Persiapan yang baik dan serius merupakan syarat untuk menghasilkan
suatu cerita yang baik. Ada tiga macam persiapan yang harus
dilakukan oleh seorang guru SM untuk mengasilkan sebuah cerita yang
baik.
Pertama, persiapan kerohanian. Kehidupan rohani seorang guru SM
merupakan "sarana transportasi" dari berita yang akan
disampaikannya. Bila sarana itu "tidak bersih" maka efektifitas
beritanya sedikit banyak akan terpengaruh. Persiapan kerohanian
bukanlah barang instan yang dapat terjadi seketika, tetapi merupakan
perjuangan sehari-hari yang tidak akan pernah selesai sampai hidup
ini usai. Namun demikian Allah menghargai setiap upaya hamba-Nya
untuk mencapai tingkat pertumbuhan rohani yang lebih tinggi dan
roh-Nya akan membantu perjuangan itu. Kerinduan seorang guru SM
untuk menjadi alat-Nya yang mulia membuat anugerah Allah lebih mudah
berbuah dalam dirinya (2Timotius 2:20-21).
Kedua, persiapan materi cerita. Jika dilakukan dengan sungguh-
sungguh mungkin persiapan ini akan menjadi saat yang paling
melelahkan bagi seorang guru SM, tetapi sekaligus menjadi saat yang
paling mengasyikkan. Melelahkan karena pada tahap ini ia perlu
menyelidiki Alkitab dengan lebih cermat, baik berita dari perikop
yang akan diceritakan maupun informasi rinci mengenai konteks saat
itu. Di sini pula ia perlu merumuskan apa tujuan dari cerita yang
akan diceritakan.
Ketiga, persiapan penyampaian cerita. Mungkin kebanyakan guru SM
tidak terlalu memikirkan tentang bagaimana ia akan menceritakan
cerita yang telah dipersiapkannya. Ia sudah puas dengan mengetahui
apa yang harus ia ceritakan. Bagian bagaimana menyampaikan,
memperagakan atau menyampaikan tidak terlalu dipikirkan, karena
dipikir akan timbul dengan sendirinya nanti sementara menguraikan
cerita tersebut. Padahal bagian ini sangat penting. Seorang guru SM
yang mengabaikan bagian penyampaian dalam persiapannya akan merasa
adanya kekurangan besar pada waktu ia bercerita. Dalam pembahasan
selanjutnya, pembicaraan akan difokuskan hanya kepada masalah
persiapan materi cerita, sementara persiapan kerohanian tidak akan
disinggung, karena merupakan topik sendiri yang cukup luas.
PERSIAPAN MATERI CERITA
Hal pertama yang mesti dilakukan dalam bagian ini adalah memilih
perikop Alkitab yang akan diceritakan. Karena cerita-cerita Alkitab
itu begitu banyak dan mungkin juga panjang untuk diceritakan dalam
satu waktu cerita, maka seorang guru SM perlu memilih dan memilah
dengan tepat bagian Alkitab mana yang akan diceritakannya, kemudian
mendoakan dan menggumuli berita yang terkandung didalamnya. Pada
tahap ini seorang guru SM memerlukan buku-buku penolong yang dapat
membantunya untuk mengerti dengan baik segala hal tentang perikop
atau cerita itu. Setelah itu usahakan untuk mencari berita dari
cerita atau perikop tersebut. dengan mengacu cerita yang ada dalam
Alkitab, kita dapat melihat bahwa cerita tersebut mengandung
signifikasi teologis, atau dengan kata lain mengandung berita
mengapa cerita itu ditulis atau dimuat dalam Alkitab. Oleh karena
itu, seorang guru SM harus dapat menyimpulkan dalam suatu kalimat
mengenai apa yang menjadi berita dari cerita yang sedang
dipersiapkannya.
Langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan cerita. Suatu cerita
seharusnya mempunyai tujuan, yaitu untuk apa atau dengan maksud apa
cerita itu disampaikan. Tidak peduli betapa baik atau Alkitabiahnya
suatu cerita, namun tanpa tujuan yang jelas suatu cerita bukanlah
cerita yang layak. Jika seorang guru SM tidak mengetahui tujuan dari
ceritanya, semuanya akan menjadi tidak jelas; tidak jelas bagi
dirinya sendiri dan pada akhirnya juga tidak jelas bagi anak-anak
yang mendengarnya.
Yang terakhir adalah membuat plot cerita. Plot cerita adalah alur
atau jalan cerita yang terdiri dari pendahuluan, isi, klimaks, dan
penutup. Dalam sebuah cerita, plot memegang peranan sangat penting,
sebab plot akan menjadi kerangka cerita. Sebuah cerita dikatakan
baik apabila semua unsur cerita terpadu menjadi suatu kebulatan yang
berpusat pada tujuan yang ada dalam cerita. Di dalam membuat plot
seorang guru SM perlu memperhatikan unsur-unsur suatu cerita dan
waktu yang digunakan.
Komposisi cerita yang baik adalah sebagai berikut:
UNSUR WAKTU KETEGANGAN
Pendahuluan 10% 20%
Isi Cerita 80% 80%
Klimaks 5% 100%
Penutup 5% 95%
PENDAHULUAN CERITA
Hampir sebagian besar perhatian anak dimenangkan pada saat
pendahuluan. Pendahuluan mempunyai tujuan untuk menarik perhatian
atau konsentrasi anak kepada cerita kita dan mempersiapkan mereka
untuk menerima berita yang terkandung di dalamnya. Suatu pendahuluan
yang baik mempunyai kriteria: singkat, menarik, dan relevan. Berapa
lama waktu yang dibutuhkan untuk suatu pendahuluan cerita memang
tidak ada ketetapan yang pasti, mungkin berkisar antara 5-15% dari
waktu bercerita. Tetapi yang pasti suatu pendahuluan cerita yang
panjang apalagi bertele-tele, akan kehilangan daya tariknya. Menit-
menit pertama bahkan kalimat pertama, suatu cerita penting sekali,
karena dari situlah seorang pencerita akan mendapat atau kehilangan
perhatian pendengarnya. Oleh karena itu ia harus membuat pembukaan
ceritanya semenarik mungkin. Ketika seorang pencerita mulai membuka
ceritanya, ia tidak harus melucu dan tidak harus nampak pintar.
Tetapi jangan sekali-sekali membosankan. Suatu pendahuluan yang baik
bukan hanya singkat dan menarik tetapi juga harus relevan dengan
tujuan cerita. Sebab itu pendahuluan tidak boleh umum atau melebar,
sebaliknya harus sangat khusus dan tajam, terfokus pada tujuan
cerita.
MACAM-MACAM PENDAHULUAN CERITA
Seorang pencerita yang baik tidak akan pernah kehabisan daya
kreatifitas dalam membuka cerita. Ia tidak akan membiarkan ceritanya
dibuka dengan pendahuluan yang selalu sama atau hampir sama. Ada
beberapa macam pendahuluan yang dapat dipakai di dalam sebuah
cerita.
Pertama; mengulang cerita yang lalu, pengulangan tersebut harus
dilakukan sama baiknya dengan minggu lalu, namun dengan waktunya
yang lebih singkat. Seakan-akan ia memutar kembali atau mereview
suatu film dari episode minggu lalu yang telah disaksikan anak-anak
dengan segala ketegangannya sehingga mereka merasakan kembali
perasaan-perasaan tersebut.
Kedua; menggunakan suatu ilustrasi atau cerita lain sebelum masuk ke
cerita yang utama. Memulai cerita dengan mengisahkan suatu ilustrasi
merupakan hal yang menarik bagi anak-anak, khususnya anak besar.
Pada umumnya mereka telah dapat menangkap kesejajaran atau analog
yang terdapat dalam suatu ilustrasi dengan cerita utama. Walaupun
demikian, yang perlu dipertimbangkan apakah ilustrasi itu mengandung
makna atau pokok tema yang sama dengan cerita yang akan diceritakan.
Demikian pula lamanya waktu untuk menceritakan ilustrasi itu perlu
menjadi bahan pertimbangan. Cerita-cerita atau ilustrasi-ilustrasi
yang digunakan mungkin saja bersumber dari pengalaman pribadi
sendiri, pengalaman orang lain, atau kisah tentang suatu kejadian
yang "hangat" di masyarakat. Bisa juga dengan memperlihatkan atau
melukiskan suatu benda. Ini akan sangat menarik bagi anak-anak.
Ketiga; melukiskan suatu suasana. Pelukisan suatu suasana dapat
menjadi pendahuluan cerita yang cukup menarik, apalagi jika si
pencerita pandai memilih dan menggunakan kata-kata yang tepat.
Seorang pencerita dapat memulai cerita dengan melukiskan suatu
suasana di dalam cerita itu. Umpamanya, tentang keadaan alam yang
tenang di danau Galilea atau suasana meriah pesta kawin di Kana atau
perasaan cemas Elia yang takut kepada Izebel.
Keempat; membangkitkan rasa ingin tahu anak. Jika sebuah pendahuluan
telah dapat membangkitkan rasa ingin tahu anak,itu berarti perhatian
mereka telah dimenangkan. Selanjutnya akan lebih mudah untuk
mengajak mereka masuk ke dalam inti cerita. Rasa ingin tahu anak
dapat kita bangkitkan dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang
memancing pendapat mereka atau dengan kalimat-kalimat cerita yang
mengundang tanda tanya dan rasa ingin tahu atau juga dengan membawa
benda peraga yang menarik.
Masih banyak macam pendahuluan yang dapat dipikirkan oleh seorang
pencerita yang baik, namun keempat macam pendahuluan di atas biarlah
dapat menjadi jendela mengalirnya udara kreatifitas dari seorang
guru SM
ISI CERITA
80% waktu cerita berada di bagian ini. Karena itu pencerita perlu
memikirkan dengan matang urutan cerita, karakter dan tokoh-tokoh
yang terlibat dan pesan atau tujuan yang akan dicapai. Urutan cerita
harus dijalin dalam kesatuan yang berkesinambungan dan logis, dari
ringan ke berat, dari negatif ke positif, dari persoalan ke
penyelesaian menuju ke arah klimaks cerita. Urutan yang tidak
tertata dengan baik membuat cerita menjadi sukar untuk dimengerti
dan anti klimaks. Karakter tokoh-tokoh yang terlibat harus jelas.
Kita perlu mempunyai bayangan akan karakter setiap pelaku dan
suaranya. Usahakan untuk tetap konsisten. Kemudian pesan cerita yang
menjadi tujuan cerita dituangkan kepada anak dalam bentuk aplikasi.
Karena aplikasi adalah bagian yang terpenting, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan. Hal yang pertama adalah jangan menaruh
aplikasi setelah klimaks cerita, karena setelah klimaks minat anak
terhadap cerita akan menurun drastis. Aplikasi paling efektif
ditempatkan dalam jalinan cerita selama cerita itu berlangsung di
mana perhatian anak-anak masih dalam keadaan baik. Lagi pula dengan
berbuat begini kesan menggurui anak dapat dikurangi. Hal lain yang
harus diperhatikan adalah menyampaikan pesan itu berulang kali
selama cerita berlangsung agar anak-anak dapat lebih menangkap
maksudnya. Tentu saja perlu digunakan formula kalimat yang berlainan
namun dengan maksud yang sama.
KLIMAKS CERITA
Sebuah cerita yang baik selalu mempunyai klimaks. Kata "klimaks"
berasal dari kata Yunani yang artinya "tangga". Kamus besar Bahasa
Indonesia mendefinisikan klimaks sebagai "puncak dari suatu hal,
kejadian, keadaan dan sebagainya yang berkembang secara berangsur-
angsur." Klimaks dapat pula berarti "kejadian atau adegan yang
paling menarik (menegangkan) atau penting." Seorang pencerita yang
baik selalu memikirkan atau menata cerita ke arah klimaks sehingga
pendengar merasakan keagungan, kemenangan, keindahan cerita
tersebut.
Membuat suatu klimaks dalam sebuah cerita memang bukan hal yang
mudah, terutama bagi pencerita yang baru, namun bukan berarti tidak
mungkin. Yang perlu diperhatikan sejak awal adalah mengetahui faktor-
faktor apa yang dapat membentuk suatu klimaks itu dan kemudian
berupaya untuk menata dan melatihnya terus-menerus. Ketekunan pasti
membuahkan keberhasilan. Dalam menata klimaks yang perlu disadari
dari awal adalah bahwa klimaks lahir dari sebuah plot cerita yang
baik. Sebuah plot cerita yang baik selain memiliki keutuhan,
kebulatan dan komposisi unsur-unsur cerita juga merancang kapan dan
di mana terjadinya klimaks, sehingga secara struktur cerita tersebut
mempunyai bobot ketegangan yang semakin lama semakin meninggi dan
menuju klimaks. Jika plot suatu cerita lemah atau salah dalam
alurnya, maka klimaks akan sukar dicapai.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam membuat klimaks cerita adalah
menata kontras-kontras yang ada di dalam cerita. Jika pencerita
pandai menggunakan dan melukiskan kontradiksi-kontradiksi yang ada,
ketegangan cerita akan terus meningkat dan klimaks akan dapat
dicapai. Hal-hal yang bersifat kontras umpamanya gelap terang,
jahat-baik, besar-kecil, ketakutan-ketenangan, badai gelombang-
tenang, kebencian-kasih, miskin-kaya dan sebagainya. Selain itu
-- dan ini mungkin jarang disadari oleh banyak pencerita -- klimaks
dapat tercapai dengan adanya peninggian atau pengagungan Tuhan di
dalamnya. Suatu cerita yang mengagungkan Tuhan dan memperlihatkan
bahwa pada akhirnya Dialah Pemenang, Pengasih, Pengampun, dan
sebagainya akan menghasilkan klimaks yang mengesankan.
Yang terakhir yang tidak kalah penting dalam menata klimaks adalah
teknik penyampaian yang mendukung. Klimaks tidak akan pernah
tercapai tanpa panduan kata, mata, wajah, perasaan dan gerak tubuh
yang menopang dengan baik. Jika plot cerita sudah menuju klimaks dan
ketegangan yang disebabkan adanya kontradiksi terpelihara dengan
baik, maka penyampaian cerita juga harus bergerak setara dengan
kedua hal di atas, sehingga kekuatan cerita dapat menuju klimaks.
PENUTUP CERITA
Banyak pencerita mempersiapkan pendahuluan dengan baik, tetapi
mungkin sedikit yang mempersiapkan bagian penutup dengan matang.
Sebenarnya penutup cerita sama pentingnya (jika tidak mau dikatakan
jauh lebih penting) dari pada pendahuluan cerita. Karena sewaktu
aplikasi cerita berlangsung, anak-anak sudah mengetahui dan
merasakan apa yang diinginkan oleh kebenaran Allah dari diri mereka
dan pada bagian penutup cerita si pencerita menghimbau, membujuk,
mendorong mereka untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan
kehendak Allah. Penutup cerita yang lemah seringkali melumpuhkan
kekuatan cerita yang baik sehingga tujuan cerita tidak tercapai.
Mengingat pentingnya hal ini seorang pencerita sepatutnya memberikan
perhatian yang serius pada bagian penutup.
Untuk membuat penutup cerita yang baik ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pada dasarnya penutup cerita harus mencakup inti sari
tujuan cerita, sehingga berita cerita tersebut benar-benar
dimengerti dan diingat oleh anak-anak. Kemudian penutup harus jelas.
Penutup tidak perlu panjang, kurang lebih hanya 5 % dari waktu
keseluruhan. Semakin panjang suatu penutup semakin menurun
konsentrasi anak, karena hal yang paling menarik telah diperoleh
pada bagian klimaks dan fisik anak juga tidak menunjang lagi karena
mereka memiliki batas konsentrasi. Faktor lain yang perlu
diperhatikan adalah bahwa penutup tidak boleh mengandung gagasan
atau pokok pikiran yang baru yang akan melemahkan tujuan cerita kita
dan akan membingungkan anak yang akan mendengar. Plot cerita dari
pendahuluan sampai penutup harus merupakan keterpaduan. Terakhir
penutup harus mengandung tantangan kepada anak-anak yang mendengar
untuk memberi respons pada kehendak Allah. Anak-anak harus merasa
bahwa cerita itu adalah untuk dirinya pribadi dan ia merasakan
adanya suatu desakan untuk mengambil sikap atau keputusan kepada
Allah yang telah berbicara kepadanya.