Meski industri game berkembang sangat pesat belakangan ini (bayangkan, 34 miliar dolar per tahun di Amerika saja), tapi sampai sekarang media hiburan yang satu ini masih saja menimbulkan pro dan kontra soal baik-buruknya. Mulai dari kalangan politikus, orang tua, guru, bahkan gamer sendiri tak pernah berhenti mempermasalahkan dampak dari game.
Bak petarung di game yang berhadapan satu lawan satu, "baik" dan "buruk" akan terus saling mendominasi. Kalau Anda punya sedikit waktu, bolehlah ikut menyaksikan pertarungan dua kubu ini. Menang atau kalahnya tentu berpulang pada diri sendiri. Siap?!
VIDEO GAME ITU BURUK
Membuat orang jadi bodoh!
Tak disangka kalau pernyataan ini justru datang dari tanah airnya
video game, Jepang! Profesor Ryuta Kawashima di Universitas Sendai`s
Tokohu menyimpulkan bahwa "sound" dan "vision" game-game Nintendo
dapat merusak sebagian otak, walaupun tidak menstimulasi bagian
lain. "Kami cemas dengan generasi anak-anak berikutnya yang main
video game," ujar Kawashima.
"Kegiatan ini berdampak munculnya kekerasan di masyarakat. Anak-anak itu akan berlaku yang lebih buruk lagi kalau mereka cuma main game dan mogok belajar matematika atau tidak suka membaca."
Membuat orang terisolir!
Dulu pernah terjadi kematian tragis gara-gara game. Shawn Woolley,
fans berat EverQuest tewas setelah bermain game online. Kini ibu
Woolley mengelola OnLine Gamers Anonymous, grup berbasis Web untuk
orang-orang telah terisolasi dan terbuang akibat game. Jumlah
anggotanya sekarang mencapai 650 orang (data terakhir tahun 2003).
Membuat orang ketagihan.
Orang tua, pasangan suami istri, dan sejumlah ilmuwan mengamati
fenomena yang disebut "ketagihan video game". Fenomena ini sering
terjadi di kalangan penggemar game berjenis Massive Multiplayer
Online RPG (MMORPG) seperti Ragnarok Online, Pangya, atau serial
klasik EverQuest. Mereka jadi malas bekerja, bersosialisasi dengan
teman, bahkan kehilangan nafsu makan.
Pokoknya, yang terpikir di benak mereka hanyalah game, game, dan game! Baru-baru ini terjadi tiga kasus di Asia, di antaranya seorang pemuda yang pingsan di WARNET setelah berjam-jam bermain game online. Psikolog tak tinggal diam melihat fenomena ini, mereka pun beraksi.
Maressa Orzack, dosen fakultas psikologi di Harvard University, mengelola klinik pertama di Amerika yang melayani jasa konsultasi bagi pencandu game. Tempatnya di Rumah Sakit McLean.
Mengganggu Kesehatan!
Belakangan ini kritik bermunculan seputar pengendali (controller)
yang bisa menimbulkan rasa sakit di jari dan tangan. Pada tahun
2002, Jurnal Kesehatan Inggris memublikasikan artikel tentang
seorang anak berusia lima belas tahun yang mengalami radang jari
tangan setelah main Playstation selama tujuh jam non-stop.
Dokter-dokter menganalisa kalau anak itu menderita "sindrom vibrasi
lengan" karena terlalu lama memegang pengendali.
Menimbulkan kekerasan!
Kalau boleh dibilang, ini adalah salah satu alasan terbesar mengapa
video game dianggap buruk. Kontroversi ini muncul tahun 1993 ketika
senator Joseph Lieberman berkampanye menentang serial Mortal Kombat,
sebuah game pertarungan yang penuh adegan kekerasan dan banjir
darah. Ia juga menarik penayangan serial tv anak, Captain Kangaroo.
Menurut Lieberman, orang tua harus berjaga-jaga dengan "wabah penyakit" yang bisa menyerang anak-anak di rumah. Soalnya wabah yang satu ini dapat menimbulkan kekerasan. Sejak saat itu, para ahli bedah dan asosiasi psikologi Amerika "tergoda" untuk menghubungkan kekerasan video game dengan kenyataan yang terjadi. Sayang, hasil penelitian itu belum juga ditemukan.
VIDEO GAME ITU BAIK
Membuat orang pintar!
Penelitian di Manchester University dan Central Lanchashire
University membuktikan bahwa penggemar game yang bermain game 18 jam
per minggu memiliki koordinasi yang baik antara tangan dan mata
setara dengan kemampuan atlet. Dr. Jo Bryce, kepala penelitian
menemukan bahwa hardcore gamer punya daya konsentrasitinggi yang
memungkinkan mereka mampu menuntaskan beberapa tugas.
Penelitian lain di Rochester University mengungkapkan bahwa anak-anak yang memainkan game action secara teratur memiliki ketajaman mata yang lebih cepat daripada mereka yang tidak terbiasa dengan joypad.
NASA telah mengembangkan sistem biofeedback yang menggunakan game-game PS, seperti Spyro the Dragon dan Tony Hawk`s Pro Skater untuk meningkatkan daya konsentrasi pilot pesawat tempur. Lalu sebuah perusahaan bernama Attention Builders memasarkan home version-nya sistem yang dikeluarkan NASA itu untuk meningkatkan kinerja otak.
Rajin membaca!
Video game dibuat bukan untuk menggantikan buku. Jadi, keluhan soal
bermain game yang dapat menurunkan budaya membaca tidaklah
beralasan. Justru kebalikannya. Psikolog di Finland University
menyatakan bahwa video game bisa membantu anak-anak dislexia untuk
meningkatkan kemampuan baca mereka.
Begitu pula gamer yang hobi memainkan game berjenis role-playing game (RPG) di konsol modern. Dialog-dialog dalam RPG-RPG kenamaan seperti Final Fantasy dan Phantasy Star dapat memacu otak untuk mencerna cerita.
Membantu bersosialisasi!
Beberapa profesor di Loyola University, Chicago telah mengadakan
penelitian dalam komunitas Counter Strike, game First Person Shooter
PC yang telah dibuat versi Xbox-nya. Menurut mereka, game online
dapat menumbuhkan interaksi sosial yang menentang stereotip gamer
yang terisolasi. Sama juga dengan komunitas game RPG EverQuest dan
Phantasy Star Online. Game-game ini menyediakan sarana interaksi
sosial di kalangan anak remaja.
Mengusir stres!
Politikus dan orang tua meributkan kekerasan akibat video game.
Sebetulnya, mereka tak mau mengakui kalau game itu salah satu cara
yang tidak berbahaya untuk mengusir stres. Pertempurannya virtual,
senjatanya palsu, dan darahnya juga bohongan. Bahkan "first-person
shooter" yang paling keras pun serba digital. Para peneliti di
Indiana University menjelaskan bahwa bermain game dapat mengendurkan
ketegangan syaraf.
Memulihkan kondisi tubuh!
Game terbukti dapat digunakan untuk pasien yang sedang mendapat
terapi fisik. "Biarkan mereka main," kata Dr. Mark Griffiths,
psikolog di Nottingham Trent University. Ia melakukan penelitian
sejauh mana manfaat game dalam terapi fisik.
"Latihan fisik yang berulang-ulang dan membosankan agak sulit menyembuhkan seseorang akibat luka parah." Pengenalan video game dalam terapi fisik ternyata sangat menguntungkan. Beberapa game digunakannya untuk membentuk otot sampai melatih anak-anak yang menderita diabetes sebagai pelengkap pengobatan medis.
*) Penulis, Eko Ramaditya Adikara (Rama), adalah seorang tuna-netra yang gemar menulis menggunakan komputer. Penulis tergabung dalam Yayasan Mitra Netra (MitraNetra.or.id). Blog pribadinya dapat dibaca di alamat www.ramaditya.com.
Oleh: Eko Ramaditya Adikara
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK