(Dari Ulangan 6:4-7 sampai Kisah Robert Raikes)
Banyak sekali Guru Sekolah Minggu dan para pembina anak yang belum tahu cerita tentang bagaimana pelayanan Sekolah Minggu pertama kali diselenggarakan. Oleh karena itu, dalam edisi perdana, kami akan menyajikan terlebih dahulu sebuah artikel tentang sejarah Sekolah Minggu.
Kalau kita menelusuri kembali ke zaman Perjanjian Lama, maka sebenarnya Alkitab telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembinaan rohani anak. Pada masa itu, pembinaan rohani anak dilakukan sepenuhnya dalam keluarga (Ulangan 6:4-7). Sejak sebelum usia 5 tahun, anak telah dididik oleh orang tuanya untuk mengenal Allah Yahweh. Pada masa pembuangan di Babilonia (500 SM), ketika Tuhan menggerakkan Ezra dan para ahli kitab untuk membangkitkan kembali kecintaan bangsa Israel kepada Taurat Tuhan, maka dibukalah tempat ibadah sinagoge tempat mereka dapat belajar firman Tuhan kembali, termasuk di antara mereka adalah anak-anak kecil. Orang tua wajib mengirimkan anak-anaknya yang berusia di bawah 5 tahun ke sekolah di sinagoge. Di sana, mereka dididik oleh guru-guru sukarelawan yang mahir dalam kitab Taurat. Anak-anak dikelompokkan dengan jumlah maksimum 25 orang dan dibimbing untuk aktif berpikir dan bertanya, sedangkan guru adalah fasilitator yang selalu siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.
Ketika orang-orang Yahudi yang dibuang di Babilonia diizinkan pulang ke Palestina, maka mereka meneruskan tradisi membuka tempat ibadah sinagoge ini di Palestina sampai masa Perjanjian Baru. Tuhan Yesus ketika masih kecil, juga sama seperti anak-anak Yahudi yang lain, menerima pengajaran Taurat di sinagoge. Pada usia 12 tahun, Yesus sanggup bertanya jawab dengan para ahli Taurat di Bait Allah. Tradisi mendidik anak-anak secara ketat terus berlangsung sampai pada masa rasul-rasul (1Tim. 3:15) dan gereja mula-mula. Namun, tempat untuk mendidik mereka perlahan-lahan tidak lagi dipusatkan di sinagoge, tetapi di gereja, tempat jemaat Tuhan berkumpul.
Namun, sayang sekali, pada Abad Pertengahan, gereja tidak lagi memelihara kebiasaan mendidik anak seperti abad-abad sebelumnya. Bahkan, orang dewasapun tidak lagi mendapatkan pengajaran firman Tuhan dengan baik. Barulah pada masa Reformasi, gerakan pengembalian kepada pengajaran Alkitab dibangkitkan lagi dan pendidikan terhadap anak-anak mulai digalakkan kembali, khususnya melalui kelas Katekismus. Untuk itu, hanya para pekerja gereja yang diizinkan untuk terlibat dalam pembinaan. Namun, sedikitnya orang yang terlatih untuk mengajarkan kelas Katekismus ini menyebabkan pelayanan anak ini menjadi mundur, bahkan perlahan-lahan tidak lagi menjadi perhatian utama gereja dan diadakan hanya sebagai prasyarat bagi anak-anak yang akan menerima konfirmasi (baptis sidi).
Dari pelayanan anak, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tetapi juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan.
Barulah pada abad ke-18, seorang wartawan Inggris bernama Robert Raikes digerakkan oleh rasa cinta kepada anak-anak membuat suatu gerakan yang akhirnya mendorong lahirnya pelayanan Sekolah Minggu! Pada masa akhir abad ke-18, Inggris sedang dilanda suatu krisis ekonomi yang sangat parah. Setiap orang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan anak-anak dipaksa bekerja untuk bisa mendapatkan penghidupan yang layak. Pada saat itu, wartawan Robert Raikes mendapat tugas untuk meliput berita tentang anak-anak gelandangan di Gloucester bagi sebuah harian (koran) milik ayahnya. Apa yang dilihat Robert sangat memprihatinkan, sebab anak-anak gelandangan itu harus bekerja dari Senin sampai Sabtu. Apa yang dilakukan anak-anak pada hari Minggu itu? Hari Minggu adalah satu-satunya hari libur mereka sehingga mereka habiskan untuk bersenang-senang, tetapi karena mereka tidak pernah mendapat pendidikan (karena tidak bersekolah), anak-anak itu menjadi sangat liar, mereka minum-minum, dan melakukan berbagai macam kenakalan dan kejahatan.
Melihat keadaan itu Robert Raikes bertekad untuk mengubah keadaan. Ia dengan beberapa teman mencoba melakukan pendekatan kepada anak-anak tersebut dengan mengundang mereka berkumpul di sebuah dapur milik Ibu Meredith di kota Scooty Alley. Di sana, selain anak-anak mendapat makanan, mereka juga diajarkan sopan santun, membaca, dan menulis. Namun, hal paling indah yang diterima anak-anak di situ adalah mereka mendapat kesempatan mendengar cerita-cerita Alkitab. Pada mulanya, pelayanan ini sangat tidak mudah. Banyak anak-anak itu datang dengan keadaan yang sangat bau dan kotor. Namun, dengan cara pendidikan yang disiplin, kadang dengan pukulan rotan, tetapi dilakukan dengan penuh cinta kasih, anak-anak itu akhirnya belajar untuk mau dididik dengan baik sehingga semakin lama semakin banyak anak datang ke dapur Ibu Meredith. Semakin banyak juga guru disewa untuk mengajar mereka, bukan hanya untuk belajar membaca dan menulis, tetapi juga firman Tuhan. Perjuangan yang sangat sulit, tetapi melegakan. Dalam waktu 4 tahun, Sekolah Minggu itu semakin berkembang, bahkan ke kota-kota lain di Inggris, dan jumlah anak-anak yang datang ke sekolah hari minggu terhitung mencapai 250.000 anak di seluruh Inggris.
Mula-mula, gereja tidak mengakui kehadiran gerakan Sekolah Minggu yang dimulai oleh Robert Raikes ini. Namun, karena kegigihannya menulis ke berbagai publikasi dan membagikan visi pelayanan anak ke masyarakat Kristen di Inggris dan juga atas bantuan John Wesley (pendiri gereja Methodis), akhirnya kehadiran Sekolah Minggu diterima oleh gereja. Mula-mula oleh gereja Methodis, akhirnya gereja-gereja protestan lain. Ketika Robert Raikes meninggal dunia pada 1811, jumlah anak yang hadir di Sekolah Minggu di seluruh Inggris mencapai lebih dari 400.000 anak. Dari pelayanan anak ini, Inggris tidak hanya diselamatkan dari revolusi sosial, tetapi juga diselamatkan dari generasi yang tidak mengenal Tuhan.
Gerakan Sekolah Minggu yang dimulai di Inggris ini akhirnya menjalar ke berbagai tempat di dunia, termasuk negara-negara Eropa lainnya dan ke Amerika. Dari para misionaris yang pergi melayani ke negara-negara Asia, akhirnya pelayanan anak melalui Sekolah Minggu juga hadir di Indonesia.
Sumber: | ||
Judul Buku | : | Pedoman Pelayan Anak |
Pengarang | : | Ruth Lautfer |
Halaman | : | 191 - 194 |
Penerbit | : | Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia |
Kota | : | Malang |
Tahun | : | 1993 |
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK