Pengantar
Disiplin merupakan salah satu kebutuhan dasar anak, dalam rangka pembentukan dan pengembangan wataknya secara sehat. Tujuannya ialah agar anak dapat secara kreatif dan dinamis mengembangkan hidupnya di kemudian hari. Kalau orangtua mengasihi anaknya maka mereka juga harus mendisiplinnya. Kasih dan disiplin harus berjalan bersama-sama secara seimbang. Dalam perkataan lain, kasih tanpa disiplin mengakibatkan munculnya rasa sentimen dan ketidak pedulian. Sebaliknya, disiplin tanpa kasih merupakan tindakan kejam (tirani).
Banyak orangtua, karena berbagai alasan termasuk kesibukan, tidak mempunyai pemahaman dan pengertian, mengabaikan kebutuhan anak dalam disiplin ini. Akibatnya di kemudian hari anak memberontak, sulit dikendalikan, mencari perhatian secara berlebihan. Orangtua demikian tentu akan mengalami konflik berkesinambungan dengan anaknya, bahkan tidak jarang yang mengalami kekecewaan dan perasaan terluka. Oleh karena itulah bahasan kita mengenai disiplin ini amat perlu, selain menjadi masukan dalam pelayanan juga menjadi alat refleksi bagi diri kita sendiri.
Dasar Teologis Disiplin
Pentingnya disiplin orangtua bagi anaknya bukan saja karena alasan sosiologis dan psikologis, tetapi juga karena pemahaman teologis. Keterangan singkat berikut ini akan menjadi pertimbangan bagi kita.
Dalam Perjanjian Baru, Penulis kitab Ibrani menyatakan bahwa Allah mendisiplin umatNya agar bertaat kepadaNya. Ia menyatakan disiplin sebagai bukti kasihNya (12:5, 6) meskipun pada mulanya mendatangkan dukacita (12:10, 11)
Yesus pun menyatakan agar murid-muridNya belajar hidup secara
tertib dalam arti memelihara kesucian hidup agar senantiasa merasakan
kehadiran Allah (bd.
Dalam Kisah Para Rasul tampak sekali bagaimana sikap dan tindakan
Roh Kudus dalam menegakkan disiplin. Ingatlah kasus Ananias dan Safira
karena ingin "mencari nama dan muka" lalu berdusta kepada rasul Petrus
(
Surat Paulus kepada jemaat di Korintus cukup banyak menyinggung masalah disiplin hidup, agar mereka tertib dalam kehidupan bersama, kehidupan persekutuan, kehidupan memelihara tubuh dan sejenisnya. Dia mengajak jemaat untuk terus sadar bahwa Roh Kudus mendiami mereka sehingga mereka menghindarkan diri dari segala godaan mencemarkan diri (3:16; 6:19-20). Mereka harus menertibkan cara berpikir mereka sendiri agar tetap memelihara suara hati yang jernih di dalam mengambil keputusan dalam hidup bersamaan dengan orang lain (8:1-3). Mereka harus mengendalikan diri dalam ibadah agar tidak menonjolkan diri, mencari kemuliaan diri sendiri sehingga firman Allah tidak diberitakan sebagai mana mestinya (12-14).
Tugas orangtua
Paul Meier (1982) menegaskan bahwa karena pentingnya disiplin bagi
anak, Kitab Amsal saja menuliskan beberapa nats mengenai tugas orangtua
untuk mendisiplin anaknya (13:24; 19:18; 22:6; 22:15;23:13; 29:15, 17).
Ditambahkan pula oleh Meier bahwa ayah harus mendapat tempat sebagai
kepala rumah tangga; dan ibu sebagai pendampingnya (bd
Rasul Paulus juga menyatakan tekanan yang sama dalam surat
kirimannya (
Dalam hal apa sajakah orangtua membantu anak hidup tertib, teratur dan memiliki rasa tanggung jawab? Jawabnya, dalam segala aspek kehidupan, antara lain:
Disiplin dengan tegas dan kasih sayang
James Dobson merupakan tokoh pendidikan anak yang terkenal dalam mengemukakan berbagai prinsip efektif bagi orangtua di dalam mendisiplinkan anak. Buku-bukunya yang mengemukakan gagasan disiplin ini ialah "Dare To Disciplin" (Berani Mendisiplin) (1970) dan "Disiplin With Love (1983). Menurut Dobson, tujuan disiplin bagi anak ialah agar mereka dapat belajar bagaimana cara hidup bertanggung jawab. Prinsip Dobson yang dituangkan dalam karyanya "The New Dare to Disciplin" (1992) adalah sebagai berikut:
Menurut Dobson, kalau anak sudah berusia sembilan tahun tidak tepat lagi memukulnya dibagian pantat, atau mengenakan hukuman fisik pada bagian tubuh lainnya, tetapi paling-paling menekan bagian tertentu dari bahunya untuk menyadarkan dirinya bahwa ia bersalah.
Sekalipun demikian Dobson juga mengemukakan bahwa untuk mendisiplin anak, kita dapat memperkuat sikap dan perilaku positif dengan jalan menghargainya. Kalau ada hal positif, yang patut dipuji yang diperbuat anak, ia patut mendapat sanjungan orangtua. Prinsip ini disebut "reiforcement". Hal ini dilakukan dengan memberikan hadiah karena ia berbuat baik. Prinsipnya antara lain adalah sebagai berikut:
Perkara lain yang harus diperhatikan dalam membangun sikap disiplin pada diri anak ialah prinsip kerjasama. Untuk menimbulkan rasa tanggungjawab dalam diri anak, orangtua perlu menyatakan keinginannya kepada anak. Bahwa orangtua meminta pendapat atau meminta tolong kepada anak tidak salah, justru dapat membuat anak merasa berharga. Apalagi kalau anak itu sudah berusia diatas lima tahun (TK atau SD).
Kemudian orangtua dapat mengajak anaknya melakukan apa yang direncanakan bersama-sama. Dengan begitu orangtua memberikan contoh dihadapan anaknya. Selanjutnya, orangtua perlu memberikan tugas bagi anak, agar ia mengerjakannya. Jika ada kesalahan, orangtua memberikan koreksi dan kesempatan kedua. Jika anak berhasil maka anak layak mendapat pujian dan penghargaan. Bisa melalui hadiah material dan bisa pula dengan pujian bahwa anak itu hebat, pintar, dan sejenisnya. Hal ini dapat diterapkan dalam kegiatan belajar, kegiatan ibadah dan doa, kegiatan membersihkan rumah, mencuci piring, pakaian, dll. (Parents & Children, ed. Jay Kesler, 1986; The Enycyclopedia of Parenting, 1982).
Masalah nilai budaya
Salah satu persoalan yang tidak biasa kita pungkiri ialah pengaruh nilai budaya terhadap kehidupan orangtua yang selanjutnya memberi dampak bagi pendisiplinan anaknya. Biasanya pengaruh dan gaya disiplin yang diperoleh orangtua dari keluarga asalnya (family of origin) ikut serta terefleksi dalam pendidikan dan pembinaan anaknya.
1. Boleh saja (permisif). Ada orangtua yang tidak mendisiplin anaknya, sehingga di rumah anak bebas melakukan apa saja, tanpa peraturan dan pedoman atau batasan (boundary) yang jelas. Hal demikian terjadi karena orangtua sibuk, lemah dan kurang pemahaman mengenai pendidikan anak secara baik.
2. Kekuasaan. Ada orangtua yang amat menekankan sikap otoriter terhadap anaknya; banyak larangan; sehingga anak takut dan merasa tidak bebas untuk berkreasi; takut berbuat kesalahan dan mencoba memperbaikinya. Anak yang diancam oleh orangtua namun tidak pernah terlaksana ancaman itu, bisa membuat anak memandang rendah wibawa mereka. Bisa saja anak memandang orangtuanya sebagai "pembohong".
3. Hierarkhis. Ada orangtua yang takut mendisiplin anaknya karena kehadiran nenek atau kakek. Campur tangan kakek atau nenek dalam mendisiplin anak pada dasarnya menghambat anak memiliki konsep yang benar mengenai ayah atau bapak. Anak demikian akan manja, tidak punya pendirian yang baik. Sebaliknya pengaruh kakek atau nenek bagi anak harus diminimalkan oleh kehadiran ayah dan ibu di tengah-tengah rumah tangga.
4. Penumbuhan rasa malu dan takut. Ada orangtua yang terus mengumandangkan istilah "Kamu nggak tahu malu!?" bagi anaknya yang berlaku tidak sopan. Ada pula yang menakut-nakuti anak agar berperilaku baik seperti takut kepada polisi, dokter, dll. Model demikian cukup sering kita temukan ditengah-tengah masyarakat. Disamping membawa hasil baik, hal demikian tentu saja membawa pengaruh negatif. Anak kurang diajak berpikir rasional.
5. Pengaruh pembantu rumah tangga. Di perkotaan sudah banyak orangtua yang karena sibuk maka pembinaan anak ditangani oleh pembantu rumah tangga. Banyak pembantu rumah tangga tidak mempunyai ketrampilan dalam pembinaan dan disiplin anak, disamping mempunyai motif ekonomis saja dalam menunaikan tugasnya. Pada umumnya anak yang diasuh dan dibesarkan oleh pembantu cenderung nakal, tidak tertib kerena pembantu rumah tangga tidak mampu mengendalikan secara kreatif.
Bahan bacaan:
Drehner, John
1992 Tujuh Kebutuhan Anak. Jakarta:BPK
Dobson, James
1992 New Dare To Discipline. Baker.
1997 Kendalikan Selagi Mampu (Terj.) Bandung: Kalam Hidup.
Kesler, Jay
1986 Parents & Children. Victor Books.
Meier, Paul D.
1977 Christian Child-Rearing and Personality Development. Baker.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK