Saya mem-posting dalam Facebook saya daftar yang bagus tentang doktrin yang merusak anak-anak, yang ditulis oleh Jim Palmer beberapa bulan yang lalu. Postingan itu mendapat lebih dari 40 tanda suka (like), tetapi beberapa orang bingung tentang posisi saya sendiri pada hal-hal yang disajikan.
Jumlah orang tua dan orang-orang muda yang bukan orang tua yang menganggap daftar itu sebagai kebenaran dan nilai yang pantas untuk anak-anak mengejutkan saya. Karena sangat menyayangi anak-anak, membuat saya menjadi orang jahat bagi orang-orang ini.
Matius 7:16 mengatakan “buah Anggur tidak dipetik dari semak duri, atau buah ara dari rumput duri”.
Yesus mengatakan hal itu. Hei teman-teman, Dia mungkin sedang menyatakan sesuatu. Saya bisa saja melenceng terlalu jauh dengan metafora tersebut, tetapi katakanlah rumput duri dikategorikan sebagai hal yang buruk, dan buah seperti anggur dan ara dikategorikan hal yang baik.
Jika Anda mengajari anak-anak hal-hal yang penuh kebencian, mereka tidak akan berubah menjadi orang yang penuh kasih. Bahkan, mereka mungkin hanya akan melestarikan siklus kekerasan emosional dan spiritual dari orang tua ke anak. Sangat jelas, jika pohon yang buruk menghasilkan buah yang buruk.
Sekilas, daftar ini terlihat seperti argumen-argumen lemah yang hiperbolik. Saya telah bertemu dengan sangat banyak orang yang bertumbuh dewasa dengan pemikiran dalam istilah-istilah ini setelah menghabiskan waktu di dalam gereja dan keluarga-keluarga Kristen, jadi saya menentang istilah-istilah yang persis sama ini diajarkan dan bahwa itu seharusnya tidak diajarkan lagi.
Inilah daftarnya, dan mengapa saya pikir kelima doktrin ini merusak anak-anak:
1. Memberitahukan anak-anak bahwa mereka dilahirkan ke dunia ini dengan keburukan dari dalam dirinya, tidak berharga, dan menjijikkan di hadapan Tuhan.
Saya dituduh meragukan dosa asal untuk tiga doktrin pertama yang ada dalam daftar ini. Masalahnya, bukan orang tua yang memberi tahu anak-anak mereka bahwa mereka telah berdosa dan membutuhkan Yesus. Saya telah bertemu banyak orang yang harus mengatasi masalah diri yang serius dan bunuh diri karena mereka diajar di sekolah rumah (home school), sekolah-sekolah Kristen, dan gereja mereka, “Kamu tidak berharga. Allah memandangmu dengan jijik”.
Itu aneh, karena saya selalu berpikir saya pastilah memiliki suatu nilai di hadapan Allah karena Allah berpikir saya layak diselamatkan. Ada perumpamaan yang tidak terhitung jumlahnya saat Yesus berbicara tentang kerajaan surga sebagai sesuatu yang dianggap tidak berharga oleh semua orang -- anak yang hilang, domba yang hilang -– justru yang dicari, dikasihi, dan disambut.
Seorang teman mengajak saya untuk menyaksikan pemutaran film tertutup dari dokumenter Blood Brother, dan di dalamnya dikisahkan anak-anak penderita AIDS di sebuah asrama di India yang diperintahkan untuk membenci diri mereka sendiri. Saya menuliskan kalimat “Darah Anda adalah racun”. Para pekerja di asrama membantu untuk menjaga anak-anak tetap sehat, tetapi juga berusaha semampu mereka untuk memulihkan mereka dari rasa benci terhadap diri sendiri yang telah dikembangkan anak-anak ini. Tujuannya adalah untuk memberi tahu anak-anak bahwa dengan sakit yang mereka derita, tidak berarti bahwa mereka tidak berharga atau pada dasarnya buruk. Mereka layak mendapatkan semua obat serta cinta dan perawatan yang dibutuhkan untuk membuat mereka tahu betapa pentingnya mereka.
2. Memberi tahu anak-anak bahwa keberdosaan mereka begitu buruk sehingga tidak ada pilihan kecuali untuk menganiaya, menyiksa, dan membunuh Putra-Nya.
Penyaliban adalah cara yang sangat brutal untuk mati, untuk dikatakan secara halus. Mel Gibson, produser The Passion of the Christ, harus mengurangi kekerasan di dalam filmnya untuk mendapatkan rating R (tidak boleh ditonton di bawah usia 17 tahun tanpa bimbingan orang tua atau mentor dewasa - Red.). Saya ingat mempelajari lebih banyak rincian tentang pencambukan dan proses mati lemas ketika saya bertambah dewasa, tetapi saya tidak akan pernah mengharapkan orang tua untuk mengajarkan rincian itu kepada seorang anak kecil. Perjanjian Baru sendiri tidak terlalu jelas menggambarkan tentang hal itu -- saya menghafal di AWANA “Kristus mati bagi dosa-dosa kita menurut Kitab Suci ... dan bahwa Dia dikuburkan, dan bahwa Dia bangkit kembali pada hari ketiga sesuai dengan dengan Kitab Suci”.
Gagasan bahwa Tuhan tidak memiliki pilihan dalam persoalan ini adalah ekstrem, bahkan dalam sub-kepercayaan yang paling nihilistik dalam agama Kristen. Pembelajaran teologi saya sendiri telah meyakinkan saya bahwa kematian Kristus adalah pilihan-Nya sendiri. Sudah direncanakan, dijalani meski dengan menghadapi ketakutan dan pencobaan sebagai manusia. Akan tetapi, saya ingat beberapa khotbah yang menyinggung gagasan bahwa kematian Kristus adalah karena kesalahan kita -- kesalahan saya.
Ada satu momen yang paling saya ingat pada masa kecil saat di sekolah minggu. Saya mungkin berusia lima tahun saat itu, bertanya kepada guru tentang Allah yang tidak melihat saya. Dia menjelaskan bahwa Allah membenci dosa saya, jadi saya harus dihukum untuk itu, jadi setiap kali Allah melihat saya, Dia melihat penyaliban Yesus. Tidak heran banyak orang membawa salib; mereka perlu melindungi diri dari Tuhan yang melihat diri mereka sebenarnya.
Karena itu, mengapa Daud, yang dikatakan telah menjadi “manusia yang berkenan di hati Allah”, melakukan begitu banyak penyelidikan jiwa? Jika dia menulis, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” bukankah aneh bagi Allah untuk menginginkan anak-anak berpikir bahwa Dia tidak pernah ingin menyelidiki hati dan mengetahuinya secara intim, agar pengudusan dapat terjadi? Anak-anak harus diajar bahwa Allah pertama-tama melihat dan mengasihi mereka, apa pun yang mereka lakukan (Roma 5:8), dan bukanlah salah mereka jika Yesus mati. Yesus mengasihi mereka, jadi Dia ingin mati untuk menggantikan mereka.
3. Memberi tahu anak-anak bahwa tidak ada yang baik dalam diri mereka, dan bahwa mereka tidak boleh memercayai pikiran dan perasaan mereka.
Gagasan ini juga terkait dengan dosa asal, tetapi yang menemukan akarnya dalam suatu ayat spesifik, Yeremia 17:9, yang berkata, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, siapakah yang dapat mengetahuinya?” Hal yang aneh adalah ayat yang berikutnya menjawab pertanyaan itu: Allah dapat mengetahui hati. Itu sebabnya, John Eldredge menjelaskan dalam bukunya, Waking the Dead,
“Menyatakan dengan hati yang tidak bijak dapat membawa banyak luka dan kehancuran, dan setelah itu kita akan dipermalukan kembali ke dalam Injil Manajemen Dosa, dengan menyimpulkan bahwa hati kita buruk. Itu tidaklah buruk, itu hanya muda dan tidak bijaksana.”
Dia memperkenalkan gagasan “kemuliaan asal, yang ada sebelum dosa dan berada jauh di dalam sifat kita”. Ya, hati kita menipu. Namun, Allah mengetahui hati, dan menyelidiki hati (Roma 5), dan mengetahui apa pikiran dari Roh, dan berdoa bagi kita. Jadi, memercayai naluri dan berpikir untuk diri mereka sendiri adalah sesuatu yang seharusnya dapat dilakukan oleh anak-anak karena Allah menciptakan pikiran, perasaan, dan naluri tersebut.
Siapa pun yang takut mempertanyakan, takut terbukti bersalah. Jika orang tua dan guru yakin bahwa (pemahaman) mereka lebih kuat, mereka seharusnya tidak takut terhadap pertanyaan anak-anak.
Saya telah bertemu dengan beberapa orang yang tumbuh dewasa dan berpikir bahwa Allah tidak lagi berbicara. Jika Dia berbicara, beberapa orang dewasa memberi tahu saya, bahwa Dia tidak akan berbicara kepada anak-anak atau wanita. Hanya pihak berwenang yang bertanggung jawab untuk menentukan apa yang dikatakan oleh Allah. Ini adalah masalah, baik bagi umat Katolik maupun Protestan. Selain itu, orang-orang yang membaca Alkitab dan menyimpulkan bahwa mungkin Allah masih berbicara, diberi tahu bahwa mereka “tidak boleh memercayai perasaan mereka”.
Memberi tahu anak-anak bahwa mereka tidak boleh berpikir menurut diri mereka sendiri membuat mereka patuh. Itu bukan “membebaskan para tawanan”, seperti yang Kristus lakukan. Lebih buruk bagi orang Kristen, itu berarti melakukan penghujatan membatasi Allah. Ada sebuah kisah dalam Perjanjian Lama tentang Samuel, yang mendengar suara Allah. Pembimbingnya tidak menyuruhnya untuk tidak memercayai apa yang dia pikir didengarnya. Dia menyuruhnya untuk mendengarkan. Begitulah cara seorang nabi besar diperkenalkan kepada Allah -- sebagai seorang anak.
4. Menggunakan rasa takut atau malu sebagai sarana untuk mengikat anak-anak pada keyakinan atau praktik tertentu yang terkait dengan Allah.
Menggunakan rasa takut dan malu adalah melawan narasi kristiani. Ketika saya masih kecil, saya menghafal Timotius 1:7, “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban.” Jadi, mengejutkan saya ketika sepanjang waktu bertemu dan mendengar tentang orang-orang Kristen -- ratusan lebih jumlahnya seiring dengan tahun-tahun berlalu -- yang menggunakan alat-alat yang secara khusus ditentang Allah. Apakah rasa takut lebih efektif dalam mendapatkan pengikut? Adukan kepada Allah tentang, yang disebut sebagai pemimpin spiritual. Karena itu bukanlah pesan kekristenan, dan ketika Anda menggunakan rasa takut untuk mengendalikan orang, kedengarannya seperti Anda menempatkan diri Anda di atas Allah yang Anda katakan Anda tunduk kepada-Nya.
Mengenai rasa malu, setahu saya itu digunakan satu kali, dan itu bukan untuk mengikat seseorang pada suatu keyakinan. Itu adalah untuk menasihati orang-orang yang sudah percaya, ketika Paulus menyebut dosa orang-orang Korintus dan berkata, “Hal ini kukatakan untuk memalukan kamu.” Penggunaan kata “malu” sebagian besar berbicara tentang Yesus yang menerimanya supaya anak-anak tumbuh besar untuk menyembah Allah tidak menjadi malu lagi.
5. Mengajar anak-anak bahwa penolakan, kebencian, atau perendahan pada manusia lain merupakan ungkapan pengabdian kepada Allah.
Hal yang paling memilukan tentang hal yang satu ini adalah betapa besar ketidakpahaman mereka. Orang tua dapat dengan mudah membaca hal ini dan menyetujuinya, sementara anak-anak mereka hanya meniru apa yang orang tua lakukan lebih daripada apa yang dikatakan. Anak-anak belajar melalui teladan, dan setiap kali orang dewasa mengatakan sesuatu yang negatif tentang orang-orang dari agama, ras, atau orientasi seksual yeng berbeda, mendukungnya dengan alasan pengabdian kepada Allah yang mengajarkan hal ini. Agama Kristen tidak pernah mengajarkan untuk menolak atau merendahkan orang-orang karena dosa-dosa mereka yang terlihat atau keyakinan yang salah. Jika Yesus mengajarkan bahwa perintah pertama adalah kasih, jangan tambahkan apa pun sampai kasih itu dilakukan dengan tepat.
Waspadai ketidakpahaman di sekitar anak-anak karena prasangka politik dan budaya akan diwariskan. Hal-hal yang baik tidak datang dari kebencian, dan setiap ajaran ini merupakan representasi palsu dari kekristenan. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | HuffPost |
Alamat situs | : | https://www.huffingtonpost.com/cynthia-jeub/five-unbiblical-doctrines_b_4624653.html |
Judul asli artikel | : | Five Unbiblical Doctrines |
Penulis artikel | : | Cynthia Jeub |
Tanggal akses | : | 23 Mei 2018 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK