduk di situ memikirkan masa lalu, saya dipaksa
untuk mengakui bahwa perceraian bukanlah hal yang biasa pada waktu
itu. Saya masih ingat Dr. Howard berbicara dengan orang tua saya
yang bercerai dan ia juga menghibur kepedihan saya waktu ayah telah
meninggalkan kami. Semakin lama saya memikirkannya, semakin jelas
bahwa hanya cucu-cucu Dr. Howard yang dapat dikatakan datang dari
latar belakang yang "normal". Waktu saya mengendarai mobil pulang ke
rumah, semua bertambah jelas. Dr. Howard tidak hanya mengadakan
pesta untuk anak-anak yang sedih, tetapi ia juga mengerti bermacam-
macam penyebabnya.
Sebelum mobil saya sampai di halaman rumah, saya tahu pasti apa yang
ingin saya lakukan. Saya langsung ke meja saya, mengambil undangan-
undangan pesta yang sudah diberi alamat dan membuangnya ke keranjang
sampah.
Waktu makan malam, saya menceritakan kepada suami saya, Bob, dan
anak-anak tentang pengalaman saya hari itu dan keputusan yang
mengejutkan. Mulanya Ann dan Mark kecewa karena teman-teman tidak
diundang seperti biasanya, tetapi setelah saya jelaskan bahwa anak-
anak yang lain lebih memerlukan undangan itu, mereka mulai tergugah.
"Mengapa tidak mengundang Pak Hughes yang sudah tua?" usul Mark. "Ia
cepat sekali marah sampai tidak pernah berbicara kepada siapa pun.
Mungkin sebuah pesta dapat membangkitkan semangat dalam dirinya."
"Ia pasti memerlukannya," sambung Ann. "Kata anak-anak, ia orang
yang 'paling jahat di kota' ini."
"Tidak baik berkata begitu, Ann, "kata saya, "tetapi pesta ini untuk
anak-anak."
"Saya rasa tidak ada bedanya, Dorothy," kata suami saya. "Semua
orang senang pesta Natal."
"Baiklah," kata saya, "kalau kita mengundang orang dewasa, berarti
Mary Wynn juga diundang." Wanita itu janda setengah umur yang
tinggal di jalan yang sama dengan kami, kata-katanya yang tajam
menjauhkannya dari tetangga-tetangganya.
Bob mengusulkan untuk mengundang dua remaja yang baru-baru ini
dibimbingnya di SMU tempat ia mengajar. Patty tinggal di panti
asuhan dan kelihatannya ia anak yang paling tidak bahagia. Dan, anak
yang tidak disiplin, ibunya sudah bercerai dan tidak mau
mengurusnya.
Ketiga anak Vietnam yang baru pindah di lingkungan kami merupakan
tamu yang dipilih terakhir dengan suara bulat.
Pada malam pesta itu, dengan gelisah saya menunggu tamu-tamu yang
berlatar belakang berbeda dan tidak biasa, tetapi rupanya saya tidak
perlu khawatir. Anak-anak Vietnam itu menyapa setiap orang dengan
malu-malu dan sopan. Janda yang suka mengomel itu mencairkan sikap
keras pria yang "paling jahat di kota" dan bersikap baik sekali pada
Patty yang gelisah dan salah tingkah.
Saya gembira karena ternyata semua tamu, anak-anak maupun orang
dewasa, ikut bermain dan mereka tampak gembira menikmati film kartun
anak-anak dan cerita tentang perjalanan di Palestina. Setelah itu,
kami berkumpul mengelilingi meja makan, wajah tamu-tamu kami tampak
berseri-seri. Setelah lagu-lagu Natal selesai diputar, Mark dan Ann
memberikan hadiah-hadiah itu, meskipun sederhana, membuat mata saya
terasa panas karena terharu.
Setelah pesta selesai, tamu-tamu yang lebih tua berjalan pulang
bersama-sama, mengucapkan selamat hari Natal kepada kami semua. Dan
serta Patty mengajak anak-anak Vietnam itu ke mobil kami, dan saya
berdiri di depan dengan suami saya yang sedang memakai sepatu
bootnya.
"Oh, Bob," kata saya, "Suasana Natal sungguh terasa. Saya dapat
melihatnya pada mata mereka dan setiap orang."
"Memberi kasih pada orang-orang yang tidak dikasihi," bisiknya.
"Mungkin itu jauh lebih berharga daripada mencoba menangkap kembali
kebahagiaan diri sendiri."
"Kamu benar, Bob," jawab saya sambil memperhatikan bayangan mereka
yang saling melambaikan tangan satu sama lain di tengah salju yang
jatuh perlahan-lahan. "Saya memerlukan waktu yang lama untuk
memahaminya. Tetapi Dr. Howard sudah lama mengetahuinya."
- Dorothy R. Masterson -