KEAJAIBAN MARIA
"Sudah selesai," bisik saya di dekat telinga-Nya yang mungil. "Engkau sudah lahir, Yesus kecil."
Itu terjadi dalam kegelapan malam. Saya berbaring di atas jerami, kehabisan napas karena kesakitan dan juga karena pancaran keajaiban yang mengherankan yang menaungi kandang yang sempit ini.
Angin malam yang sejuk bertiup. Cahaya kuning dari lentera berkelip- kelip -- debu-debu menari disinari berkas cahaya itu bergerak seperti butiran emas yang bertaburan. Saya mendekap bayi itu, memandangi Yusuf yang sedang menyusun tumpukan jerami di dalam palungan sapi. Malam semakin kelam.
Saya mencium wajah mungil yang berbaring dekat pipi saya. Dan saya menghitung jemari-Nya. Satu, dua ... lima. Sementara satu demi satu jari itu menekuk, terdengar lagi suara malaikat di telinga saya, "Anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus." Kudus. Kata-kata itu bergaung. Tiba-tiba hati saya berdebar kencang, pertanyaan yang sama timbul lagi setelah saya memperhatikan kesepuluh jari mungil yang mengepal bagaikan mutiara. "Oh, Anak Manusia, sidik jari siapa yang Kaumiliki? Dengan sidik jari siapa Engkau masuk ke dalam dunia ini? Siapakah Engkau?"
Yusuf membalikkan tubuhnya seolah-olah pertanyaan itu menepuk bahunya. Suasana kandang kecil ini masih hening. Waktu seakan-akan berhenti bergerak ditahan oleh Allah sendiri. Dan perlahan-lahan jawaban itu datang, dan makin lama makin berkembang menjadi suatu kesadaran. Bayi ini -- bayi saya -- yang memandang saya dari kedalaman pandangan mata-Nya, ada di antara kita, tetapi ... tetapi Ia tidak sama dengan kita. Ia adalah Immanuel -- Allah beserta kita.
Saya menatap Yusuf, hati, dan jiwa saya begitu penuh sampai saya tidak dapat berbicara. Dan sepertinya Yusuf juga mengerti. Semuanya ada di situ -- dalam nubuat para nabi, tersembunyi dalam kata-kata yang diberitakan oleh malaikat, diam dalam kehamilan bayi yang menakjubkan, dalam keajaiban yang melingkupi palungan itu. Dan sekarang jawaban itu menjadi jelas dalam terang yang menembus ke dalam hati saya.
Saya mendekap bayi Yesus erat-erat malam itu, sadar bahkan saat ini juga kelahiran-Nya bukan hanya milik saya sendiri. Karena bayi yang baru lahir ini akan dilahirkan kembali pada semua generasi, waktu mereka mengajukan pertanyaan yang sama: Siapakah Engkau? Dan mereka akan mendengar jawaban yang sama dalam hati mereka.
Dan sekarang, di sini, di kandang yang suram tempat terjadinya keajaiban itu, sama seperti fajar yang terbit di dunia yang masih tertidur, saya mendekatkan bibir saya ke telinga-Nya sekali lagi. "Tidak, Anakku," bisik saya. "Ini belum selesai. Ini baru saja dimulai."
TAWARAN MARIA
Tiba-tiba saya terbangun, untuk sesaat saya lupa di mana saya berada. Cahaya matahari yang menembus pintu memaksa saya memejamkan mata kembali. Saya baru ingat: saya sudah menjadi seorang ibu! Saya duduk menghadap cahaya yang berkilau-kilauan. Yesus? Yesus -- bayi saya -- di mana Dia?
Di seberang palungan, Yusuf menggendong bayi mungil yang dibungkus di tangannya. "Nah, nah," katanya tersenyum. "Betul kan kataku, ibumu sebentar lagi bangun?" Ia membaringkan Yesus di atas jerami di sisi saya. Bayi kecil ini seperti suatu keajaiban yang lembut! Saya mencium ujung hidungnya yang mungil, pikiran saya kembali pada kejadian tadi malam ... sekelompok gembala yang datang tidak berapa lama setelah kelahiran-Nya, berlutut di dekat anak saya. Waktu mereka pulang, orang-orang yang ingin tahu itu, mereka menyanyikan lagu memuji Allah. Apakah mereka tahu siapa bayi ini?
Sekarang, di siang hari, kesadaran akan siapa Dia muncul dalam diri saya seperti udara baru yang menyegarkan, udara yang akan memberi kekuatan dan berhembus dalam kehidupan manusia, mengubah nasib manusia selama-lamanya. Dari balik dinding kandang saya mendengar derap langkah -- kuda-kuda prajurit Romawi, roda-roda kereta, sandal orang-orang Yahudi -- yang bergerak mengikuti bunyi gemerincing mata uang logam kaisar, menerbangkan debu-debu jalanan. Betapa anehnya, gerombolan orang ini berbaris begitu dekat dengan Tuhan yang menyatakan diri-Nya, tetapi mereka tidak menyadarinya.
Di dalam kandang, seekor anak domba mengembik pelan dan angin lembut bertiup. Yusuf membentangkan selimut untuk kami. Jari-jari saya menyentuh wajah bayi yang sedang tidur. Bayiku sayang, saya tidak tahu apa sebabnya Engkau datang. Mungkin ada hubungannya dengan orang-orang yang lewat begitu saja di luar.
"Oh, Yusuf, seandainya mereka tahu ... bagaimana mereka bisa cepat- cepat pergi begitu saja?"
Yusuf tersenyum memandang saya. Wajahnya menggambarkan kerinduan yang sudah timbul di dalam jiwa saya -- suatu harapan bahwa suatu saat nanti mereka semua akan melihat kandang ini dan meninggalkannya dengan perasaan kagum dan takjub, seperti gembala-gembala itu.
Saya menggapai tangan Yusuf. Kebenaran yang bersinar, cahayanya bahkan lebih terang daripada sinar matahari: Allah datang ke dalam dunia!
Tetapi saya ingin tahu bagaimana orang-orang akan menanggapinya? Apa yang ada dalam pikiran mereka waktu mereka meninggalkan kandang ini? Bagaimana Anak ini akan mempengaruhi kehidupan mereka selanjutnya?
Di antara tumpukan jerami yang tebal Yesus menangis. Saya membungkuk dan mengangkat-Nya. Dan tiba-tiba saya sadar, apa yang baru saja saya lakukan adalah jawaban pertanyaan saya. Saya akan meninggalkan kandang ini selama-lamanya untuk meninggikan Dia.
Anak ini anak saya, dan Ia milik semua orang.
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK