Salah satu kegiatan besar yang dilakukan Komisi Anak menjelang Natal adalah mempersiapkan kado untuk setiap anak sekolah minggu. Absensi direkap dan dibuatlah kategori kesetiaan. Ya, kesetiaan dalam tanda kutip, sih, karena indikatornya hanya kehadiran di kelas sekolah minggu. Siapa yang berada pada kategori "paling setia", merekalah yang mendapat kado paling istimewa.
Setelah masing-masing guru mendapat dana sesuai plafon yang telah ditentukan, mereka pun berburu kado yang paling tepat dengan kebutuhan, usia, dan -- syukur-syukur, kalau masih bisa diusahakan -- karakter tiap-tiap anak. Dengan harapan, setiap anak akan puas dengan hadiah yang diperoleh, dan itu menambah semangat mereka untuk rajin ke sekolah minggu. Namun, seperti apa kado yang dipilih, berpulang pada kreativitas dan seberapa "gigih" usaha yang dilakukan oleh setiap guru.
Dulu, saat aku ikut sekolah minggu, aku pernah mendapat hadiah Natal yang bagiku terasa istimewa. Satu set alat tulis yang desainnya begitu bagus, baru, dan unik (apalagi waktu itu aku paling suka mengoleksi alat tulis yang bagus). Aku belum pernah melihatnya di toko-toko, di kotaku yang kecil. Tak satu pun teman sekolahku memiliki barang seperti itu. Begitu senangnya aku menerima kado itu, sehingga aku menyimpannya dengan rapi dan memakainya dengan begitu hati-hati. Mungkin, itulah barang paling berhargaku saat itu! Begitu pula dengan teman-teman sekelasku kala itu. Mereka menceritakan betapa senangnya mendapat kado yang sangat mereka sukai. Kesan betapa istimewanya kado itu terus terpatri dalam ingatanku.
Bertahun-tahun sesudahnya, setelah aku sendiri menjadi guru sekolah minggu, aku baru tahu dari mana guru kelasku membelikan barang-barang bagus itu. Ternyata mereka menyempatkan diri pergi ke Jakarta, khusus untuk membeli kado Natal! Wah, aku cukup terkejut mendengarnya. Pasalnya, guru-guru kelasku itu bukan orang-orang yang mudah dan kerap bepergian. Mereka adalah para ibu rumah tangga. Yang seorang membuka usaha rumah makan yang tak terlalu besar, yang seorang lagi berjualan makanan kecil di rukonya. Apalagi mereka juga ibu yang mesti bertanggung jawab mengurus suami dan anak-anaknya.
Untuk pergi ke Jakarta yang berjarak 12 jam perjalanan dengan mobil dari kota tinggalku (pesawat belum merupakan pilihan yang mudah dan murah waktu itu), berarti mereka harus benar-benar menyempatkan diri. Tentu, mereka harus menyiapkan keluarga dari jauh-jauh hari. Tentu, mereka harus membiayai sendiri perjalanan pulang pergi ke Jakarta dan semua pengeluaran selama di sana. Tentu, mereka harus mengorbankan penghasilan beberapa hari dengan menutup rumah makan atau toko selama mereka pergi. Bukan itu saja! Ternyata mereka masih harus tombok lagi dari kocek pribadi, karena hadiah yang mereka pilih lebih mahal dari plafon yang telah ditentukan gereja!
Bercermin pada apa yang mereka lakukan bagi pelayanan, aku belajar memahami apa artinya memberi yang terbaik. Sebenarnya, siapa sih yang menyuruh mereka tutup toko dan kehilangan laba yang mestinya mereka peroleh? Siapa sih yang menuntut mereka pergi ke kota yang jauh dan menghabiskan banyak tenaga dan dana? Siapa sih yang meminta mereka berpikir keras mencari kado paling tepat, sehingga setiap anak puas? Siapa sih yang minta mereka tombok?
Tuhan, ampuni aku bila terkadang aku masih suka "berhitung" dengan-Mu saat mesti berkorban bagi pelayanan. Aku tahu, aku tak layak melakukannya karena Engkau telah memberiku terlalu banyak. Berilah aku hati seperti guru-guruku tercinta, sehingga aku takkan ragu atau takut untuk berkorban dan memberi diri bagi pelayanan.
"Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah." (Filipi 1:22)
Diambil dari:
Judul buku | : | Loving Kids Like Jesus |
Judul artikel | : | Berhitung dengan Allah? |
Penulis | : | Agustina Wijayani |
Penerbit | : | Gloria Graffa, Yogyakarta 2007 |
Halaman | : | 30 -- 33 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK