Kasih yang Tepat


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Oleh: DR. Mary Go Setiawani

Saya kurang mampu menguraikan tentang kasih, tetapi kasih yang sejati dapat dirasakan. Seringkali seorang guru mengatakan kepada anaknya: "Saya melakukan semua hal ini karena saya mengasihi engkau." Tetapi anak itu tidak merasakan kasih tersebut, malah mungkin ia merasa bahwa ia bukan anak kandung dari orangtuanya, karena ia justru merasa dibenci oleh ibunya.

Sebenarnya, setiap orangtua yang normal pasti mengasihi anaknya. Tetapi mengapa komunikasi itu tidak sampai ke diri anaknya? Anaknya tidak merasakan kasih itu. Hal ini disebabkan karena adanya kasih yang kurang tepat, atau bukan kasih sejati.

KASIH YANG KURANG TEPAT

Kasih yang kurang tepat ada beberapa macam, seperti:

1. Kasih yang bersifat memiliki.

Keinginan untuk memiliki, menjadikan orangtua atau guru mendorong anak untuk bersandar kepada mereka secara berlebihan. Ketika anak masih muda, wajar jika ia bergantung kepada orangtuanya. Tingkat ketergantungan ini bisa mencapai 100%. Anak itu sangat bergantung dan memerlukan orangtuanya. Tetapi semakin meningkat usia anak itu, tingkat ketergantungan itu seharusnya semakin berkurang. Kalau tidak demikian, maka perkembangan emosi anak tersebut akan terganggu atau terpengaruh.

Banyak orangtua atau guru yang menginginkan anak-anak itu terus- menerus bergantung kepada mereka. Anak-anak asuhan mereka dianggap sebagai milik mereka. orangtua atau guru-guru demikian menganggap anak-anak atau murid-muridnya tidak lebih dari sekedar benda berharga saja, yang pada akhirnya akan menghalangi mereka menjadi anak-anak yang mandiri. Kasih seperti ini adalah kasih yang kurang tepat.

2. Kasih yang bersifat menggantikan.

Kasih yang tidak tepat ini adalah kasih yang menghendaki agar anak-anak atau murid-murid itu dapat menggenapi cita-cita yang diidamkan oleh orangtua atau gurunya, dimana pada masa lalu, orangtua atau guru itu gagal mencapai cita-cita tersebut. Misalnya seorang ayah olahragawan menginginkan anaknya menjadi olahragawan dan dapat sukses seperti yang diinginkan orangtua itu. Akibatnya, anak itu dilatih, digembleng, dipaksa sedemikian rupa agar dapat berhasil. Kasih seperti ini merupakan kasih yang salah.

Juga ada seorang ibu yang terjun ke dunia musik, menginginkan anak gadisnya juga terjun ke dunia musik dan mencapai kesuksesan seperti yang diidamkan oleh sang ibu, padahal anak tersebut tidak berbakat di bidang musik. Juga ada guru-guru yang melakukan hal seperti itu pada muridnya. Hubungan kasih seperti ini adalah hubungan kasih yang bersyarat, dimana anak itu dituntut melakukan sesuatu yang sesuai dengan cita-cita sang guru, jikalau tidak, maka kasihnya tidak diberikan.

Kasih seperti ini adalah kasih yang berbahaya, karena kasih seperti ini adalah kasih yang mempunyai batasan tingkah laku, membatasi bakat anak atau murid, dan merupakan kasih yang memuaskan orangtua atau gurunya. Kasih ini adalah kasih yang tidak adil dan tidak tepat.

3. Kasih yang bersifat memutarbalikkan peranan.

Di sini orangtua atau guru bertukar peran dengan anak atau muridnya demi kepuasan dirinya sendiri. Sebagai contoh, kita dapat melihat orangtua yang kesepian, maka ia akan berperan seperti anak yang menuntut untuk dimengerti oleh anak atau murid. Mungkin ia berkata bahwa ia kesepian sehingga menuntut agar anak memperhatikannya, tidak hanya bermain dengan teman-temannya saja. Ibu itu lalu meminta anaknya mendampingi dia.

Juga ada ayah yang selalu mengajak anaknya ke kantor, karena ia merasa aman jika anaknya menemani dia ke kantor. Kasih seperti ini merupakan kasih yang memutarbalikkan peranan. Orangtua yang berperan seperti anak yang memerlukan pertolongan, pendamping di dalam hidupnya, seringkali adalah orangtua yang memiliki emosi kurang stabil, yang kekurangan kasih dan menuntut kasih seperti ini dari anaknya. Kasih seperti ini adalah kasih yang kurang tepat.

4. Kasih yang bersifat pilih kasih.

Entah bagaimana, tetapi sangat sering terjadi kasus di antara kita, di bawah sadar, memilih kasih terhadap murid-murid kita. Mungkin termasuk Saudara dan saya. Kita bisa memilih kasih, karena kasih itu bersyarat. Umumnya, anak yang pandai, cerdas, cantik, menarik dsb. mendapatkan kasih yang lebih dari pada anak- anak yang lain. Sebenarnya anak-anak yang pandai, cantik, menarik sudah dipuaskan kasihnya oleh orangtuanya atau banyak orang lain, maka mereka bisa berkembang dengan normal. Justru mereka yang seringkali kurang menarik, mereka membutuhkan kasih itu. Mungkin mereka berasal dari keluarga yang tidak bisa merasakan kasih itu dari orangtua mereka. Tetapi seringkali kita memilih justru mereka yang sudah dipuaskan di dalam kebutuhan kasih mereka. Seolah-olah seperti apa yang sering dikatakan di dalam peribahasa Cina: sudah cantik masih bertambah cantik. Sebenarnya kasih seperti itu tidak dibutuhkan.

Seringkali mereka yang tidak menarik, yang sering dikategorikan sebagai slow-learner (anak yang kurang mampu menangkap pelajaran dengan cepat) tidak diperhatikan dan tidak mendapatkan kasih yang cukup dari orangtua atau guru-guru mereka. Seringkali mereka justru menampilkan diri dengan cara berbuat nakal dan menimbulkan kekacauan, sehingga menjadikan guru-guru mereka jengkel terhadap mereka. Anak-anak seperti itu sangat sulit untuk dikasihi, padahal justru mereka sangat membutuhkan kasih. Kalau bukan guru Sekolah Minggu atau guru-guru Kristen yang memiliki cinta kasih kepada mereka, siapakah yang bisa memberikannya? Biasanya mereka tidak mendapatkannya di dalam keluarga atau pergaulan mereka.

Kalau memberikan kasih kepada mereka yang sudah berlimpah kasih, itu merupakan pelimpahan kasih yang kurang tepat. Kasih seperti ini seringkali menimbulkan masalah. Contoh konkrit di dalam Alkitab terlihat dalam kasus Isak memilih lebih mengasihi Esau dibandingkan dengan Yakub, yang akhirnya menimbulkan masalah di dalam keluarganya. Juga kasus Yakub yang memilih untuk lebih mengasihi Yusuf, yang akhirnya menimbulkan masalah dalam keluarganya. Muncul kecemburuan, sampai-sampai hampir terjadi pembunuhan. Kasih seperti ini sering menyebabkan kesulitan di dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak. Hal ini adalah kasih yang kurang tepat.

KASIH YANG TEPAT: KASIH KRISTUS

Lalu bagaimanakah KASIH YANG TEPAT?

Kasih yang tepat adalah kasih yang agung. Sebenarnya kita tidak mengerti dan tidak mengetahui metode kasih Allah seperti itu. Tetapi ketika kita menerima kasih Kristus, maka seluruh cara pandang kita berubah. Kita akan melihat wajah-wajah yang ada di hadapan kita sebagai orang-orang yang dikasihi oleh Tuhan. Saya menjadi ingin sekali berkobar-kobar mengabarkan Injil kepada mereka. Allah telah mengasihi kita dan menyatakan kasih itu secara jelas kepada kita di dalam Yohanes 3:16. Saya sangat senang dengan ungkapan: "Sedemikian Allah mencintai dunia ini ....[sic]" Allah begitu mencintai dunia ini sehingga rela menyerahkan diri-Nya untuk berkorban di atas kayu salib demi menyelamatkan umat manusia. Tanpa karya Kristus di kayu salib, kita tidak mungkin mengerti apa itu kasih yang sejati. Kasih itu adalah kasih yang tanpa syarat.

Allah telah mengasihi kita, Kristus telah mati untuk kita, bahkan ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Bukan karena adanya syarat- syarat atau tingkah laku tertentu di dalam diri kita yang menjadikan Allah mengasihi kita. Kasih ini adalah kasih yang tanpa syarat. Kasih yang menjadikan kita rela memberi, memberi diri kita untuk mereka; kasih yang menjadikan kita rela berkorban nyawa seperti Yesus Kristus. Mungkin di zaman seperti ini, Tuhan tidak sampai menuntut Saudara untuk berkorban nyawa, tetapi istilah ini dapat juga dimengerti sebagai penyangkalan diri sendiri. Mungkin bisa mengorbankan waktu, mengorbankan uang, sampai mengorbankan perasaan bila perlu. Kasih juga menjadikan kita bisa melihat anak tidak secara lahiriah, tetapi melihat anak sebagai jiwa yang berharga. Maka kita menerobos hal lahiriah dari anak itu, lalu melihat jiwa yang bernilai kekal di dalam diri anak itu.

Pada saat saya bertobat, saya begitu mencintai jiwa anak-anak dan ingin memberitakan Injil kepada mereka. Saya menjadi anak muda pertama di gereja saya yang dipercayakan untuk turut serta mengajar Sekolah Minggu. Bagi saya mereka adalah jiwa-jiwa yang sangat berharga di mata Tuhan. Kasih seperti ini memang tidak sesempurna kasih Allah, tetapi biarlah kita memiliki sebagian dari kasih Allah ini untuk bisa kita bagikan kepada anak-anak dan murid-murid kita.

Kalau kita tidak pernah mengalami kasih Allah dan menghayatinya, maka tidak ada metode apapun yang bisa memberikan kasih yang tepat seperti demikian.

Kategori Bahan PEPAK: Anak - Murid

Sumber
Judul Buku: 
Seni Membentuk Karakter Kristen
Pengarang: 
Dr. Mary Go Setiawani & Pdt. Dr. Stephen Tong
Halaman: 
12 - 17
Penerbit: 
Lembaga Reformed Injili Indonesia

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar