"Mari kita berdoa!" rekanku mengucapkan kata itu dengan lantangnya di depan murid-muridku yang sudah siap sedia mengikuti ibadah di kelas sekolah minggunya yang mungil.
Aku sudah siap-siap menutup mata pula saat aku terpancing dengan gerakan cepat seorang bocah kecil yang langsung menutup seluruh wajahnya dengan tangan mungilnya. Jari-jarinya tidak rapat dan kulihat bola matanya bergulir ke sana kemari dari sela-sela jemarinya. Aku berdiri agak jauh dari mereka dan leluasa mengawasi mereka. Ada lagi yang terang-terangan mendongakkan kepalanya ke atas, dengan mata terbuka, seolah-olah di langit-langit kelas yang hanya tergantung satu alat penerang itu ada banyak benda yang menarik. Wah lebih parah lagi, ada anak yang saling berpandangan dari balik jemarinya dan saling menuding, seolah berkata, "Ayo, kamu gak berdoa ya ...!"
Melihat polah mereka di luar ajaranku mengenai sikap doa yang benar aku bersiap-siap menghampiri mereka. Aku ingin melakukan kebiasaanku dan rekan-rekanku yang lain saat melihat anak-anak itu bersikap tidak benar dalam berdoa. Ya, aku ingin mencolek mereka, dan berbisik untuk meminta mereka berdoa dengan benar. Atau mungkin bisa saja aku memelototi mereka yang tidak berdoa itu.
Saat akan melangkah, ada suara kecil, "Hei, ngapain kamu? Kamu mau mengatakan pada anak-anak itu bahwa kamu juga tidak berdoa dengan sikap yang benar? Kamu mau jadi hakim bagi mereka untuk kesalahan yang juga kamu lakukan?"
Aku tidak jadi melangkah. Iya ... ya ... aku kok malah jadi mata-mata ya .... Seharusnya aku bisa mengajarkan lebih baik lagi dengan memberikan contoh sikap doa yang benar dalam setiap acara doa di kelasku. Bukan hanya dengan kata-kata dan perintah kepada mereka. Aku sendiri harus memberi contoh buat mereka. Jangankan jadi contoh, lihat aja aku sekarang sedang tidak berdoa, tapi malah terang-terangan membuka mata, tidak ada tundukan kepala, dan tangan ku tidak aku lipat. Padahal sekarang ini lagi acara doa.
"Amin!" rekanku mengakhiri doanya dan melanjutkan acara.
Aku masih memikirkan diriku yang tadi hampir jadi hakim. Satu imajinasi lucu muncul di kepalaku. Seandainya tadi aku memutuskan untuk mencolek atau menegur mereka dan menyuruh mereka berdoa dengan benar, bisa saja mereka berbisik kepadaku dan berkata, "Aku kan bantuin Kakak liatin temen-temen yang gak berdoa." Andaikan itu bukan imajinasi, tapi kenyataan, wuaahhh ... mungkin aku mau minta cuti dulu jadi guru sekolah minggu.
Sepertinya ini saat dimana aku harus putuskan berhenti jadi mata-mata acara doa nih. Aku tidak mau berdiri jauh-jauh lagi dari mereka, tetapi berdiri dekat mereka. Aku mau saat mata kecil mereka mengembara sendiri saat acara doa sedang berlangsung, dia bisa melihat guru-gurunya melakukan sikap doa yang benar. Aku mau dengan contoh nyata, pengajaran yang kami berikan lewat bibir kami tidak sia-sia dan mereka dapat semakin mengerti apa yang kami ajarkan.
Anak-anak menangkap hanya 30% dari apa yang mereka dengar dan 70% dari apa yang mereka lihat. Jadi kalau hari ini di kelas masih ada anak yang suka curi-curi pandang waktu berdoa, mungkin itu berarti masih ada guru yang berprofesi ganda sebagai mata-mata saat acara doa.
Jadi, siapa yang menyusul saya untuk pensiun jadi mata-mata?
Solo, 7 Agustus 2006
URL: http://www.sabdaspace.org/mata_mata
Oleh: Love
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK