Kita harus dapat membangun murid-murid kita sehingga di dalam hidup
mereka di dunia ini mereka mempunyai rasa percaya diri, yaitu
keyakinan bisa melakukan sesuatu. Kemampuan harus disesuaikan dengan
ambisi. Ketika kemampuan dan ambisi bisa diseimbangkan, anak didik
kita akan sehat jiwanya. Jangan menuntut anak melampaui apa yang ia
bisa kerjakan. Jika Saudara menuntut anak terlalu tinggi, akhirnya
Saudara membunuh mereka secara tidak kelihatan.
Di Singapore ada seorang anak laki yang sangat tampan berusia 17
tahun. Saya mengenal dia secara pribadi. Tetapi tiga hari setelah
lulus SMA, anak ini gantung diri. Mengapa? Karena ayahnya menuntut
dia harus lulus ranking pertama. Ketika lulus ia mendapatkan ranking
ketiga. Ia ketakutan sekali karena ayahnya terlalu keras dan
akhirnya dia bunuh diri. Buat apa menuntut seperti itu kalau pada
akhirnya harus kehilangan segalanya? Dengan pendidikan yang salah
kita bisa membunuh terlalu banyak pemuda-pemudi, membunuh anak-anak
yang Tuhan serahkan di dalam rumah kita atau sekolah kita. Mungkin
anak-anak yang paling kita benci justru adalah anak-anak yang kelak
paling dipakai oleh Tuhan. Saya harap Saudara tidak bermain-main
dengan hal ini.
Sebuah buku pendidikan menceritakan tentang seorang anak yang nakal.
Gurunya sudah mempersiapkan semua kesalahan anak ini dan pergi ke
rumah orangtuanya untuk mengadukan kesalahan anaknya. Ketika ia
pergi, ia mulai berubah perasaannya. Rumah anak ini ada di dalam
sebuah gang yang kecil. Ketika mengetuk rumah yang kecil itu muncul
seorang ibu tua, yang adalah ibu anak itu. Ketika ia duduk dan siap
mengutarakan kesalahan anak itu, ibu itu mengatakan: "Kalau tidak
ada anak itu, saya sudah mati. Anak itu begitu baik." Guru itu mulai
bingung. Ibu itu menceritakan bahwa anak itu bersaudara 8 orang dan
sudah tidak memiliki ayah. Sepulang sekolah, anak itu masih membantu
ibunya membanting tulang mencari uang sampai larut malam. Ia seorang
yang superaktif, tetapi hatinya baik sekali. Ia bukan hanya telah
membantu keuangan seluruh keluarga, bahkan ia membantu mencuci dan
menyetrika seluruh pakaian adik-adiknya. Akhirnya guru itu terharu,
ia pulang dan bertobat.
Terkadang kita melihat ada anak yang nakal dan kurang ajar kepada
kita. Tetapi kita harus berpikir, apabila anak itu kurang ajar
kepada kita, pasti ia memiliki alasannya sendiri, tetapi jangan
karena ia tidak baik pada kita, kita memastikan ia adalah anak yang
kurang ajar. Mungkin ada banyak kebaikannya yang tidak kita lihat.
Saya merasa, banyak guru ketika mendidik, tujuannya bukan mau
mendidik anak itu, tetapi cenderung untuk mau membereskan persoalan
dirinya sendiri. Mungkin ia tidak memiliki pekerjaan, maka mencari
pekerjaan sebagai guru. Pasti guru seperti itu tidak mengabdi dan
mendidik. Ia hanya mau memperalat pendidikan untuk kepentingannya
sendiri. Demikian juga banyak orang tua memukul anak, karena ia
merasa terganggu oleh tingkah laku anak itu. Jadi pendidikan baginya
adalah pelampiasan kemarahannya, bukan demi kebaikan yang dididik.
Seorang yang dirinya penuh dengan masalah tidak akan dapat mendidik!
Pendidikan seperti ini akan membunuh kepercayaan diri anak. Mari
kita berubah dan bertobat, agar anak lebih yakin akan kemampuannya
dan bisa bertumbuh.
Dan juga, saya minta kepada para guru dan para orangtua, ketika
murid-murid atau anak-anak kita sedang berprestasi atau melakukan
hal-hal yang baik, segera pujilah dia. Jangan lupa, puji-pujian yang
diberikan secara sepatutnya, merupakan hadiah yang paling besar bagi
pendidikan dan akan merupakan kekuatan membangun yang sangat besar.
Puji-pujian yang tidak sepatutnya akan menjadikan diri Saudara
sendiri pura-pura dan mengakibatkan anak-anak menghina wibawa
Saudara. Sebaliknya, ketika Saudara menegur, marah-marahlah dengan
sungguh-sungguh dengan jujur, jangan marah pura-pura. Kemarahan yang
sungguh-sungguh dan jujur, teguran yang betul-betul mau menjadikan
mereka lebih baik dengan dasar cinta kasih, juga akan menjadi kuasa
membangun yang menjadi cermin jelas yang dapat dilihat oleh anak.
Manusia memang harus dipuji dan ditegur. Tetapi banyak guru atau
orangtua yang terlalu royal menegur, tetapi pelit memuji. Ini
kesalahan besar. Begitu anak salah sedikit, langsung disemprot habis-
habisan, tetapi kalau baik didiamkan saja. Akibatnya, anak itu hanya
akan selalu merasa bersalah. Jadi, kalau anak berbuat yang baik,
hendaknya dipuji, karena pujian itu akan membentuk 'self-respect'
dan mereka menjadi lebih percaya diri. Pujian jangan salah, jangan
bohong, jangan berlebihan, jangan kurang, tetapi harus tepat pada
tingkat, waktu dan tepat pada orangnya. Demikian pula pada waktu
menegur harus tepat.
Ketika kecil, setiap kali ibu saya mau memukul saya, ia bertanya
kepada saya, berapa pukulan yang seimbang dengan kesalahan yang saya
perbuat. Sebagai orang berdosa, saya selalu mulai dari satu. Tetapi
ibu akan menegaskan bahwa kesalahan saya lebih besar dari itu.
Maka terjadi tawar-menawar. Ini bukan permainan. Kalau hukuman itu
seimbang dengan kesalah saya, maka itu akan menciptakan penghargaan
saya kepada ibu saya dan disiplin yang ia lakukan. Tetapi andaikan
ketika saya nakal sekali hanya dipukul satu kali, maka saya akan
menghina wibawa dia, karena dia tidak berani menghajar saya.
Mendidik orang tidak mudah.