Sepanjang hidup anak-anak saya, mereka hanya memiliki satu tahun TV kabel. Kami tidak pernah merasa perlu memiliki kabel di rumah dan kami ketat dengan penggunaan waktu menonton mereka.
Sebagai seorang profesor dan pendidik, saya teguh pada keinginan akademis saya: Saya ingin mereka menghabiskan waktu untuk membaca atau menjadi kreatif dengan tangan mereka daripada duduk di depan layar. Saya khawatir jika berfokus pada layar, mereka tidak akan melakukan apa-apa selain membuang-buang waktu dan penglihatan mereka akan memburuk.
Satu tahun kami memiliki TV kabel, saya mencoba membatasi waktu menonton TV harian mereka menjadi satu setengah jam. Saya pikir dengan memberi mereka sedikit waktu menonton TV akan memberi saya dan suami saya waktu istirahat yang sangat dibutuhkan di siang hari, tetapi kami semua akhirnya bertengkar – tentang batas waktu, tentang siapa yang boleh menonton apa, tentang saluran apa yang diizinkan.
Paling sering, saya menyerah pada keinginan anak bungsu saya, yang berusia 3 tahun saat itu, atau saya mematikan TV dan kami semua meninggalkan ruangan dengan marah. Selalu lelah dengan memantau waktu di depan layar dan berusaha mempertahankan produktivitas yang tiada henti, saya memberitahukan di keluarga kami bahwa memiliki televisi kabel adalah hak istimewa yang sangat besar yang harus digunakan dengan bijaksana – dan hemat.
Sejak ada pandemi, saya kalah dalam semua pertempuran ini.
Sekarang, bagi banyak dari kita, tampaknya hidup kita terikat erat dengan layar. Baik muda, paruh baya, atau tua, kita telah dipaksa oleh pandemi ke jalur revolusi teknis radikal yang dipercepat, bergantung pada layar kita sepanjang hari sampai larut malam untuk segala hal mulai dari pekerjaan hingga sosialisasi hingga hiburan.
Kehadiran layar yang tak terhindarkan dalam interaksi kita berarti kita perlu berpikir kreatif tentang bagaimana membentuk komunitas melalui jalur digital.
Saya mengajar kursus daring sebelum pandemi dimulai. Saya tidak pernah menyukainya; Saya merasa bahwa cara mengajar tatap muka adalah yang terbaik. Begitu juga dengan berkhotbah. Akan tetapi, dengan kemungkinan pertemuan fisik ditunda, kita harus bertanya pada diri sendiri bagaimana cara terbaik untuk mengajar dan melayani dalam realitas yang baru ini.
Sewaktu saya mengajar dan berkhotbah secara fisik, saya memperoleh energi dari mereka yang berkumpul di kelas atau bangku gereja, yang pada gilirannya membantu saya mengajar dan berkhotbah dengan lebih baik. Tanpa energi langsung dari orang-orang yang mendengarkan dan terlibat melalui layar komputer, saya harus menyesuaikan cara saya mengajar dan berkhotbah.
Pertama, saya harus jujur pada diri saya sendiri tentang betapa saya merindukan penegasan dari orang-orang di ruangan itu. Saya harus membangun keyakinan bahwa apa yang saya lakukan berhasil dan layak dilakukan. Ini adalah hal yang sulit, karena kita manusia secara alami menginginkan dorongan dan penegasan dari orang lain.
Selain itu, saya perlu menyadari bahwa ada kesulitan di sisi lain juga. Terutama selama pandemi ini, ketika orang mengalami begitu banyak rasa sakit, isolasi, depresi, dan kesedihan, itu adalah pengingat yang baik bahwa mereka yang berada di sisi lain layar kita merasakan keterputusan yang sama dengan kita.
Mengajar dan melayani secara daring bukan berarti bahwa kita dapat melupakan atau mengabaikan orang-orang di sisi lain layar; sebenarnya, itu berarti bahwa kita perlu lebih memikirkannya, mengarahkan pelajaran atau khotbah kita dengan lebih spesifik, lebih bermuatan, karena jaraknya.
Meskipun kita mengajar dan berkhotbah melalui ponsel atau laptop, kita harus menyadari bahwa dalam tindakan inilah kita bertanggung jawab untuk membina sebuah komunitas, yang untuk pertama kalinya terpisah dari kesadaran fisik dan alamiah kita.
Komunitas itu penting. Banyak dari kita merasa seolah-olah kita telah kehilangan rasa kebersamaan selama pandemi. Ke depan, terlepas dari fluktuasi lebih banyak pembukaan dan penutupan, gelombang kedua dan ketiga, dan aturan tentang menjaga jarak sosial yang berubah, kita harus secara sadar dan konsisten memelihara cara kita belajar untuk bersama. Saat-saat ini menantang kita untuk mendefinisikan kembali apa artinya menjadi komunitas yang belajar dan beribadah.
Untuk guru-guru daring, kita harus berusaha sebaik mungkin untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan dan terlibat. Saya tahu ini sulit dilakukan, karena diam tidak nyaman, terutama pada platform virtual. Akan tetapi, karena sulit bagi siswa untuk terjun ke kelas untuk terlibat, momen keheningan ekstra itu sangat penting. Opsi "obrolan" berbasis teks di Zoom dan layanan lainnya adalah cara lain untuk memberikan kepada siswa kesempatan untuk tidak hanya menjadi pendengar pasif tetapi juga peserta yang terlibat secara aktif.
Selama berbulan-bulan, cerita utamanya adalah isolasi, meskipun kita telah mengalami pengalaman kehilangan yang sama. Akan tetapi, para pemimpin agama telah dipanggil untuk menerobos isolasi, untuk menjawab tantangan besar ini meskipun kita sendiri tidak yakin. Kita ditanyai apa arti semuanya, sebaliknya, bagaimana cara melatih kesehatan rohani, bagaimana mengelola kesedihan dan bagaimana merawat para penderita ketika kita sendiri menderita.
Dalam realitas yang baru ini, kita perlu menyediakan ruang untuk berbagi cerita pribadi tentang kehilangan, kasih, dan harapan. Kita dapat mengintegrasikan khotbah kita dengan bacaan, puisi, musik, dan seni jemaat kita. Ke depannya, kita dapat membuat khotbah yang lebih interaktif, mengundang pendengar kita untuk ikut serta. Mereka dapat "mengobrol" doa dengan orang lain atau bahkan membagikan lukisan yang dibuat anak-anak mereka dengan orang lain di jemaat.
Sebagai seorang ibu muda, saya membatasi waktu menonton TV anak-anak saya karena saya merasa mereka perlu keluar dari layar untuk menjadi pembelajar yang kreatif, hidup, dan ingin tahu. Maju cepat 20 tahun – sekarang di era digital, melawan pandemi – dan kita telah didorong dalam semalam ke dalam kehidupan Zoom. Dalam dunia daring yang baru ini, kita harus terus memikirkan cara-cara kreatif untuk menjadi komunitas pembelajar daring dan penyembah yang berkembang. (t/Jing-Jing)
Diterjemahkan dari: | ||
Nama situs | : | Faith and Leadership.com |
URL | : | https://faithandleadership.com/grace-ji-sun-kim-getting-creative-about-teaching-and-ministry-during-pandemic |
Judul asli artikel | : | Grace Ji-Sun Kim: Getting creative about teaching and ministry during a pandemic |
Penulis artikel | : | Grace Ji-Sun Kim |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK