Pada minggu sengsara menjelang Paskah, kita memperingati dan sekaligus diperingatkan bahwa Allahlah yang telah memilih jalan penderitaan yaitu jalan salib, untuk menyelamatkan dunia umat manusia termasuk Anda dan saya. Ini bukan karena Dia harus begitu, tetapi karena Dia ingin begitu.
Aneh bin ajaib. Sebab jalan salib sesungguhnya bertolak belakang dengan nalar yang normal dan wajar.
Menurut jalan yang wajar, manusialah yang seharusnya membawa korban kepada Allah. Namun, yang terjadi pada peristiwa salib justru sebaliknya. Allah membawa korban bagi manusia.
Menurut nalar yang wajar, orang lainlah yang dikorbankan untuk kepentingan diri sendiri. Ingat tragedi Mei 1998? Ingat Ambon? Dan banyak lagi. Namun, yang terjadi pada peristiwa salib justru sebaliknya: Allah mengorbankan Diri-Nya sendiri, demi keselamatan pihak lain, Anda dan saya.
Menurut nalar yang wajar, orang akan memilih jalan pintas yang singkat dan mudah daripada jalan yang panjang dan sulit. Namun, yang terjadi pada peristiwa salib justru sebaliknya: Allah memilih jalan yang sulit dan cawan berisi minuman yang pahit.
Menurut nalar yang wajar, survival atau bertahan hidup adalah segala-galanya. Kata pepatah, semut pun akan melawan bila terinjak. Namun, yang terjadi pada peristiwa salib justru sebaliknya, di dalam kebebasan dan kedaulatan-Nya, Allah memilih kematian.
Mengapa harus salib? Padahal Allah dengan mudah dapat memilih jalan lain. Yang lebih enak. Yang lebih gampang.
Tentu tidak mungkin kita dapat menyelami sedalam-dalamnya "logika" Allah. Dia sendiri telah memperingatkan, "Jalan-Ku bukanlah jalanmu, dan pemikiran-Ku bukanlah pemikiranmu." Jangan coba-coba berspekulasi.
Namun, paling sedikit kita dapat mengatakan, dengan memilih jalan salib itu Dia mau memberikan contoh dan teladan untuk kita panuti. Dia mau memberi kita pelajaran yang amat berharga untuk kita ikuti.
Pelajaran yang pertama adalah, bahwa kasih itu mahal. Tak pernah mudah. Tak pernah murah.
Di satu pihak, dalam kepercayaan kristiani, tidak ada nilai yang lebih diagungkan daripada kasih. Namun, di lain pihak, di dalam praktik kristiani, tidak ada nilai yang telah mengalami inflasi yang begitu hebat selain kasih.
Di mana-mana, kasih telah menjadi verbal. Di mana-mana, kasih telah menjadi vulgar. Ia telah menjadi barang murahan.
Menurut pengamatan saya, penyebab utamanya adalah karena kasih telah menjadi tuntutan kepada orang lain, dan bukan pertama-tama menjadi tuntutan kepada diri sendiri.
Ketika kepentingan diri sendiri dirugikan, orang pun dengan segera berteriak: mana kasih itu? Namun, ketika ia merugikan kepentingan orang lain, adakah ia menuntut kepada diri sendiri: mana kasih itu?
Jalan salib adalah ketika Allah menuntut diri-Nya sendiri. Kalian menolak Aku, kalian membenci Aku, kalian melanggar perintah- perintah-Ku, tetapi Aku mengasihimu. Bukan kalian yang mengasihi Aku, tetapi Aku yang mengasihi kalian.
Kasih yang sejati tidak mengatakan "apabila". Kasih yang sejati mengatakan "meskipun".
Allah tidak mengatakan, Aku mengasihi kamu "apabila" kamu begini atau begitu. Yang Dia katakan adalah, Aku mengasihi kamu "meskipun" kamu begini atau begitu.
Kasih yang sejati tidak menuntut, kecuali kepada diri sendiri. Ia diuji, justru ketika kita berhadapan dengan orang yang "tidak layak" kita kasihi. Bukan "apabila", tetapi "meskipun".
Oleh karena itu, kasih itu tak pernah mudah. Ia tak pernah murah. Allah menempuh jalan salib, sebab Allah bersedia membayar mahal untuk kasih-Nya kepada manusia.
Pelajaran kedua dari peristiwa salib adalah, tidak ada kemenangan yang lebih sempurna daripada kemenangan atas diri sendiri. Itulah yang terjadi di Bukit Golgota, Allah mengalahkan Diri-Nya sendiri! Yesus tidak disalibkan. Dia menyalibkan Diri-Nya sendiri.
Mengalahkan lawan-lawan yang hebat adalah keperkasaan. Akan tetapi, mengalahkan diri sendiri adalah keperkasaan yang jauh lebih hebat.
Bukankah di sini letak kegagalan kita menilai kebesaran seseorang? Kebesaran seseorang sering kita nilai dari keberhasilannya mengatasi lawan-lawan yang tangguh. Ini tidak salah, tapi tidak cukup.
Ada begitu banyak "orang besar" di dunia ini yang menjadi besar karena berhasil menundukkan lawan-lawan yang tangguh. Akan tetapi, kemudian jatuh karena gagal menundukkan dirinya sendiri. Kepentingan-kepentingannya sendiri. Kepentingan-kepentingan golongannya sendiri. Kepentingan-kepentingan keluarganya sendiri. Egonya sendiri.
Ada begitu banyak "orang besar" di dunia ini yang naik takhta dengan perkasa, tetapi turun dengan amat tragisnya. Bukan terutama karena ia dikalahkan oleh orang lain, namun sering hanya karena ia gagal mengalahkan egonya sendiri.
Di atas salib, Yesus berhasil mengalahkan kuasa Iblis. Namun, bukan ini yang paling utama. Kapan saja dan dengan cara apa saja, Iblis sebenarnya dapat dikalahkan dengan mudah.
Kemenangan salib menjadi kemenangan yang sempurna, justru karena di sana Allah mengalahkan diri-Nya sendiri. Yaitu, dengan memilih jalan salib. Bukan jalan lain yang lebih mudah. Bukan mempertahankan takhta, tetapi seperti dikatakan Paulus, justru dengan "mengosongkan diri".
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK