Alkitab dan Keluargaku


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Entah bagaimana jadinya kalau keluarga kami hidup tanpa Alkitab; sulit saya membayangkan. Barangkali saya dan kakak kandung saya, seorang pendeta, tidak akan menjadi hamba Tuhan penuh waktu. Mungkin dia sedang giat-giatnya praktik sebagai dokter dan saya sedang sibuk mengawasi bengkel alat-alat elektronik. Itu yang dulu kami dambakan. Kakak bercita-cita menjadi seorang dokter dan saya masuk sekolah teknik listrik untuk menjadi sarjana tehnik. Maklumlah keluarga kami waktu itu adalah keluarga yang kurang mampu, sehingga hanya kami bertiga, saya dan dua orang kakak, yang mengenyam pendidikan tinggi. Kakak-kakak yang lain rela tidak bersekolah. Mereka membuka warung dan menjadi sopir taksi untuk membiayai kami. Keluarga kami jatuh miskin karena pada zaman penjajahan Jepang, kami yang tinggal di desa Tlogowungu Pati, sempat dirampok dan rumah kami dibakar sebanyak dua kali. Maka, keluarga kami mengungsi ke kota Pati dan ayah merintis usaha bengkel sepeda karena tidak membutuhkan modal yang besar. Bertepatan di depan rumah kami, ada lapangan sepak bola Pragolo, sehingga kami bisa mendapat uang tambahan dengan menjadi tukang parkir sepeda (waktu itu belum ada sepeda motor, dan sepeda pun harus dikenakan biaya khusus yang disebut "peneng" [1]).

Begitu hebatnya peran Alkitab dalam keluarga ayah saya, sehingga kami, anak, dan cucunya pun mengikuti teladannya. Kami menempatkan Alkitab sebagai pedoman dalam keluarga kami. Apa jadinya keluarga kami bila tidak berpedoman pada Alkitab. Bisa saja ada dari anak kami yang terlibat pergaulan bebas atau narkoba. Puji Tuhan, anak-anak, menantu, dan cucu-cucu semua rajin ke gereja. Mereka pun aktif dalam pelayanan, baik di dalam maupun di luar negeri. Meskipun negara Amerika dikenal sebagai tempat yang "bebas moral", syukur, anak-anak yang berada di sana baik-baik saja.

Keteladanan Orang Tua

Semuanya diawali oleh teladan dan disiplin dari orang tua saya. Tidak ada cara mendidik anak yang seampuh keteladanan dan disiplin orang tua.

Sedikit latar belakang dari ayah saya. Sejak kecil beliau hidup sebatang kara, terpisah dari keluarga karena bencana gunung berapi. Dari Jember, Lumajang, merantau sampai ke Semarang, Kudus dan menetap di desa Tlogowungu Pati. Sewaktu di Semarang, ayah saya yang latar belakangnya memeluk kepercayaan Tionghoa sering melihat di klenteng ada banyak patung dewa-dewi, seperti dewa langit, dewa laut, dewa bumi, dewa dapur, dst.. Secara nalar ayah saya berpikir, "Seandainya mereka ini saya adu, mana yang paling hebat. Yang berkuasa di surga dan bumi, harus ada. Tetapi siapa namanya?" Dengan kata lain, ayah saya sudah percaya monoteisme, tapi tidak tahu siapa nama-Nya. Sampai John Sung, seorang penginjil Tiongkok, melalui timnya memberitakan Injil ke desa Tlogowungu. Waktu itu dijelaskan bahwa menurut Matius 28:18, "Yang berkuasa di surga dan di bumi adalah Yesus". Itulah Nama yang selama ini ia cari, maka ayah saya mau menerima Kristus. Sejak itu hidupnya sungguh mengalami perubahan yang luar biasa. Seterusnya, beliau mendidik anak dan cucunya secara Kristen.

Bagi ayah, Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru [2] -- waktu itu masih mahal dan langka, disebut "Kitab Wasiat yang Lama" dan "Kitab Wasiat yang Baru"" -- benar-benar dihargai ayah saya sebagai "wasiat", [3] sehingga diberi sampul kulit yang bagus dan dibaca siang dan malam. Begitu cintanya ayah saya dengan Alkitab ini, Alkitab merupakan barang yang terlebih dahulu diselamatkan dari kobaran api, sewaktu rumah kami dijarah dan dibakar.

Kecintaan ayah akan Alkitab ini ditularkan kepada anak-anaknya untuk bersaat teduh tiap hari dan membaca Alkitab secara urut. Untuk mendisiplin kami, setiap tahun ayah memesan khusus ke Lembaga Alkitab Indonesia daftar bacaan Alkitab. Setiap hari kami harus menandai setiap kotak ayat yang sudah kami baca. Sekarang kita patut bersyukur karena sudah tersedia berbagai buku panduan saat teduh yang menarik, bukan sekadar daftar bacaan Alkitab. Bahkan ada edisi khusus untuk pemuda, remaja, dan anak-anak.

Begitulah kami dididik untuk memperlakukan Alkitab dengan hormat. Pertama, mengerti atau tidak, kami dilatih untuk mencintai "firman Tuhan". Bahkan meskipun waktu itu saya belum mengerti, bagaimana sebuah buku bisa disebut firman Tuhan. Kedua, kami dilatih untuk percaya bahwa Alkitab itu adalah "wasiat, wahyu dari Allah". Kami harus menaatinya dan pasti diberkati. Meskipun ayah tidak mampu menjelaskan Alkitab sesuai kemampuan kami, tapi kami anak-anaknya sulit untuk membantah karena melihat keteladanan dan perubahan hidup ayah, berikut kecintaannya akan gereja yang luar biasa dan nyata. Beliau yang dulu suka berjudi dan sabung ayam serta perokok berat telah berubah total.

Akhirnya kami mengerti, Alkitab adalah firman Tuhan yang menjadi "pedoman hidup" manusia. Sungguh relevan apa yang dikatakan Paulus kepada Timotius, sebagai hamba Tuhan yang muda, dalam 2 Timotius 3:15-17 dan 2 Timotius 1:15.

Iman Timotius juga dibentuk dan diturunkan dari nenek dan ibunya.[4] Seperti Timotius, saya menjadi "hamba Alkitab" yaitu hamba Tuhan yang memberitakan firman-Nya berkat keteladanan ayah saya.

Kebiasaan membaca firman Tuhan kami lanjutkan juga kepada anak-anak kami. Kami menganjurkan kepada anak-anak untuk melakukan saat teduh pribadi setiap hari, dan juga berusaha melakukan ibadah keluarga bersama-sama, walaupun tidak setiap hari. Ibadah keluarga berbeda dengan saat teduh pribadi.

Kami menempatkan Alkitab sebagai pusat kehidupan kami, sebagai pedoman dan otoritas tertinggi dalam mengambil keputusan. Untuk itu, saya membelikan masing-masing anak satu Alkitab, termasuk anak yang belum bisa membaca pun saya belikan yang kecil bergambar. Mengapa? Agar jangan sampai ada kesan dibeda-bedakan, sebaliknya menanamkan rasa memiliki dan bangga serta mencintai Alkitab. Belajar mencintai "bukunya" dulu sebelum mencintai firman Tuhan. Saya sendiri begitu mencintai Alkitab, sehingga bertahun-tahun saya sekolah Alkitab. Saya senang mengoleksi Alkitab dari berbagai bahasa dan versi, juga dari berbagai bentuk. Dari yang besar sampai yang sekecil ibu jari, saya punya.

Kami mendisiplin dengan menyadarkan bahwa doa dan membaca firman Tuhan bukan saja keharusan tetapi kebutuhan, seperti bernafas. Awal kami melakukan saat teduh ada perasaan terpaksa, akan tetapi lama-kelamaan menjadi terbiasa dan seterusnya sukacita. Bahkan, rasanya tiada damai atau ada sesuatu yang hilang kalau tidak melakukan saat teduh sehari saja. Mirip seperti memakai sepatu baru, awalnya tidak merasa enak, terpaksa, tapi lama-kelamaan biasa dan senang memakai sepatu yang baru itu.

Ada peristiwa lucu. Pada suatu hari, waktu kami sedang menonton siaran "Dunia dalam Berita", tiba-tiba si Benny, yang saat itu masih 3 tahun, maju ke pesawat televisi dan menekan tombol "off" sambil bergumam: "Lenungan ... lenungan ...." (maksudnya: renungan ... renungan). Terus terang waktu itu saya agak jengkel. Tapi dengan menahan rasa malu, saya tidak berani menghidupkan TV lagi, sebaliknya membenarkan sikap anak kami ini dengan mengambil Alkitab dan buku nyanyian. Hari itu kami memang belum melakukan ibadah keluarga. Betapa mengucap syukurnya kami selaku orang tua, telah berhasil mendisiplin anak-anak kami untuk ibadah keluarga, dan ini jauh lebih penting dari berita dunia yang saya bisa baca lewat koran atau tanya teman. Ya, ada waktunya kita belajar dari anak-anak, termasuk belajar soal doa dan iman.

Biasanya dalam ibadah keluarga, kami membagikan pokok-pokok doa. Saya terharu pada waktu anak kami yang kedua, Geoffrey, dia meminta kami berdoa untuk Engkong Liem yang sakit pada bagian ibu jarinya. Saya sendiri kurang memerhatikan. Namun, pagi sebelumnya waktu saya mengajak Geoffrey main ke rumah Engkong Liem, memang jempolnya sedikit luka dan dibalut. Anak pertama kami, Chris, minta didoakan agar burung betetnya yang sudah hilang selama 2 hari bisa kembali beserta rantainya yang bagus. Anehnya, besoknya betet itu kembali masih lengkap dengan rantainya. Seandainya betet tidak kembali pun kami belajar bahwa doa selalu dijawab Allah walaupun tidak selalu dikabulkan. Saya, yang hamba Tuhan, diajar untuk tidak meremehkan iman dan doa anak-anak.

Bagaimana Kami Memperlakukan Alkitab

Kalau firman Tuhan diumpamakan sebagai senjata Allah atau pedang Roh, maka harus dipegang dengan kelima jari agar tidak mudah dicuri iblis. Kelima jari itu adalah: kelingking (yang sering kita gunakan untuk mengorek telinga, agar bisa mendengar dengan baik) melambangkan mendengar firman; jari telunjuk melambangkan membaca; jari tengah (biasanya untuk mencicip makanan) melambangkan mempelajari; jari manis bercincin (mengingatkan hubungan kita dengan kekasih) lambang merenungkan; dan jempol/ibu jari (yang sering kita gunakan untuk menekan tombol "start" pada kendaraan motor) melambangkan melakukan firman Tuhan. Dengan lambang kelima jari ini, kita senantiasa diingatkan bagaimana seharusnya kita memperlakukan Alkitab agar tidak bosan, sebaliknya tertarik dan mendapat "rhema" [5], yaitu: mendengarkan; membaca; mempelajari; merenungkan, dan melakukan.

"Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku Firman dan bukan hanya pendengar saja sebab jika tidak demikian, kamu menipu diri sendiri." (Yakobus 1:22)

Bagaimana Alkitab Memperlakukan Kami

Pertama, Alkitab menyatukan keluarga kami dalam kebersamaan melalui mezbah keluarga. Yang penting bukan berapa seringnya, tetapi betapa baiknya. Kami memuji Tuhan bersama, berdoa bersama, dan berdiskusi bersama sekitar firman Tuhan. Tidak heran, Dr. Pitram Sorokin dari Universitas Havard menemukan melalui surveinya bahwa hanya satu pasang suami istri yang bercerai, dari 1015 pasang suami istri yang melakukan mezbah keluarga. Juga benar kata-kata hikmat ini:

"Keluarga yang berdoa dan beraktivitas bersama akan selalu bersama selamanya." (Family who pray together and play together will stay together.)

edua, Alkitab merupakan otoritas tertinggi dan objektif dalam menegur dan menasihati kami. Sering kali baik anak maupun orang tua, tidak mudah menerima nasihat dari orang lain; namun tidak demikian terhadap firman Tuhan yang berotoritas.

Ketiga, Alkitab yang dibaca kapan saja dan di mana saja membuat masing-masing kita takut akan Tuhan, sepertinya Ia hadir dan mata-Nya selalu mengawasi kita. Inilah yang membuat kami mantap melepaskan anak-anak untuk bersekolah di mana pun. Saya jadi ingat, satu peristiwa waktu saya besoknya akan berangkat sekolah di luar kota; ayah memanggil saya, katanya: "Sini, saya doakan. Ingat kamu sudah dewasa dan mulai besok Papa Mama tidak mungkin lagi mengawasimu. Kamu akan bebas melakukan apa saja, dan mungkin bisa melupakan kami. Papa cuma pesan satu saja, kamu jangan lupa ke gereja." Ayah saya ternyata orang yang bijaksana, mana mungkin saya lupa papa dan mama kalau saya selalu ke gereja karena di gereja selalu dibacakan Alkitab, "Hai anak-anak, taatilah dan hormatilah orang tuamu di dalam Tuhan." Lihat, begitu ampuhnya Alkitab itu memperlakukan kami.

Keempat, Alkitab memberi saya bekal dan memperlengkapi saya untuk menjadi hamba Tuhan. (2 Timotius 3:15-17)

Alkitab memberi saya hikmat, menuntun saya, memberi manfaat/bahan untuk mengajar, untuk menyatakan/ menemukan kesalahan, memperbaiki kelakuan, mendidik dalam kebenaran, dan memperlengkapi saya sebagai hamba Tuhan untuk melakukan perbuatan dengan baik.

Dahulu sebelum saya menikah dan berumah tangga sering merasa rendah diri. Dari mana saya yang kecil dan muda ini mendapat wibawa dan bahan yang benar untuk berkhotbah dan berceramah tentang keluarga dan berbagai masalah kehidupan? Alkitablah buku teks saya dan Alkitablah sebagai otoritas tertinggi untuk membongkar masalah, untuk mengoreksi, dan untuk mengajarkan kebenaran.

Lagi-lagi Alkitab, lagi-lagi Alkitab, begitu tekunnya keluarga kami memperlakukan Alkitab, dan sebaliknya betapa hebatnya Alkitab memperlakukan kami. Benar-benar, Alkitab adalah "wasiat bagi keluarga". Saya tidak kecewa menjadi hamba Tuhan untuk memberitakan firman Tuhan seumur hidup saya.

Sewaktu Michaelangelo -- pelukis dan pemahat terkenal Italia -- menandatangani kontrak untuk melukis pada kubah gereja yang begitu tinggi, teman kerjanya dengan ragu bertanya, "Engkau jadi menerima pekerjaan ini? Kalau engkau dan aku terpeleset jatuh matilah kita!" Tetapi Michaelangelo menjawab, "Aku rela mati demi meninggalkan karya yang besar." Begitu hebatnya komitmen Michaelangelo ini; tetapi apa itu karya yang besar? Seorang filsuf terkenal abad XX, William James menjawab: "Karya yang besar adalah karya yang abadi." Tapi apa itu yang abadi? Lukisan bisa rusak dan dicuri atau dipalsukan orang.

Maka Tuhan Yesus yang akhirnya menjawab:

"Langit dan bumi akan lenyap, tetapi Firman-Ku yang tinggal tetap." (Lukas 16:17)

Saya bersyukur dan bangga karena tidak salah memutuskan untuk menjadi hamba Tuhan yang memberitakan firman-Nya yang kekal dan abadi. Inilah karya yang BESAR. Amin!

Catatan:

[1] Tanda kepemilikan dan bayar pajak sepeda.

[2] Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

[3] Wasiat adalah peninggalan berharga dari nenek moyang, dan sering dikeramatkan.

[4] Mungkin ayah Timotius belum Kristen.

[5] Rhema yaitu firman Hidup yang aplikatif, subjektif, dan relevan.

Bergabunglah dalam Facebook BA: http://fb.sabda.org/binaanak

Diambil dan disunting seperlunya dari:

Judul Artikel : Andreas Christanday
Situs : http://christanday.com/142-alkitab-dan-keluargaku (Christanday Ministries)

Kategori Bahan PEPAK: Pengajaran - Doktrin

Sumber
Judul Artikel: 
Andreas Christanday

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar