Filosofi pengajaran Kristen bermula di Alkitab dan membentuk bagian dari konsep pendidikan Kristen yang lebih besar. Firman Tuhan memberikan lebih dari sekadar isi pengajaran kristen; firman Tuhan juga memberikan kerangka filosofi yang penting. Pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti, "Mengapa kita harus mengajar?" "Hasil seperti apa yang kita harapkan?" "Siapa yang menengahi pengajaran Kristen?" "Bagaimana seharusnya kita mengajar?" dan "Siapa yang seharusnya kita ajar?" memiliki jawaban-jawaban yang provokatif di Alkitab. Suatu mandat dan tujuan yang jelas dan tegas itu terkait dengan pandangan-pandangan Alkitab yang luar biasa tentang guru, murid, dan Tuhan untuk membentuk sebuah struktur yang stabil. Setiap guru Kristen membangun filosofi pengajaran pribadi dengan memahami kerangka alkitabiah secara benar atau tidak. Oleh sebab itu, tantangan sepanjang hidup untuk membangun sebuah filosofi Kristen dengan benar dimulai dengan memeriksa seti ap komponen yang disediakan oleh Alkitab.
Mandat Pengajaran Kristen
Pengajaran Kristen bermula dari masa-masa awal manusia berada di Bumi. Allah mulai mengajar ketika Ia memberikan larangan terhadap perilaku manusia di Taman Eden. Setelah manusia jatuh dalam dosa, kebutuhan untuk mengajar meningkat. Orang tua yang taat menurunkan informasi rohani yang penting dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga Tuhan memformalkan tanggung jawab orang tua dengan memerintahkan mereka untuk mengajar anak-anak mereka (Ulangan 6). Karena hukum itu berlaku dalam sistem teokrasi, maka pelatihan rohani sangat tergantung pada keluarga, namun mendapatkan penguatan dari seluruh sistem sosial, ekonomi, politik, dan agama. Meskipun para nabi kadang-kadang dikirim ke daerah lain (misalnya Yunus), fokus pengajaran selama Perjanjian Lama tetaplah orang-orang yang tinggal di tanah Israel. Yesus Kristus-lah yang kemudian pertama kali menyuarakan gagasan untuk mengajar semua orang di segala tempat.
Amanat Agung di Matius 28 merupakan salah satu ayat Perjanjian Baru yang terpopuler dan sekaligus paling diremehkan. Dalam sejarah dunia, tak seorang pun yang pernah dengan sungguh-sungguh berusaha melakukan atau melaksanakan pengajaran secara universal. Namun, Yesus berharap para pengikut-Nya untuk memuridkan SEMUA BANGSA. Bila dianggap serius, ayat ini pasti membanjiri para guru Kristen dengan kurangnya kurikulum yang keras, guru yang terlatih secara profesional, atau biaya pendidikan yang besar. Yang cukup mengherankan, sejarah mandat ini menentukan sejarah gereja. Di mana pengajaran Kristen bertumbuh subur, di situlah gereja bertumbuh subur.
Ciri terpenting dari Amanat Agung bagi para guru Kristen berkisar pada para murid. Frasa "memuridkan" sebenarnya berarti membuat atau mengembangkan murid. Mandat utama untuk pengajaran Kristen yang Kristus berikan melibatkan lebih dari sekadar membagikan informasi. Berdasarkan ayat itu, guru Kristen harus mengembangkan murid. Para guru Kristen berjuang sampai murid-murid mereka menjadi murid Yesus Kristus.
Hampir tidak ada orang yang serius mempertanyakan panggilan komunitas Kristen untuk mengajarkan unsur-unsur pokoknya. Tetapi, kita dengan sengitnya memperdebatkan bagaimana menyelesaikan pengajaran itu. Kemampuan kekristenan untuk bertahan di bawah hampir segala jenis filosofi berbicara lebih banyak tentang Allah-nya daripada para pengajarnya. Tetapi tangan Tuhan yang turut campur tidak melepaskan kita dari mandat ilahi itu. Tepatnya, bagaimana sebaiknya kita mengembangkan para murid? Apakah kita melatih mereka di biara? Apakah kita harus membesarkan mereka di daerah pertanian? Apakah kita menyuruh mereka dalam kelompok besar atau memberlakukan komunikasi interpersonal sebagai yang utama?
Guru Kristen harus merenung cukup lama untuk memikirkan betapa kreatif Tuhan memberikan wahyu-Nya. Terlalu banyak metode mengajar yang meniru gaya-gaya tradisional yang mungkin atau mungkin tidak (bukan kreatif) mencerminkan perspektif Kristen. Karena Alkitab merupakan dokumen yang sangat proporsional, beberapa guru Kristen lebih cenderung menyampaikan penjelasan yang verbal dan proporsional tentang kebenaran yang alkitabiah. Namun, pertimbangkanlah ragam metode dan cara berbeda yang Tuhan pakai untuk menyampaikan firman-Nya.
Daftar ini bisa diperpanjang. Jelaslah bahwa Tuhan berkomunikasi dengan sangat kreatif kepada pendengar pertama-Nya. Haruskan para murid modern mendapat lebih sedikit dari itu?
Ketika kreativitas Tuhan itu benar-benar tidak dapat ditiru secara persis, maka guru bisa dan seharusnya meniru pendekatan-Nya.
Akhirnya, tentu saja, mandat pengajaran Kristen tidak hanya melibatkan kreativitas guru. Murid pun harus merespons. Para pengikut Kristus harus menaati perintah-Nya. Tidak seperti bentuk-bentuk pendidikan lain yang menekankan pada isi, perintah materi, perolehan keterampilan, dan yang lainnya, pengajaran Kristen melibatkan perlunya perubahan dalam kebiasaan hidup. Kita mengajarkan firman Tuhan bukan untuk memuaskan rasa ingin tahu, namun untuk mengubah hidup.
Mandat itu menantang kita untuk mengajar setiap orang di mana pun. Ketika Tuhan memacu kreativitas kita dengan teladan-Nya, kita mengukur keberhasilan kita melalui hidup-hidup yang kita ubahkan. Tetapi, apa yang sebenarnya harus kita capai dalam hidup orang-orang yang menjadi murid Kristus?
Tujuan Pengajaran Kristen
Di satu sisi, mandat pengajaran Kristen menanggung suatu tujuan. Mereka yang belajar tentang Tuhan harus memberikan respons positif kepada-Nya. Hampir selalu, ketika tujuan pengajaran Kristen diangkat, "kedewasaan" muncul. Asumsi kita terhadap kata kunci ini cenderung terlalu umum, dan asumsi semacam itu menimbulkan kebingungan.
Alkitab setidaknya menggunakan tiga kata yang berbeda sebagai tujuan pengajaran dan alat ukur kedewasaan. Kedewasaan harus terlihat dalam relasi, moralitas, dan teologi. 1 Timotius, Ibrani, dan Efesus menyatakan tanda-tanda kedewasaan ini dengan jelas. Banyak pasal lain yang setema dengan pasal-pasal itu. Namun, kejelasan pengungkapan dari pasal-pasal ini membuat pasal-pasal ini menjadi rangkuman yang ideal.
1 Timotius 1:5: "Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas." Untuk tujuan-tujuan kita, inti pokok dari ayat ini benar-benar jelas dan hampir tidak mengherankan. Tujuan Paulus dalam pengajarannya adalah untuk menghasilkan KASIH dalam hidup para murid. Jika kasih itu belum ada, tujuan perintah itu belum tercapai. Ayat yang sederhana ini mengikat sejumlah besar ayat dalam Perjanjian Baru. Perhatikan bagaimana pasal-pasal berikut ini menitikberatkan kasih.
Dengan kata lain, hingga seorang murid menghasilkan kasih, tugas pengajaran belumlah selesai. Tetapi apakah kasih itu?
Bahasa Inggris modern sangat mengabaikan definisi alkitabiah dengan menggunakan kasih untuk menutupi begitu banyak pengalaman yang berbeda. Tetapi karena posisi kasih yang sentral, kasih menerima perlakuan yang luas dan tepat dalam Perjanjian Baru. Sayangnya, pasal yang penting sering kali gagal menyentuh pemikiran kita. Saat kita menyebut kasih, orang-orang akan berkata, "O, ya ..." dan kemudian mengabaikan pengajarannya lagi.
Untuk menghindari jebakan itu, perhatikan apakah Anda bisa mengenali sebuah pasal dari daftar pernyataan berikut yang mencerminkan kebenaran pasal tersebut, tetapi menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menggambarkannya.
Meskipun kita dapat belajar tiga belas kata-kata yang seperti itu lagi, yang menjelaskan kasih dengan sangat tepat dalam hal perilaku, dengan tiga itu saja Anda mungkin sudah mengenali bahwa yang dimaksud adalah 1 Korintus 13. Bayangkan apa yang akan terjadi bila orang Kristen setiap hari hidup di luar tiga definisi pertama dan hanya mengukur keberhasilan atau kegagalan mereka dalam setiap hubungan berdasar pada ketidaksabaran, ketidakbaikan, dan kecemburuan!
Sebagai guru, kita tidak akan pernah puas sampai kita melihat kasih terus dibagikan dengan murah hati dalam hidup murid-murid kita. Jika melihat tingkat perceraian di antara orang Kristen, konflik pribadi yang tidak terhitung dalam gereja, dan seringnya pemisahan diri para pemimpin Kristen, dalam bidang ini saja, kita memiliki banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Tetapi kasih bukanlah satu-satunya kriteria kedewasaan yang disebutkan dalam Perjanjian Baru.
Ibrani 5:14: "Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai panca indera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat."
Penulis Ibrani menyebutkan dua hal yang menggambarkan murid yang dewasa. Pertama, mereka dapat memakan "makanan keras" dan kedua, mereka dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat karena mereka telah berulang kali melatih kepekaan moral mereka. "Makanan keras" dan "kepekaan yang terlatih" secara strategis terkait dalam ayat ini. Lagipula, firman Tuhan harus secara radikal memengaruhi pemikiran kita, sehingga kita benar-benar memikirkan pemikiran Allah. Ketika kita "memikirkan pemikiran Allah", penilaian kita terhadap berbagai hal menjadi lebih "ilahi". Ketika pemikiran kita menjadi lebih "saleh", kita menangkap perbedaan antara yang baik dan yang jahat, memampukan kita untuk membuat pilihan moral yang tepat.
Sama seperti prinsip kasih, pilihan-pilihan moral mengatur perilaku kita kepada Tuhan maupun orang lain. Tetapi, dalam analisa akhir, semua pilihan-pilihan moral berhubungan langsung kepada Tuhan karena semua dosa pada dasarnya bertentangan dengan Tuhan (Mazmur 51). Meskipun kedewasaan orang Kristen menunjukkan kemampuan untuk membuat pilihan moral yang benar, namun hal itu tidak menjamin kekebalan terhadap pilihan yang salah.
Lagi, kita tidak mencapai tujuan pengajaran Kristen hingga murid Kristus dapat terus membuat pilihan moral yang baik; hingga mereka menjadi cukup tertarik untuk menguji pilihan-pilihan hidup mereka dengan standar alkitabiah. Orang-orang tidak boleh dinilai tidak dewasa karena mereka tidak senang mendengarkan kuliah yang membosankan selama berjam-jam tentang Alkitab (meskipun kuliah itu entah bagaimana dianggap sebagai "makanan keras"). Di sisi lain, murid yang dewasa perlu memiliki rasa ingin tahu dan ketertarikan untuk mendiskusikan aspek-aspek yang rumit tentang Alkitab dan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dalam analisa akhir, kedewasaan harus diukur dengan pilihan-pilihan moral yang baik, dan untuk membuat pilihan moral yang baik diperlukan latihan. Bila krisis moral yang saat ini sedang terjadi di antara para pemimpin gereja mencerminkan kondisi umum di gereja secara keseluruhan, tentu saja tugas ini nampak sangat besar!
Di samping pentingnya kedua hal ini, kasih dan moralitas masih meninggalkan gambaran tujuan pengajaran Kristen yang belum lengkap. Kasih dan moralitas membantu kita memikirkan perilaku kita terhadap orang lain dan Tuhan. Tetapi teologi membantu kita memikirkan Tuhan sendiri. Kedewasaan Kristen menuntut stabilitas teologis.
Efesus 4:11-14, "Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus, sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan,"
Meskipun lebih panjang dari dua ayat lainnya, ayat ini berbicara tentang para guru, kedewasaan, dan pengajaran (teologi). Kata-kata Paulus tampaknya merujuk pada kepada tujuan dan hasil. Dengan kata lain, saat kita dapat mencapai tujuan kedewasaan, kita juga menuai stabilitas teologis. Keseluruhan ide ini sangat cocok dengan ayat di Ibrani yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen yang dewasa dapat memakan makanan yang keras. Apakah kita memiliki alasan untuk percaya bahwa makanan yang keras dan teologi adalah konsep yang berbeda? Para murid tidak lagi harus menjadi korban guru yang pandai bicara, persuasif, dan egois. Sebaliknya, mereka seharusnya dapat melihat maksud-maksud palsu dan pemikiran-pemikiran mereka yang tidak benar tentang Tuhan. Tugas ini tampaknya mustahil mengingat betapa banyak guru yang mempromosikan diri sendiri di televisi, radio, dan komunitas kita di mana pun. Namun demikian, pengajaran yang baik memerlukan tingkat kerumitan teologi y ang memberi kekebalan kepada para murid dari para guru seperti itu dan doktrin mereka yang salah.
Rasul Paulus juga menyatakan bahwa "pelayanan" juga merupakan hasil kedewasaan. Apakah terlalu biasa untuk mengatakan bahwa kita diajar untuk melayani? Meskipun bukan prasyarat untuk pelayanan, kedewasaan yang sejati tidak dapat dipisahkan dari pelayanan kepada tubuh Kristus.
Bila kedewasaan adalah tujuannya, bagaimana kita bisa mengukur kemajuannya? Bagaimana keadaan kita? Sudahkah kita mencapai kedewasaan itu? Bila pengikut Kristus bersedia melayani tubuh Kristus, kita seharusnya menganggap bahwa dari sikap itu, kita telah mengalami kemajuan. Menariknya, para pendeta, pekerja pemuda, para pemimpin, dan staf lain dalam pendidikan Kristen terus berjuang untuk merekrut cukup pekerja untuk pelayanan Kristen. Karena itu, pelayanan pengajaran membutuhkan penekanan yang terus-menerus.
Sebagai tujuan pengajaran Kristen, kedewasaan nampak sudah cukup jelas ketika diukur dengan kasih, moralitas, stabilitas teologis, dan pelayanan. Hal-hal tersebut sudah bukan lagi sesuatu yang baru dalam komunitas Kristen. Namun, setelah hampir 2000 tahun sejarah gereja, kita belum mencapai tujuan itu. Kebutuhan pengajaran Kristen tetap sama besarnya sampai sekarang.
Ini akan selalu menjadi masalah. Setiap generasi, setiap orang yang baru bertobat harus mulai dengan informasi yang sedikit atau tanpa informasi sama sekali dan memulai perjalanannya sekali lagi bersama Kristus. Orang Kristen yang bertumbuh sekalipun tetap membutuhkan peringatan dan dorongan ketika mereka bergerak ke arah kedewasaan. Masyarakat yang teknologinya semakin maju tidak mengurangi kebutuhan ini. Murid-murid Yesus masih membutuhkan pengajaran dan guru! (t/Ratri)
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK