Anak dan Ibadah Gereja


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

BAGAIMANA PERILAKU KITA DI GEREJA

Kehadiran anak dalam kebaktian gereja seringkali dimaksudkan oleh orangtuanya sebagai sarana untuk mengajar anak beribadah dan duduk diam. Sikap ini sebagian didasari oleh keinginan agar anak tidak mengganggu orangtuanya ataupun orang-orang dewasa lainnya selama kebaktian berlangsung. Seringkali, keinginan ini timbul dari keyakinan bahwa "latihan" ini penting agar kelak saat ia sudah besar, dapat bersikap baik dalam kebaktian di gereja. Pada taraf tertentu, sedikit keresahan dan kebisingan masih dianggap lucu jika anak itu berusia tiga tahun. Namun orangtua dengan cemas bertanya, "Tetapi bagaimana jika ia berperilaku seperti itu pada usia 13 tahun?"

Menuntut anak balita duduk diam selama satu jam atau lebih selama kebaktian tanpa ada sesuatu yang menarik minatnya adalah permintaan yang berlebihan. Sebagian orangtua mencoba dengan mengancam, membujuk, atau menyediakan beberapa jenis permainan yang tenang. Atau, berharap si anak tertidur. Usaha-usaha semacam itu mungkin berhasil dan orangtua serta orang-orang dewasa lainnya tidak terlalu terganggu selama kebaktian. Namun, berhasil membuat anak duduk diam bukanlah cara yang tepat untuk memperkenalkan anak pada ibadah yang bermakna baginya.

Meminta anak yang paling aktif sekalipun untuk diam bukanlah sesuatu yang sulit selama si anak menemukan sesuatu yang dapat menarik perhatiannya. Bahkan, anak usia satu atau dua tahun pun dapat tetap asyik bermain selama jangka waktu yang cukup lama, jika ada aktivitas yang menarik hati mereka. Daripada berkutat dengan anak yang kelebihan energi untuk duduk diam di gereja, lebih bijaksana jika orangtua menyalurkan energi dalam membantu gereja merencanakan acara yang menarik untuk anak.

Pada umumnya, lebih baik seorang anak mengikuti acara yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan khusus anak daripada dipaksa mengikuti acara untuk orang dewasa yang sama sekali tidak dirancang untuk memenuhi pemahaman dan minat anak. Sementara anak bertumbuh, jangkauan perhatiannya akan semakin luas. Saatnya akan tiba ketika apa yang dibicarakan dan dinyanyikan dalam kebaktian orang dewasa menarik minat mereka, karena sesuai dengan perhatian dan kebutuhan mereka. Tetapi, hal ini tentunya tidak terjadi pada tahun-tahun pertama usia mereka. Pada banyak gereja, karena bentuk atau sistem yang dipakai dan panjangnya waktu kebaktian, kebanyakan anak tidak dapat memahami dan berpartisipasi secara konsisten dalam kebaktian sebelum mereka menginjak usia remaja.

Lalu, bagaimana anak dapat belajar untuk duduk diam di gereja? Anak akan belajar saat ia mulai tumbuh menjadi lebih dewasa dan pada saat itu, sistem saraf mereka sudah lebih matang. Memaksa anak yang cenderung aktif untuk menjadi tidak aktif, hanya akan membuat anak memandang gereja sebagai tempat yang tidak menyenangkan. Seperti yang dikatakan Timmy kecil saat diberitahu bahwa Allah tidak menyukai kegaduhan yang dibuatnya, "Apakah Allah tidak menyukai anak-anak kecil?"

Salah satu cara untuk menolong anak mengembangkan rasa hormat adalah pemberian teladan dari orang dewasa. Anak-anak tidak menyaksikan orang dewasa berjalan hilir mudik di ruang pertemuan, berteriak di tengah orang banyak atau menerbangkan pesawat kertas dalam ruangan. Tetapi yang dilihat anak-anak di gereja adalah orang-orang dewasa yang melakukan semua hal normal yang mereka lihat di tempat lain: berdiri sambil berbicara dengan teman-temannya, tertawa, dan terkadang makan-minum. Bagi anak, perilaku orang dewasa di dalam dan di sekitar gedung gereja tidak berbeda dengan perilaku mereka di rumah, di toko, atau di tempat-tempat umum lainnya. Lalu, mengapa perilaku anak diharapkan berbeda dari kegiatan-kegiatan normal mereka di rumah ataupun di sekolah? Orang dewasa seringkali melakukan hal-hal yang amat membingungkan dengan menerapkan standar ganda yang tidak mencolok, melalui pernyataan bahwa kita harus menghormati ruang kebaktian dengan melarang anak-anak melakukan tindakan-tindakan tertentu.

Orang Kristen yang mendambakan agar anak-anak bertumbuh di lingkungan gereja harus memiliki kepastian dulu bahwa gereja dapat menerima anak sebagaimana adanya, bukan seperti yang diharapkan atau kelak diharapkan oleh orang dewasa. Hal ini bukan berarti anak-anak diizinkan berlari-lari seenaknya. Tetapi, anak-anak ini layak dihargai seperti orang dewasa -- manusia berharga karena keberadaan mereka saat ini -- bukan hanya karena suatu hari mereka akan menjadi orang penting.

BAGAIMANA PERASAAN KITA TENTANG GEREJA

Meskipun pemahaman anak kecil tentang gereja terbatas, dan perilaku kekanak-kanakan seringkali tampak tidak pada tempatnya, namun bayi dan anak batita (bawah tiga tahun) mampu membentuk perasaan yang kuat tentang gereja dan pengalaman-pengalaman mereka di sana. Dalam suatu penelitian yang menarik tentang masalah ini, Dr. Ronald Goldman mengajukan pertanyaan kepada beberapa ratus anak di Inggris. Ia menemukan bahwa sikap mereka terhadap gereja sedikit sekali berhubungan dengan pola kehadiran mereka di gereja. Melainkan, satu- satunya pengaruh terkuat terhadap perasaan-perasaan anak tentang gereja berkembang dari apakah orangtua mereka sendiri juga ke gereja atau tidak. Minat dan sikap orangtua memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap anak sehingga mendominasi pengalaman anak itu sendiri.

Para orangtua yang menganggap bahwa pergi ke gereja sebagai bagian penting dalam hidup mereka akan menularkan perasaan ini kepada anaknya. Dengan demikian, mereka mempersiapkan si anak untuk kelak memiliki pengalaman yang jauh lebih positif bila orangtua tidak dapat memberikan dukungan kepada mereka lagi. Jika melalui tutur kata dan perilaku hidupnya orangtua memperlihatkan bahwa mereka senang terlibat dalam acara-acara di gereja, maka anak pun akan berusaha menjadi seperti mereka. Tetapi, jika orangtua menunjukkan sikap-sikap negatif, maka sikap ini cenderung mengurangi sukacita yang diperoleh anak di gereja.

Pengalaman anak di gereja tidak dapat diabaikan. Pengalaman- pengalaman positif dan menyenangkan memberi kontribusi terhadap konsep anak tentang gereja. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman negatif dapat menumbuhkan penolakan atau perlawanan. Anak membentuk kesan-kesannya, bukan dari pernyataan lisan yang menjelaskan tentang gereja, tetapi dari gereja yang secara nyata dihadirinya. Baik orangtua maupun guru memiliki tanggung jawab untuk menyediakan suatu situasi di gereja yang dapat mengungkapkan kepada si anak, "Selamat datang! Tempat ini untukmu!"

Penataan ruang, persiapan para guru, dan materi-materi yang tersedia untuk dipakai, semuanya mengandung pengertian bahwa gereja telah direncanakan untuk menolong anak belajar tentang Allah dengan cara yang terbaik bagi anak-anak, yakni dengan melakukannya. Untuk menolong anak merasa senang ke gereja, maka ajaklah ia berperan serta secara penuh dalam berbagai aktivitas yang sesuai dengan tingkat usia anak, dan membangun hubungan yang mantap dan berarti dengan guru ataupun dengan anak-anak lain; dan semua itu diperkuat dengan saat-saat ibadah yang spontan dan menyenangkan. Jika gereja hanya dapat melakukan satu hal terhadap seorang anak selama tahun- tahun pertama kehidupannya, maka yang harus dilakukan adalah membantu anak merasa dikasihi oleh orang-orang di gereja. Anak yang melihat gedung gereja dan berpikir bahwa orang-orang di sini mengasihi saya, memiliki suatu pondasi yang teguh untuk menemukan gereja lebih dari sekadar sebuah bangunan, tetapi sekelompok orang yang mengasihi Allah dan mengasihi satu sama lain.

Kategori Bahan PEPAK: Doa - Musik - Ibadah

Sumber
Judul Artikel: 
Anak dan Gereja
Judul Buku: 
Mengenalkan Allah Kepada Anak (Terjemahan dari Teaching Your Child About God)
Pengarang: 
Wes Haystead
Halaman: 
80 - 83
Penerbit: 
Yayasan Gloria
Kota: 
Yogyakarta
Tahun: 
1996

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar