Adil adalah sikap tidak memihak dalam hubungannya dengan orang dan keadaan. Seseorang yang adil mampu melihat sesuatu secara objektif, tanpa menghiraukan perasaan atau prasangka pribadi; ia tidak berprasangka. Dia apa adanya, karena dia menerapkan suatu standar terhadap situasi-situasi yang berada di atas pilihan-pilihan pribadinya.
Kitab Injil menerangkan bahwa Allah tidak pilih kasih terhadap umat- Nya. Ia tidak menghakimi berdasarkan apa yang tampak dari luar saja. Tingkat seseorang, popularitas, atau keadaan tidak mempengaruhi penghakiman Allah namun sifat dari hati-Nyalah yang mempengaruhi penghakiman-Nya. Allah adalah hakim dunia. Penghakiman-Nya apa adanya dan tidak memihak. Masing-masing kita dipanggil untuk menjadi hakim dalam dunia yang kita kuasai. Kita serupa dengan Kristus apa adanya dan tidak memihak dalam penghakiman kita.
SEBUAH CONTOH POSITIF DARI ALKITAB
Hukum Musa merupakan suatu wahyu dari sifat Allah. Ia memerintahkan
anak-anak-Nya untuk menjadi serupa dengan Allah (seperti Allah)
"Kuduslah kamu, sebab Aku ini kudus". Hukum tersebut memberi kita
poin referensi yang absolut tentang hidup serupa dengan Allah.
Keadilan Allah diekspresikan melalui cara kita memperlakukan orang
lain. Tuhan menjelaskan melalui Musa bahwa Dia bersikap adil
terhadap semua orang dan kita pun diharapkan bersikap demikian,
"Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau
membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau
terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili
orang sesamamu dengan kebenaran." (
Tuhan secara khusus memperhatikan bahwa pemimpin-pemimpin umat-Nya
melaksanakan penghakiman yang tidak memihak. Ia bersabda melalui
Musa, "Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu
dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-
orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang
benar. Semata-mata keadilan, itulah yang harus kaukejar, ...."
(
Allah harus sering mematahkan pagar prasangka kita untuk mewujudkan
rencana-Nya. Apa yang kita anggap sebagai keyakinan kadang-kadang
hanyalah prasangka yang dirumuskan dengan baik. Petrus, sama seperti
orang-orang Yahudi yang baik lainnya, merasa bahwa orang-orang non-
Yahudi berada satu tingkat di bawah anjing. Ia tidak dapat
membayangkan Tuhan mengirimnya untuk mengabarkan Kabar Baik kepada
para penyembah berhala tersebut. Tuhan merancang suatu situasi yang
tidak biasa yang menyebabkan Petrus berkesimpulan, "Sesungguhnya
aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang
dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan
kebenaran berkenan kepada-Nya." (
Amanat Agung kepada Jemaat di Yerusalem merupakan keinginan Tuhan agar para penyembah berhala menjadi sama seperti orang Yahudi. Mereka bukanlah penghuni kerajaan Allah tingkat dua. Mereka memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan sama seperti orang-orang Yahudi yang merupakan saudara-saudara mereka. Mudah bagi kita untuk memahami, tetapi Amanat Agung ini hampir saja meretakkan komunitas Perjanjian Baru! Prasangka tidak bisa dihilangkan dengan mudah, khususnya prasangka tentang agama!
Petrus mengetahui bahwa Tuhan lebih tertarik sifat yang baik
daripada kebudayaan suatu bangsa. Paulus mengatakan kepada jemaat di
Roma bahwa Tuhan menghakimi dengan objektif dan adil (
SEBUAH CONTOH NEGATIF DARI ALKITAB
Tidak ada ketidakadilan yang ditunjukkan sejelas penyaliban Yesus. Kerumunan orang-orang yang berteriak, "Salibkan Dia!" seharusnyalah yang mati, bukan Dia. Dia menderita dalam melalui lima ejekan dalam pengadilan yang memalukan. Kematian Anak Allah bukanlah apa-apa namun itu adil.
Para nabi mengabarkan Firman Allah kepada umat-Nya. Seringkali firman itu adalah panggilan untuk kembali kepada kebenaran dan keadilan. Amos marah kepada orang-orang Israel karena mereka tidak apa adanya dalam menghadapi orang miskin dan derita mereka akan kebenaran.
Mereka yang tidak bisa apa adanya seringkali sulit mengenali keadilan. Salah satu penjahat yang ada bersama Yesus ketika disalib, mengejek dan mencaci maki Yesus karena Yesus tidak menyelamatkan mereka. Namun penjahat yang lainnya menyadari bahwa Yesus mendapatkan perlakuan yang tidak adil meskipun mereka menerima hak dari perbuatan mereka.
Pada zaman Alkitab dahulu, sangatlah umum untuk menunjukkan sikap
memihak kepada orang-orang kaya. Yakobus marah kepada orang-orang
Kristen yang melakukan hal seperti ini karena mereka "telah membuat
pembedaan (di dalam hatimu) dan (bertindak sebagai) hakim dengan
pikiran yang jahat" (
MEMIKIRKAN KEADILAN DALAM KEHIDUPAN KITA SENDIRI
Ini tidaklah mudah. Kebanyakan dari kita jauh lebih berprasangka dari yang kita sadari. Kita berpikir bahwa pendapat-pendapat kita didasarkan pada logika yang dingin. Sebenarnya, emosi kita telah memainkan peran besar dalam berbagai opini itu. Yesus membuat suatu kebiasaan yang menantang, yaitu manusia membuat tradisi dan cara berpikir. Ketika Ia duduk beristirahat di sebuah sumur dan berbicara dengan seorang wanita Samaria, Dia menentang dua tradisi bahwa sedikit orang yang religius yang siap berubah: berbicara sendiri dengan wanita (khususnya dengan orang yang tidak bermoral) dan berbicara dengan orang Samaria.
Kita menggunakan prasangka kita untuk membenarkan perlakuan yang tidak baik terhadap orang lain. Kita tidak harus berhubungan secara pribadi dengan orang lain jika kita dapat meremehkan mereka dengan risalat yang disusun dengan benar yang mendukung dosa-dosa kita. Sejarah singkat tersebut seharusnya menunjukkan kepada kita bahwa kita tidak sedang dihadapkan dengan masalah ras, pernyataan kepercayaan, dan prasangka sosial yang terlalu dalam untuk ditelusuri tanpa melalui darah Yesus. Kita harus memeriksa prasangka kita dalam terang kasih Allah.
Masyarakat kita tidak mengajarkan keadilan. Polisi pun semakin tidak didukung karena pengadilan akan mendukung mereka untuk melatih keadilan. Banyak pemimpin pemerintahan yang rakus terhadap peningkatan.
Kristus memerintah kita untuk memikirkan orang lain sebelum orang lain memikirkan kita. Hanya mereka yang telah mati terhadap kepentingan sendiri saja yang dapat melakukannya. Kita harus menerima keadilan dari Allah pada diri kita sendiri. Untuk mengadili seperti yang Yesus lakukan -- bukan dengan apa yang terlihat di luar tetapi "dengan pengadilan yang benar" -- tentu saja merupakan kebebasan.
Tak seorang pun lebih bebas dari orang yang emosi, situasi dan pengetahuannya tidak bisa menjaganya untuk hidup seperti yang Tuhan kehendaki. Kita dipimpin oleh Roh Kudus, bukan oleh ide-ide pertimbangan kita atau respon emosional kita. Biarkan Tuhan bergumul dengan ide-ide kita yang tidak dilahirkan di surga itu. Dia dapat membebaskan kita untuk berhubungan dengan orang lain dalam kelemahlembutan yang merefleksikan keadilan dan keagungan-Nya.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK