Seluruh dunia berusaha untuk saling "menghijaukan" sebagai pengakuan atas apa yang dikenal dengan Hari Bumi. Hari Bumi seharusnya membuat kita, yang menempatkan diri di bawah otoritas kebenaran Alkitab mengenai hal-hal tersebut, merefleksikan ajaran Alkitab mengenai penciptaan Allah.
Apa pandangan yang benar-benar alkitabiah tentang penciptaan, lingkungan, serta kaitan manusia dengannya, dan tanggung jawab untuk hal tersebut?
Sebuah pandangan Kristen tentang penciptaan dengan menggembirakan menegaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Dasar, proposisi dasar dari paham lingkungan yang Alkitabiah adalah bahwa Allah menyatakan diri-Nya sebagai Sang Pencipta (Kejadian 1:1).
Perjanjian Baru dan Kitab Kejadian menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu (Efesus 3:9; Kolose 1:16-17; Roma 11:36). Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus??) membawa dunia ciptaan menjadi ada. Allah Bapa adalah sumber, perencana, dan pencetus dunia ini (Kejadian 1:1; 1 Korintus 8:06). Allah Anak adalah Perantara, yang melakukan tindakan atau karya penciptaan (Yohanes 1:3; Kolose 1:16; Ibrani 1:2). Allah Roh Kudus adalah Ia yang penuh cinta, mengasuh, dan melayang di atas bumi, memberinya bentuk dan rupa, serta keindahan.
Dengan demikian, pendekatan alkitabiah terhadap masalah-masalah lingkungan tanpa dalih menegaskan bahwa "bumi adalah milik Tuhan" (Mazmur 24:1). Allah, dan Allah sajalah pemilik ciptaan. Namun, Alkitab juga memberi tahu kita bahwa Allah memberi manusia kekuasaan (Ibrani: "radah", yang berarti "memerintah") atas ciptaan, serta sebuah perintah untuk menundukkannya (Ibrani: "kabash", yang berarti "membawa ke dalam perbudakan") (Kejadian 1:26-28). Hal ini bersifat kuat, kata-kata dominan dalam teks Alkitab yang tidak meninggalkan ruang untuk keraguan, bahwa Allah menempatkan manusia sebagai yang utama dalam urutan penciptaan.
Keunggulan manusia dalam ciptaan Allah lebih lanjut ditegaskan oleh fakta bahwa Tuhan menciptakan Adam sebelum Ia mempersiapkan tempat tinggalnya, yakni taman (Eden). Cukup jelas tertulis dalam Kejadian 2:8, bahwa setelah menciptakan Adam (Kejadian 2:7), Tuhan "membuat taman di Eden", dan di sanalah Tuhan "menempatkan manusia yang dibentuk-Nya itu". Kemudian, dalam Kejadian 2:15, Allah menempatkan manusia di tempat yang telah disiapkan untuknya, dengan instruksi untuk "mengusahakan dan memeliharanya". Kata kerja "mengusahakan" (Avadh) berarti "untuk bekerja, untuk sampai", dan kata kerja "memelihara" (Shamar) berarti "untuk menjaga, penjaga, melindungi".
Dengan demikian, manusia memiliki keunggulan dalam ciptaan Allah, dan sebagai pelayan serta wakil penjaga-Nya, manusia dimaksudkan untuk "mengusahakan dan memeliharanya" (Kejadian 2:15), yang berarti menyebabkan bumi menghasilkan buah dan dikembangkan dalam cara yang dapat diperbarui demi kepentingan dan kebaikan manusia.
Ini merupakan peraturan ilahi, dan merancang keunggulan serta tanggung jawab manusia dalam rangka bertahan dari bencana kejatuhan manusia (Kejadian 3:1-19). Setelah air bah, Allah berkata kepada Nuh, "Segala yang bergerak, yang hidup, akan menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga tumbuh-tumbuhan hijau." (Kejadian 9:3) Pemazmur menyatakan bahwa Allah telah memberi manusia "Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya; kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan." (Mazmur 8:6-8)
Allah memelihara ciptaan-Nya yang selamat dari kejatuhan, dan dalam Kejadian 9:8-17, Allah memberi tahu Nuh, bahwa Ia telah membentuk perjanjian "denganmu (Nuh) dan dengan setiap makhluk hidup". Kemudian, Ia berbicara tentang sebuah "perjanjian antara aku dan bumi." Dan, tanda perjanjian itu adalah pelangi.
Rencana Allah untuk penciptaan termasuk mengenakan batas ilahi pada apa yang dapat manusia lakukan terhadap ciptaan Tuhan dan makhluk-makhluk lain. Dalam seluruh Kitab Musa, kita menemukan hal-hal tersebut, seperti:
Tidak menyabit habis ladang sampai ke tepinya (Imamat 19:09).
Petani hanya dapat memanen dari pohon-pohon yang berusia lima tahun (Imamat 19:25).
Tanah harus diistirahatkan secara teratur (Imamat 25:1-12).
Pohon buah-buahan tidak boleh ikut dirusak dan ditebang dalam peristiwa pengepungan/penyerangan (Ulangan 20:19).
Induk burung tidak boleh diambil bersama anak-anaknya (Ulangan 22:6).
Lembu tidak boleh diberangus saat membajak ladang jagung (Ulangan 25:4).
Ciptaan adalah milik Allah. Sebagai pelayan dari milik kepunyaan-Nya, manusia bertanggung jawab kepada-Nya untuk mengembangkan dan melindungi ciptaan-Nya.
Selain itu, karena Allah dengan jelas telah memberikan keunggulan pada manusia dalam ciptaan-Nya, dan kehidupan manusia menuntut penghormatan sebagai ciptaan yang serupa dengan gambar-Nya (Kejadian 1:26), semua kehidupan layak untuk dihargai. Kita memiliki hak untuk menggunakan hewan dan tumbuhan untuk kebaikan manusia. Kita tidak memiliki hak untuk mengabaikan makhluk hidup atau memperlakukan mereka sebagai benda mati. Kita memiliki hak untuk menjinakkan dan memelihara ternak dan sumber kehidupan lainnya untuk kelangsungan hidup manusia. Kita tidak memiliki hak untuk bertindak dengan semena-mena, kejam, atau angkuh terhadap makhluk hidup.
Kita memiliki hak untuk menggunakan -- sebisa mungkin tanpa menyakiti -- hewan dalam penelitian untuk kesehatan yang lebih baik bagi manusia. Kita tidak memiliki hak untuk menyiksa hewan atau menyebabkan ketidaknyamanan pada mereka, demi mengembangkan kosmetik baru atau produk lain yang berfungsi sebagai kenyamanan belaka.
Bagian-bagian dalam Alkitab tersebut lebih lanjut mengungkapkan bahwa sebagai pelayan atas milik kepunyaan Allah, kita bertanggung jawab untuk mengembangkan, tetapi bukan untuk menodai atau memusnahkan ciptaan Allah. Kita dituntut untuk mengembangkan ciptaan Allah, untuk menghasilkan buah serta meningkatkan manfaatnya bagi manusia. Perumpamaan Tuhan tentang talenta (Matius 25:14-30) menggarisbawahi peringatan untuk "mengusahakan" kebun. Di sana, hamba yang mengubur bakatnya, benar-benar dihukum karena pengelolaan yang buruk dan kurangnya produktivitas melalui bakat (sumber daya) yang dipercayakan kepadanya (Matius 25:24-29).
Sebagai pengikut Kristus, kita harus bertobat atas ketidakpekaan kita di masa lalu serta atas pengabaian tanggung jawab pelayanan kita kepada ciptaan Allah. Iman saya tidak mengizinkan saya untuk memaafkan peradaban Barat yang sering kali semana-mena dan secara mencolok mengabaikan alam dan lingkungan.
Terdapat beberapa contoh di mana saya akan berbagi kepedulian dan solusi yang ditawarkan oleh ahli-ahli lingkungan sekuler. Sering kali, saya tidak sepakat karena saya memiliki pandangan yang berbeda, yang diperintahkan dalam Kitab Suci, yang menyebabkan perbedaan prioritas sehingga sering kali akan menyebabkan kesimpulan dan tindakan yang berbeda.
Apa yang kita percayai mengenai siapa kita sebagai umat manusia dan apa hubungan kita dengan Pencipta surgawi kita dan ciptaan-Nya, pada akhirnya akan menentukan bagaimana kita menangani masalah-masalah lingkungan. (t/N. Risanti)
Diterjemahkan dari:
Nama situs | : | Baptist Press |
Alamat URL | : | http://www.bpnews.net/ |
Judul asli artikel | : | FIRST-PERSON: A biblical perspective on Earth Day |
Penulis | : | Richard Land |
Tanggal akses | : | 15 Januari 2014 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK