Hari kematian Yesus di kayu salib, yang dalam ruang lingkup gereja diperingati sebagai Hari Jumat Agung memiliki makna yang amat dalam dan mendasar bagi umat kristiani. Hari Jumat Agung diperingati oleh gereja-gereja di seluruh dunia dengan penyelenggaraan Perjamuan Kudus. Warga gereja yang telah dewasa dan mengaku percaya memakan roti (simbol dari tubuh Yesus) dan meneguk anggur (simbol dari darah Yesus) yang dilayankan oleh gereja pada saat upacara Perjamuan Kudus itu. Dengan memakan roti dan minum anggur, warga gereja melibatkan diri dengan Kristus yang mati dan bangkit. Melalui itu pula mereka mendapat kekuatan baru dan dikuduskan untuk mampu bergumul di tengah-tengah pergulatan dunia dengan aneka cobaan dan tantangan. Alkitab mendeskripsikan dengan amat jelas dan lugas kesengsaraan yang dialami Yesus hingga saat-saat kematiannya.
Dari pengungkapan Alkitab, kematian Yesus di kayu salib bukanlah
sesuatu yang tiba-tiba saja terjadi. Jalan sengsara dan kematian
adalah sesuatu yang memang menjadi alternatif yang dipilih oleh
Yesus sendiri, dan bayangan seperti itu telah sejak awal Ia
nyatakan. Itulah sebabnya Yesus menolak dengan tegas ketika murid-
murid berupaya untuk mengurung diri-Nya dalam tenda di gunung
kemuliaan (
Sinisme, hujatan, dan cemooh dari banyak orang mewarnai penderitaan
Yesus di kayu salib. Mahkota duri ditaruh di atas kepala-Nya,
sebatang buluh diletakkan pada tangan kanan-Nya, lalu orang-orang
mengejek, meludahi, dan memukul kepala Yesus dengan buluh
(
Penderitaan dan kesengsaraan Yesus semakin lengkap ketika orang-
orang yang lewat di sekitar salib itu mengejek Dia: "Jika Engkau
Anak Allah, turunlah dari salib itu! Orang lain diselamatkan tetapi
diri-Nya sendiri tak dapat Ia selamatkan" (
Yesus tidak menyerah kalah oleh sinisme, cemooh, dan hujatan. Ia
tegar dan konsisten. Pilihan-Nya tidak berubah karena jalan kematian
mesti ditempuh supaya manusia mengalami perspektif masa depan.
Kematian Yesus adalah kematian yang real dan faktual, bukan maya
atau hanya ada dalam dunia ide. Ia merasakan kesepian dan
kesendirian ketika berhadapan dengan kematian, sehingga kemanusiaan-
Nya mengaduh: "Allahku, Allahku mengapa Engkau meninggalkan Aku?"
(
Kematian Yesus menginspirasikan beberapa hal kepada kita yang tengah menghidupi kekinian dunia. Pertama, Yesus mengajarkan bahwa keberpihakan terhadap manusia dan komitmen untuk memberi perspektif masa depan baru bagi manusia adalah segala-galanya. Keberpihakan dan komitmen itu tidak berhenti pada slogan, jargon, dan program, tetapi sesuatu yang real dan operasional, sesuatu yang bersifat action, walaupun untuk mewujudkannya kita mesti menderita, kehilangan segala-galanya, bahkan kehilangan diri sendiri.
Kedua, Yesus tidak sekadar menjadi guru yang menunjukkan dan mengajarkan sesuatu, tetapi sekaligus menjalani dan mempraktikkan apa yang Ia ajarkan itu. Tidak ada ambivalensi dan dikotomi antara perkataan dan tindakan Yesus; keduanya bersifat integral dan menyatu. Apa yang Ia ajarkan, itu juga yang Ia lakukan.
Ketiga, peristiwa Jumat Agung menginspirasikan kepada kita betapa Yesus sangat memperhatikan seluruh umat manusia tanpa mempertimbangkan siapa manusia itu. Yesus benar-benar mempraktikkan sikap hidup inklusif di tengah-tengah pelayanan-Nya. Kematian-Nya di kayu salib ditujukan bagi semua umat manusia, bukan hanya untuk sekelompok orang. Sikap inklusif seperti ini harus menjadi nada dasar serta gaya hidup gereja-gereja bahkan masyarakat dan bangsa di dalam masyarakat majemuk Indonesia. Dalam semangat inklusif itulah kita berjuang terus membangun rumah besar Indonesia yang di dalamnya semua orang dari berbagai suku, agama, etnik, dan golongan dapat tinggal bersama dengan penuh persaudaraan dan saling menghargai, tanpa rasa takut, curiga, dan waswas.
Keagungan Jumat Agung terletak pada kemauan dan kemampuan kita sebagai umat kristiani Indonesia untuk meneladani kerelaan Yesus dalam mereguk anggur penderitaan, bukan untuk kepentingan diri sendiri maupun golongan/kelompok, tetapi untuk orang lain, untuk sesama manusia. Keagungan Jumat Agung akan banyak tergantung pada kesediaan kita sebagai warga gereja untuk mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa dengan penuh ketaatan kepada Yesus Kristus yang tersalib itu.
Jumat Agung dan Paskah adalah tanda solidaritas serta pengorbanan Allah bagi pemulihan harkat-martabat manusia. Gereja yang ber-Paskah adalah gereja dan kekristenan yang menyatakan solidaritasnya bagi masyarakat dan bangsa yang tengah menapaki jalan penderitaan. Bukan Gereja yang teralienasi dari degup pergumulan bangsanya, gereja yang introvert dan menghabiskan waktu dan energi untuk kepentingan diri sendiri.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK