Pengalaman dari kehidupan sehari-hari biasanya memberikan pelajaran terbaik bagi kita dalam hal mendisiplin anak. Seperti kesaksian berikut ini, diangkat dari sebuah kisah nyata dari seorang ibu yang dengan kasih dan sabar mendisiplin anak gadisnya. Banyak hal seputar pendisiplinan yang dapat Anda timba dalam tulisan ini.
Sarah, anak keenam, putri bungsuku, selalu melawan semua aturan dan tidak disiplin. Aku putus asa menghadapi ulahnya. Kucoba menerapkan psikologi kebalikan ketika ia kecil. Jika ia minta pendapatku dan aku memberi jawaban tertentu, maka ia akan melakukan sebalikya. Sejak dini, aku sudah belajar memberi saran yang bertolak belakang dari apa yang kuinginkan untuk dia lakukan. Beberapa contohnya sangat mudah.
"Atasan mana yang harus kupakai, merah mudah atau biru?" "Oh, pakailah atasan berwarna merah muda." Lima menit kemudian, ia akan muncul dengan mengenakan atasan biru.
Semasa kecilnya, setiap malam, kami melakukan kegiatan yang kami sebut Altar Keluarga. Kami membeli buku cerita Alkitab dan setiap kali membacakan cerita yang berbeda. Selesai membaca kami mengajukan beberapa pertanyaan. Sarah tak pernah menjawab pertanyaan kami. Padahal, kakak laki-lakinya yang umurnya 20 bulan lebih tua, melonjak kegirangan saat ditanya dan mampu menjawab semua pertanyaan.
Sepanjang masa sekolah, Sarah selalu mengacau. Saat duduk di kelas 1 SD, Sarah tertangkap basah tengah menulis kata "cinta" besar-besar di tembok sekolah. Ia heran mengapa gurunya jengkel dengan perbuatannya itu.
"Tetapi cinta kan kata yang bagus," ia membela diri.
Ia menentang segala bentuk peraturan yang ada. Kami mencoba menerapkan berbagai tindakan kedisiplinan, dengan harapan menemukan cara yang tepat. Aku memperlakukan semua anakku dengan cara yang sama, tetapi metodeku selalu gagal pada Sarah. Aku memerlukan jalan keluar.
Di tengah keputusasaan, kami mengikuti terapi kelompok yang dipimpin Margaret, seorang mantan guru dan konselor Kristen. Air mataku bercucuran saat peserta lain menceritakan kesulitan mereka berkaitan dengan masalah kedisiplinan. Aku terhibur saat menyadari bahwa aku bukan satu-satunya orang yang memiliki anak keras kepala. Akhirnya, setelah 11 tahun terus-menerus menghadapi kekacauan, doa-doa kami pun terjawab. Aku pulang dengan bekal memadai untuk menghadapi sepekan mendatang.
Ketika membuat peraturan, mulailah dengan pernyataan seperti, "Aku tahu kau akan marah mendengar aturan ini, karena itu kau kuberi waktu 10 menit untuk marah."
Sungguh aneh, ketika diizinkan untuk memprotes, Sarah malah tidak melakukannya.
Aturan lainnya, karena Sarah termasuk jenis anak yang suka merengek, maka putri bungsuku itu paham betul bahwa ia dapat membuatku lelah, atau membuatku sangat marah, sehingga aku akan mulai berteriak- teriak.
"Masuklah ke kamar, dan lakukan kegiatan Anda," begitu saran Margaret, "Dan, ketika ia mulai merengek-rengek, bersikaplah pura- pura tidak mendengar. Jangan bicara sepatah kata pun. Para ibu cenderung senang berkhotbah, dan anak-anak hanya akan membuat Anda menangis."
Nasihat ini sangat mujarab.
Kemudian kami pindah. Karena kakak-kakaknya sudah besar, maka tinggallah Sarah dan aku di lingkungan yang baru. Ia mulai masuk SMU dan menjadi anak yang cukup populer di sekolah yang lebih kecil.
Sarah berhadapan dengan aturan yang sama, tetapi ia tetap mencoba bersikap "semau gue". Berat sekali hatiku, seolah-olah aku akan kalah perang. Suatu malam, ia mengutarakan keinginannya untuk menonton pertandingan sepakbola di lokasi yang berjarak tiga jam berkendaraan. Hari itu bukan hari libur, sehingga aku melarangnya. Bagaimana mungkin aku membiarkannya bermobil dengan sopir yang tidak kukenal? Atau pantaskah ia keluar malam pada hari sekolah?
Ia merengek-rengek, menangis, dan terus mendesak, tetapi aku tetap menolak.
Akhirnya, ia menyambar jaket dan dompetnya dan berjalan ke jalan raya. Ia tetap berniat pergi meskipun kularang. Kusambar kunci mobil dan mulai mengejarnya. Ia telah sampai di jalan raya ketika aku tiba di sana.
"Masuk ke mobil, Sarah." "Tidak!" jawabnya sambil terus berjalan dengan menegakkan kepalanya. "Masuk ke mobil."
Ia tetap melawanku dengan terus berjalan ke arah sekolahnya. Kukemudikan mobil dengan kecepatan 12,8 km/jam sekadar untuk dapat terus mengikutinya. "Masuk ke mobil," perintahku beberapa kali. Gadis itu tetap menolak.
Akhirnya ia membuka pintu mobil, melompat ke dalam dan berkata, "Baiklah, aku tidak akan pergi, tetapi aku benci Ibu. Aku benci sekali pada Ibu."
Ingin kujawab, "Tidak apa-apa." Tetapi begitu teringat kata-kata Margaret, kuurungkan niat untuk melontarkan komentar apa pun dan terus menyetir mobil ke rumah.
Seluruh episode itu berlangsung 10 menit. Ia pulang. Selamat. Sarah menolak masuk rumah. Ia memilih duduk di luar, di samping perapian, sementara itu aku membaca di dalam. Peristiwa itu menjadi titik balik dalam hubungan kami yang sulit.
Sarah kini menginjak usia 20-an, dan kami gemar melakukan kegiatan bersama-sama. Suatu hari kami sedang berbelanja, ia bertanya, "Apakah Ibu ingat ketika Ibu melarangku menonton pertandingan sepakbola?"
"Tentu saja."
"Hari itulah aku mengetahui bahwa Ibu mencintaiku."
"Betulkah begitu?"
"Ya, dulu kupikir Ibu lebih menyayangi Matt karena ia tak pernah dihukum." Ia meraih tanganku. "Kini aku baru sadar itu karena ia tak pernah membantah dan selalu melakukan apa yang diperintahkan. Aku ini pemberontak, iya kan?"
"Ya, kamu memang begitu."
"Malam itu aku terdorong untuk berpikir banyak hal."
Kupeluk Sarah. "Ibu sangat senang mendengarnya."
Pengakuan itu terjadi saat Sarah berusia 25 tahun. Dengan pertolongan Allah, aku mampu berusaha sebaik mungkin, sekalipun baru 11 tahun kemudian aku tahu bahwa semua pendisiplinan yang kulakukan ada manfaatnya.
Belakangan baru aku memahami bagaimana perasaan Allah ketika anak- anak-Nya tidak patuh dan mendengarkan-Nya. Sekalipun demikian, Dia tidak pernah meninggalkan kita. Allah tak pernah berhenti mengasihi dan membujuk kita. Dia tak pernah menyerah, seperti kami, para ibu, yang tak akan pernah menyerah memperjuangkan yang terbaik bagi anak- anak kami. Tugas yang kuemban memang sangat berat, tetapi setiap tetesan air mata, doa, dan harapanku, tidak sia-sia.
/Birdie Etchison
Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK