Ada sejuta definisi tentang hakikat belajar, tetapi secara awam saja kita boleh mengatakan bahwa belajar adalah usaha manusia untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan sosial sebaik- baiknya. Usaha itu dicapai antara lain dengan menyerap dan kemudian menanamkan sebanyak mungkin nilai dan pengetahuan yang kita miliki sendiri. Dan karena tujuannya adalah untuk beradaptasi dengan lingkungan sebaik-baiknya, maka tidak heran kalau dikatakan bahwa belajar adalah suatu proses berkesinambungan yang dilakukan sepanjang hidup.
Segala sesuatu bila sudah menjadi kebiasaan akan terasa ringan. Demikian juga dengan kebiasaan belajar di rumah. Karenanya penting sekali diusahakan agar belajar dapat menjadi kebiasaan yang dilakukan setiap hari (kecuali pada hari-hari libur) dengan gembira.
Melatih kebiasaan belajar membutuhkan suasana yang menyenangkan. Dalam pengertian yang paling sederhana, kita akan melihat bahwa anak-anak tidak akan senang diperintah, dipaksa, dibentak, apalagi diancam dengan hukuman supaya mau belajar.
Ada sementara orang tua yang mengeluhkan anaknya yang tidak mau belajar. Kalau disuruh belajar, marah. Atau pura-pura tidak mendengar, terus sibuk dengan mainannya. Dalam hal ini kita harus bertanya. Mengapa anak ini menunjukkan tingkah laku demikian? Dapatkah ia mengikuti pelajaran di sekolah? Sukakah ia pada pelajaran-pelajaran yang diberikan di sekolah? Kalau pelajarannya tidak menarik, anak pun biasanya enggan membuat PR atau mengulangi pelajarannya untuk keesokan harinya. Yang juga harus diperhatikan, apakah kecerdasannya cukup? Anak-anak yang kurang cerdas akan sukar mengikuti pelajaran. Anak tahu atau merasa bahwa ia tak sanggup atau tak cukup mampu untuk mengikuti dan melaksanakan tugasnya. Karena itu ia mencari berbagai alasan dan cara supaya terhindar dari keharusan belajar.
Memang ada kalanya, jika kemampuan anak tidak terlalu kurang, cukup dengan belajar lebih keras dan lebih lama dari biasanya, ia akan memperoleh hasil yang lebih memuaskan. Misalnya angka-angka ulangan menjadi lebih bagus. Tapi acapkali pula usaha semacam itu tetap tidak membuahkan hasil yang menyenangkan, bahkan ada kalanya malah semakin membuat prestasinya menurun. Semakin keras ia dipaksa belajar, semakin buruk hasilnya. Apabila sudah sampai pada taraf ini maka belajar, waktu belajar dan waktu untuk mengerjakan pekerjaan atau tugas sekolah akan menjadi saat-saat yang menyebalkan bagi anak.
Sikap positif orang tua berpengaruh besar bagi kelancaran belajar anak. Namun kelancaran belajar itu pasti tidak akan tercapai kalau tidak suasana yang mendukung. Karena itu orang tua sebaiknya menyediakan tempat khusus untuk anak belajar. Tempat itu harus memungkinkan ia untuk dapat belajar dan mengerjakan PR tanpa ada gangguan. Bila mungkin, idealnya tempat itu bisa berupa sebuah kamar khusus. Kalau tidak, di rumah yang relatif kecil pun perlu diusahakan adanya tempat belajar tertentu. Misalnya, di ruang tidur anak. Ini bukanlah syarat yang sepele. Sebab lingkungan mempengaruhi sikap anak terhadap pekerjaannya.
Demikian pula sikap orang tua terhadap proses belajar anak cukup besar pengaruhnya. Tidak mustahil, semangat belajar anak justru terpatahkan oleh sikap yang kurang menguntungkan dari orang tuanya sendiri. Karena itu orang tua seyogyanya bersikap bijaksana. Untuk menjaga agar semangat belajar anak tetap lestari, misalnya sebaiknya orang tua tidak menyuruhnya belajar pada saat yang kurang tepat. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan anak, kalau tiba-tiba ia disuruh belajar ketika sedang asyik bermain dengan teman-temannya. Apalagi waktu itu baru jam empat sore, saat yang disenangi anak untuk bermain di luar.
Orang tua perlu segera berbuat sesuatu sebelum segalanya terlambat, supaya anak-anak itu akhirnya tidak menjadi putus asa dan tak mempunyai kemauan lagi untuk belajar. Dalam hal ini komunikasi orang tua dengan sekolah menjadi penting sekali, terutama karena pihak sekolahlah yang biasanya mengetahui lebih dahulu kesulitan anak dalam belajar. Di rumah, kasih sayang orang tua yang besar terhadap anak-anak kadang-kadang membuat mereka sulit melihat kekurangan atau kelemahannya. Demi anak, orang tua memang sebaiknya mengambil inisiatif menjalin hubungan dengan guru, sehingga masalah yang dihadapi anak cepat diketahui.
Drs. M. Enoch Markum dalam bukunya "Anak, Keluarga dan Masyarakat" mengemukakan, umumnya kesulitan belajar atau kemerosotan prestasi dalam belajar yang disebabkan oleh taraf intelegensi umum yang sangat rendah (retardasi/keterbelakangan mental) dapat segera diketahui oleh orang tua. Biasanya dengan membandingkan kemampuan dan tingkah laku anaknya dengan saudara-saudaranya atau anak lain; orang tua akan segera mengetahui dan menyadari bahwa anaknya tidak tergolong cerdas. Kalaupun orang tua ini datang ke seorang psikolog, maka biasanya hanya untuk menyakinkan dugaannya dan bagaimana memperlakukan anak tersebut seharusnya. Sebaliknya dari keadaan ini adalah anak yang taraf intelegensi umumnya tinggi (di atas rata rata, superior). Anak yang intelegensinya tergolong tinggi pun tetap tidak mustahil mengalami banyak persoalan, termasuk kesulitan belajar dan kemunduran prestasi sekolah.
Kini seringkali orang tua menyikapi dengan memberi pelajaran tambahan bagi anaknya di samping pelajaran di sekolah. Namun seringkali pada dasarnya pelajaran tambahan semacam itu tidak perlu diberikan apabila sudah sejak mula orang tua mengontrol cara anaknya belajar dan mengikuti pelajaran di kelas serta dengan menyadari sampai di mana batas-batas kemampuan anaknya. Les tambahan tidak selalu menguntungkan, kecuali tentu bagi guru bersangkutan yang memberi les tambahan.
Sebagai kesimpulan, jelaslah bahwa sikap positif yang diperlihatkan orang tua terhadap anak, sekolah dan proses belajar sangat penting dalam menunjang kemajuan atau keberhasilan pendidikan anak. Orang tua juga perlu meyakinkan anak bahwa mereka mengharapkannya belajar dengan baik. Di samping itu pendapat orang tua bahwa sekolah merupakan pengalaman yang menyenangkan akan berpengaruh dalam merangsang semangat anak untuk belajar.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK