Dari pengalaman orang tua dan para guru, mereka melihat adanya suatu hubungan antara penyesuaian diri pada masa anak-anak dengan keberhasilan mereka kelak pada waktu dewasa. Anak-anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik sesuai tahap perkembangan dan usianya, cenderung menjadi anak yang mudah bergaul, lebih hangat dan terbuka menghadapi orang lain, serta lebih mudah menerima kelemahan-kelemahan orang lain. Kelak pada waktu mereka dewasa, mereka lebih mudah menyesuaikan diri di tempat pekerjaannya atau pun dalam kehidupan perkawinan. Sedangkan anak-anak yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, pada umumnya mereka menjadi anak yang lebih tertutup, labil emosinya, dan mengalami kesukaran dalam hubungan dengan orang lain. Bahkan ada yang memperlihatkan sikap dan tingkah laku yang menjurus tergolong kriminal.
Seorang ahli bernama A.A. Schneiders mengemukakan mengenai penyesuaian diri sebagai berikut: bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses mental dan tingkah laku yang mendorong seseorang untuk menyesuaikan diri sesuai dengan keinginan yang berasal dari dalam diri sendiri, yang dapat diterima oleh lingkungannya. Jadi, penyesuaian diri adalah reaksi seseorang terhadap rangsangan -- rangsangan dari dalam diri sendiri maupun reaksi seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.
Seorang ahli lainnya, E. Hurlock, memberikan perumusan tentang penyesuaian diri secara lebih umum. Ia mengatakan bahwa bilamana seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap orang lain secara umum atau pun terhadap kelompoknya, ia memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan, berarti ia diterima oleh kelompok atau lingkungannya. Dengan perkataan lain, orang itu mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya.
Ia memberikan empat kriteria sebagai ciri penyesuaian diri yang baik.
1. Melalui sikap dan tingkah laku yang nyata (overt performance) yang diperlihatkan anak sesuai dengan norma yang berlaku di dalam kelompoknya. Berarti anak dapat memenuhi harapan dari anggota kelompoknya dan ia diterima menjadi anggota kelompok tersebut.
2. Apabila anak dapat menyesuaikan diri dengan setiap kelompok yang dimasukinya.
3. Pada penyesuaian diri yang baik, anak memperlihatkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, mau ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan peranannya dengan baik sebagai anggota kelompoknya.
4. Adanya rasa puas dan bahagia karena dapat turut menggambil bagian dalam aktivitas kelompoknya atau pun dalam hubungannya dengan teman atau orang dewasa.
Dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak setiap anak dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya. Mereka bisa menjadi anak yang "miskin" kepribadiannya atau pun kehidupan sosialnya, merasa tidak bahagia dan mengalami kesukaran dalam mengatasi masalah yang timbul. Banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan anak menyesuaikan diri, antara lain:
1. Tergantung di mana anak itu dibesarkan, yang dimaksudkan di sini ialah kehidupan di dalam keluarga. Bila anak dididik oleh orang tuanya secara otoriter dan kekerasan, maka kelak kalau ia dewasa, anak sering kali merasa dendam dengan tokoh otoriter yang dijumpainya dalam masyarakat. Ia mengalami kesukaran dengan orang lain yang memperlihatkan sikap otoriter kepadanya. Lain halnya dengan anak-anak yang dibesarkan secara acuh tak acuh oleh orang tuanya, sering kali memperlihatkan sikap dan perasaan kurang peduli terhadap orang lain.
2. Kesulitan lain terjadi karena anak tidak memperoleh "model" yang baik di rumahnya, terutama dari orang tuanya. Orang tua yang seharusnya memberikan contoh yang baik ternyata sering kali bersikap dan bertingkah laku agresif, kehidupan emosi yang cepat marah, dan sebagainya. Biasanya, anak-anak yang merupakan "hasil" keluarga tersebut akan mengalami kesukaran dalam hubungan dengan orang lain di luar rumah.
Melihat pentingnya penyesuaian diri dalam kehidupan seseorang, timbul pertanyaan: bilamanakah kehidupan sosial seorang anak dimulai? Kehidupan sosial seorang anak pada permulaan terjadi bukan dengan anak-anak sebayanya, tetapi dengan orang dewasa. Orang dewasa yang pertama-tama dekat dengannya ialah ibunya. Sejak bayi, dia sudah menyadari bahwa dia membutuhkan orang lain. Bayi akan menangis atau tersenyum dan berhenti menangis bila ada seseorang yang datang menjumpainya. Pada umumnya, pada usia 3 bulan, tanda-tanda kesadaran sosial anak mulai jelas terlihat. Ia mulai memerhatikan kehadiran orang dewasa lainnya, dan mulai bereaksi bila mendengar suara.
Pada usia 6 bulan, bayi sudah lebih mengenal ibunya sendiri melalui suara, wajah, atau pun elusan-elusan. Makin bertambah usia, bayi makin memperluas gerakan motoriknya. Biasanya pada usia 9 -- 14 bulan, anak sangat memerhatikan keadaan di sekitarnya, terutama melalui alat permainannya. Baru pada usia 2 tahun anak memperlihatkan sikap ingin berkawan, yaitu dengan tukar-menukar alat permainannya, meski suasana berkawan ini tidak dapat berlangsung dalam waktu yang lama. Keinginannya untuk bermain dengan anak lain makin jelas ketika ia berusia 3 tahun. Dan pada usia 4 tahun, anak makin senang bergaul dengan anak lain, terutama teman yang usianya sebaya. Ia dapat bermain dengan anak lain berdua atau bertiga, tetapi bila lebih banyak anak lagi, biasanya mereka bertengkar. Mereka dapat bermain bersama, tetapi belum dapat bekerja sama.
Baru pada usia 5 -- 6 tahun, ketika memasuki sekolah, anak lebih mudah diajak bermain dalam suatu kelompok. Ia juga mulai memilih teman bermainnya, entah tetangga atau teman sebayanya, yang dilakukan di luar rumah. Pada anak-anak yang lebih besar, mereka akan memilih sendiri siapa yang akan menjadi teman bermain. Biasanya anak perempuan lebih menyukai teman perempuan karena adanya persamaan minat dan kemampuan bermain yang sama pula. Sedangkan anak laki-laki mencari teman yang ia kagumi karena misalnya pandai bermain catur atau gemar berolahraga.
Keinginan memunyai teman berada pada puncaknya ketika anak-anak memasuki masa remaja. Pada masa ini, minat anak-anak makin luas dan bervariasi, dan juga tenaga mereka bertambah besar. Mereka menyenangi permainan yang memerlukan banyak tenaga, misalnya berolahraga.
E. Hurlock mengemukakan tiga bentuk cara berkawan pada anak-anak.
1. Orang-orang yang berkawan atau bergaul dengan anak-anak hanya dengan melihat atau mendengarkan perkataan-perkataan mereka tanpa melakukan interaksi langsung dengan mereka.
2. Teman sebaya adalah bentuk yang kedua, yaitu dengan teman yang biasa bermain dan melakukan aktivitas bersama-sama sehingga menimbulkan rasa senang bersama. Biasanya usia mereka sebaya dan juga dari jenis kelamin yang berbeda.
3. Ialah yang disebut sebagai teman sesungguhnya, dalam pengertian di mana anak tidak saja ikut bermain bersama, tetapi juga mengadakan komunikasi, memberikan pendapat, dan saling memercayai satu terhadap lainnya. Kebanyakan mereka menyenangi teman sebaya.
Sebenarnya pengalaman-pengalaman yang diperoleh anak dalam pergaulan dengan teman-temannya sejak ia berusia 2 tahun sampai remaja, tidak membantu anak dalam mengembangkan aspek sosialnya saja, tetapi justru pengalaman-pengalaman itu merupakan proses untuk mewujudkan dirinya sendiri. Melalui pengalaman dan penyesuaian diri terhadap orang lain, anak dapat mengetahui apakah ia diterima atau ditolak oleh orang-orang di sekitarnya. Bila seseorang menyukai dirinya, berarti ia diterima oleh orang itu bukan untuk beberapa aspek kepribadiannya saja, tetapi meliputi seluruh kepribadiannya. Hal ini sangat penting karena dengan demikian, anak yang merasa dirinya diterima oleh lingkungannya akan memiliki kepribadian yang kuat. Sedangkan anak-anak yang merasa ditolak, akan memiliki konsep diri yang kurang baik. Akibatnya anak mudah tersingung, egosentris, menarik diri dari lingkungan, dan selalu merasa tidak aman.
E. Hurlock mengemukakan kategori anak yang diterima dan ditolak oleh kelompoknya sebagai berikut.
Anak yang paling disukai oleh anggota kelompoknya digolongkan sebagai anak yang populer, dan ia menjadi "bintang" bagi teman-temannya. Anak ini memunyai banyak pengagum meskipun kadang-kadang sedikit teman karibnya. Anak yang populer biasanya aktif, tampan, gembira, ramah, dan menyenangkan orang lain. Ada juga anak yang populer karena ia memunyai kelebihan dibandingkan teman-temannya, misalnya prestasinya di sekolah baik sekali atau ia seorang juara dalam olahraga. Jadi, apakah seorang anak dalam suatu kelompok akan menjadi anak yang populer atau tidak, tergantung dari kualitas anak itu sendiri atau cita rasa serta minat anggota kelompoknya.
Kategori yang kedua ialah anak yang diterima oleh kelompoknya, tetapi tidak populer. Di samping itu, ada pula anak yang tidak terlalu disukai oleh teman-temannya, mereka ini tidak mendapat kedudukan yang utama. Yang termasuk kategori ini ialah anak-anak yang hanya mengikuti kehendak atau inisiatif teman-temannya.
Ada pula anak yang dikategorikan sebagai diabaikan oleh anggota kelompoknya. Anak ini tidak mendapat perhatian sama sekali dari temannya, karena ia seorang pendiam, pemalu, menarik diri dari kegiatan-kegiatan kelompok. Biasanya pada anak-anak yang mendapat kedudukan kurang populer, memperlihatkan sikap gelisah dan selalu berusaha mencari berbagai tingkah laku untuk menarik perhatian anggota kelompoknya.
Kategori yang bertentangan dengan anak yang termasuk populer ialah anak yang terisolasi. Anak ini tidak memunyai teman, karena ia tidak berminat mengikuti aktivitas kelompok. Ia lebih tertarik melakukan kegiatan-kegiatan seorang diri. Anak ini tidak pandai bergaul.
A. Schneiders juga membahas sejumlah kriteria sebagai ciri-ciri penyesuaian diri yang baik. Di antara kriteria-kriteria itu, faktor penerimaan anak dalam suatu kelompok merupakan salah satu ciri yang terpenting dalam penyesuaian diri yang baik. Ia berpendapat bahwa bilamana seseorang dapat menerima keadaan dirinya sendiri, maka ia juga mudah menerima keadaan orang lain, termasuk kekurangan atau hal-hal yang positif dari orang tersebut. Sebelum seseorang dapat menerima keadaan diri sendiri, ia harus mengenal terlebih dahulu kemampuan serta keterbatasannya, sehingga ia mudah mengatasi kesukaran yang dialaminya dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
Untuk mengenal diri sendiri secara lebih mendalam diperlukan penilaian atau kesadaran akan keadaan diri sendiri. Hal mana meliputi hal-hal yang mendasari tingkah laku, pola pemikiran, perasaan, serta kebiasaan-kebiasaan. Pengenalan diri yang wajar maupun penilaian diri sendiri membantu seseorang untuk berpikir secara lebih objektif, lebih dekat dengan kenyataan, dan tidak mudah terbawa oleh perasaan semata-mata.
Faktor-faktor di atas inilah yang membawa seseorang untuk menerima diri sendiri (self acceptance). Tetapi ada pula faktor lain yang mengambil peranan penting karena tidak mudah seseorang mampu menerima diri sendiri, yaitu faktor kematangan. Kematangan merupakan dasar perkembangan seseorang dan sangat memengaruhi tingkah laku. Adapun yang dimaksud dengan kematangan ialah keadaan pada tahap-tahap perkembangan yang sesuai dengan keadaan atau norma umum pada tingkatan perkembangan seseorang. Kematangan di sini termasuk kematangan fisik, kematangan emosi, dan intelektual.
Lalu akibat apa yang terjadi pada anak-anak yang tidak diterima oleh kelompoknya? Yang pasti mereka merasa tidak bahagia, tidak aman, cepat tersinggung, merasa cemas, dan hidupnya tanpa ada kepastian atau ketetapan. Untuk jelasnya, diberikan contoh sebagai berikut.
A seorang anak laki-laki, duduk di sekolah dasar kelas III. Ayah dan ibunya sering kali tidak berada di rumah karena mereka lebih banyak tinggal di luar negeri. Selama di luar negeri, mereka tidak pernah mengirim surat kepada anaknya, sehingga anak tidak mengetahui kabar dari orang tuanya. Anak dibimbing dan diasuh oleh seorang nenek yang sudah tua. Di sekolah, anak sulit memusatkan perhatiannya, sehingga nilai pelajarannya rata-rata kurang sekali. Ia sering pula menentang guru dan mengganggu teman-temannya. Di rumah, ia pun sulit diatur. Guru yang memberikan pelajaran tambahan kepadanya, sering merasa kesal melihat sikap dan tingkah lakunya.
Tidak adanya perhatian dan kasih sayang dari orang tua menyebabkan anak merasa gelisah dan tidak aman. Karena itu, ia sukar memusatkan perhatian pada pelajaran-pelajaran. Tidak adanya tokoh otoriter di rumah menyebabkan anak sulit diatur. Ia menjadi seorang pemberontak. Akibatnya anak mengalami kesukaran menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Apakah akibatnya bila seseorang mengalami kesulitan menyesuaikan diri? Salah satu kemungkinan ialah mengalami frustrasi, yaitu suatu keadaan di mana seseorang mendapat halangan yang bersifat fisik atau psikis, sehingga terjadi penundaan atau hambatan yang mengakibatkan tujuan tidak tercapai.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK