Perceraian dialami berbagai macam manusia, tetapi rata-rata terjadi pada mereka yang tidak bahagia dalam perkawinannya. Sikap orang tua yang cepat memutuskan menempuh jalan perceraian seringkali menunjukkan adanya semacam ketidakstabilan emosional pada dirinya. Bila demikian halnya, anak-anaknya juga akan ikut dihinggapi ketidakstabilan yang sama.
Kesedihan orang tua yang bercerai sangat memengaruhi perkembangan anaknya. Seorang ibu yang karena kehancuran hatinya, bersikap acuh tak acuh terhadap suaminya yang datang menengok anak-anaknya, akan menyulitkan terciptanya hubungan ayah dan anak. Baik bagi si ayah maupun si anak, situasi tersebut akan terasa menegangkan dan sangat tidak memuaskan.
Terkadang seorang ibu melarang anaknya untuk bertemu dengan ayahnya. Hal ini sangat berbahaya karena orang tua yang tidak nampak akan menjadi tumpuan terciptanya beraneka ragam khayalan pada anak. Situasi yang demikian dapat menjadi bumerang di kemudian hari, tidak hanya bagi anak, tetapi juga bagi orang tua yang tinggal bersamanya.
Anak yang orang tuanya bercerai mempunyai problem emosional tersendiri. Ia merupakan korban dari dua orang tua yang mempunyai problem dan kesulitan yang mereka kira hanya dapat dipecahkan melalui perceraian. Akibatnya, jalan hidup anak telah terenggut oleh keputusan itu. Anak dari orang tua yang bercerai cenderung dibesarkan dalam kondisi sosial yang kurang sehat daripada anak-anak dalam rumah tangga normal.
Penyelidikan para ahli telah membuktikan bahwa banyak anak yang terganggu jiwanya, dan banyak anak-anak nakal adalah anak-anak dari keluarga yang berantakan. Tetapi jika orang tua mampu memberi pemahaman kepada anak-anaknya tentang konflik yang mereka hadapi, kadang-kadang anak-anak tersebut akan dapat mengatasinya, meskipun tidak serta merta membebaskan mereka dari konflik. Biasanya, anak- anak yang orang tuanya bercerai lebih banyak terlibat dalam kenakalan dan kejahatan, secara individu atau kelompok. Terkadang bisa ditunjukkan pula bahwa anak-anak dari hasil perceraian (bahkan dari perkawinan yang gagal) cenderung lebih mudah menemui kegagalan dalam kehidupan perkawinannya sendiri.
Ada alasan kuat mengapa orang tua sangat sukar untuk bisa rujuk kembali, dalam kasus ini adalah sang ibu. Dia sukar memenuhi keinginan sang anak karena setelah melalui kegagalan tersebut, masing-masing pihak menimpakan kesalahannya pada pihak-pihak lawan, dengan membesar-besarkan kesalahan pihak lawan dan meminimalkan kesalahan sendiri.
Sejak dia memutuskan untuk bercerai, seorang ibu tidak ingin melihat ayah dari anaknya secara keseluruhan. Mereka tak mungkin bersatu kembali karena suaminya tak bertanggung jawab atau tidak setia. Dia ingin menjelaskan kepada teman-temannya bahwa sang ayah dari anaknya itu orang yang sulit dan dia juga ingin agar anaknya percaya akan hal tersebut, walaupun dia tahu bahwa tindakan yang dilakukannya itu tidak adil. Jadi, ketika sang anak menginginkan kembalinya sang ayah, pertentangan itu akan muncul kembali di hatinya.
Anak dari orang tua yang bercerai seringkali adalah anak yang tidak mempunyai keyakinan diri karena situasi rumah yang tidak stabil. Ditambah lagi bila anak tersebut sering berpindah-pindah tempat tinggal karena alasan keluarga, atau karena orang tuanya hidup terpisah.
Berbagai akibat perceraian yang sering dijumpai misalnya kesulitan pendidikan dan ekonomi, kurang atau tidak adanya pengawasan dari orang tua, pengabdian yang terbagi (anak-anak dijadikan tameng atau perisai dalam pertengkaran orang tua), kesulitan dalam menentukan sikap pengabdian terhadap lingkungan baru (problem orang tua tiri), penghancuran terhadap ide atau cita-citanya, kurangnya keyakinan emosional, dan sebagainya.
Sekarang mari kita pikirkan mengapa seorang anak ingin agar kedua orang tuanya yang bercerai itu bisa rujuk kembali. Anak-anak seperti ini, sebelum perceraian terjadi, telah biasa hidup dengan kedua orang tua mereka. Mereka berpikir bahwa mereka masih membutuhkan kedua orang tuanya yang masing-masing memberi kepuasan batin tersendiri bagi si anak. Pikiran tentang kedua orang tuanya yang tak mungkin bersatu kembali itu sangat menakutkan mereka, setidak- tidaknya sampai ketika mereka akan menjadi terbiasa oleh perceraian dan segala konsekuensinya. Barangkali anak-anak setuju akan pendapat ibunya bahwa ayahnya memang salah. Tetapi jika sang ibu terlalu membesar-besarkan, anak akan memperkecil kesalahan si ayah dengan harapan keduanya mau rujuk kembali.
Dr. Benyamin Spock dalam bukunya, "Raising Children In A Difficult Time", secara gamblang mengemukakan bahwa alasan lain mengapa seorang anak menonjolkan orang tua yang hidup terpisah darinya karena perceraian adalah karena mereka tahu bahwa mereka adalah keturunan kedua orang tuanya, yang menyandang bentuk fisik dan rohani yang sama dengan mereka berdua. Jika salah satunya bersifat buruk, mereka sendiri pun akan mengidap sifat buruk tersebut. Anggapan serupa ini seringkali dijumpai pada anak-anak yang mempunyai catatan kriminalitas.
Mungkin sekali anak-anak menjadi marah kepada kedua orang tuanya karena mereka telah bercerai. Kemarahan ini harus dikeluarkannya secara langsung, tidak secara sembunyi-sembunyi, tetapi dengan kata- kata langsung. Pada umumnya, kaum pria maupun wanita yang bercerai akan kawin lagi. Dan keuntungan atau kerugian yang didapat anak- anak dalam kehidupan perkawinan kedua dari orang tuanya akan tergantung dari bagaimana pernikahan yang kedua itu sendiri berjalan.
Seorang anak mungkin secara tiba-tiba meminta pada ibunya untuk mencari seorang ayah baru baginya. Sikap seperti ini pada dasarnya tidak berlawanan dengan cintanya terhadap sang ayah. Biasanya hal yang seperti ini timbul jika ayahnya tak dapat setiap hari berkumpul dengan mereka, entah karena tugas ataupun karena perceraian, karena mereka ingin memiliki seorang ayah seperti anak-anak lain, yakni ayah yang dapat berkumpul bersama mereka setiap hari.
Bagaimanapun juga, tidak ada anak yang dilahirkan dengan telah memiliki satu kebiasaan. Kebiasaan tersebut merupakan hasil dari satu proses yang diterapkan oleh orang tuanya dalam perkembangan kepribadian anaknya. Bahkan sebenarnya, tak ada proses khusus yang diterapkan. Anak menyerap semua yang ada di sekelilingnya. Bila lingkungan baik, ia akan berkembang menjadi individu yang baik. Namun bila keadaannya tidak menguntungkan, misalnya dalam situasi broken home di mana orang tuanya hidup berpisah, ia akan berkembang sebagai pribadi yang akan menghindarkan diri dari kehidupan normal, menjadi anti sosial, agresif serta cenderung melakukan hal-hal yang sifatnya destruktif.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK