Kesaksian GSM: Budi Tidak Masuk Lagi!

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Di tengah gegap gempita tepuk tangan anak-anak sekolah Minggu, aku melayangkan pandangan mataku ke ruangan kelas sambil memegang pena dan sebuah buku absen. Saat pena yang kupegang membubuhkan satu tanda silang pada sebuah nama, aku langsung tertegun. Empat tanda silang yang berurutan telah menandai sebuah nama. Itu berarti, sudah empat minggu berturut-turut dia tidak datang ke sekolah Minggu.

Namanya Budi. Anak lelaki yatim yang tidak bisa dikatakan hidup berbahagia. Tubuhnya kurus, pendek, dan ia masih duduk di kelas 5 SD, padahal seharusnya dia sudah duduk di bangku SMP. Rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat di mana kami mengadakan sekolah Minggu. Bisa dikatakan dia adalah anak yang paling tidak menyenangkan bila dipandang mata, setidaknya untuk mataku.

"Budi mana?" tanyaku saat ibadah sekolah Minggu sudah selesai kepada seorang anak yang rumahnya bersebelahan dengan rumah Budi.

"Tadi sudah kuajak, Kak, tapi katanya malas!"

Hatiku langsung berdesir menahan rasa kesal, "Uhhh ..., alasan itu lagi! Aku pastikan dia tidak akan mendapatkan kado Natal yang terbaik di akhir tahun nanti!"

"Kak, bagaimana kalau kita mengunjungi Budi saja. Kan rumahnya dekat, Kak?"

Apa! Oh tidak, dari luar saja rumahnya tidak sedap dipandang dan tampak tidak menyenangkan untuk dijadikan tempat tinggal, apa lagi kalau kita berada di dalamnya.

Aku masih terdiam dan menggerutu dalam hati saat tiba-tiba beberapa anak sudah berada di sekelilingku, "Ayo Kak, katanya kalau ada teman yang sudah lama nggak ke gereja harus dikunjungi supaya mau datang lagi."

"Iya, Kak. Budi itu malas, maunya nonton film kartun aja. Kalau kita ramai-ramai ke sana sama Kakak, mungkin Budi mau bertobat, Kak!"

"Ehh, iiiiiiya ..., iya ..., iiya ....!" kataku terbata-bata pada anak-anak sekolah Minggu-ku yang sudah semakin banyak berkumpul untuk mengunjungi temannya yang sudah lama tidak masuk itu.

Aku tertegun. Saat ini rasa kesalku berganti dengan rasa marah, rasa marah pada diriku sendiri. Oh, Tuhan ..., aku telah menjadi guru sekolah Minggu `Farisi`, hanya berkata-kata saja tanpa bisa membuktikannya dalam keseharianku. Bagaimana bisa aku menghilangkan rasa kasih yang harus kumiliki saat aku berkomitmen melayani Engkau sebagai seorang guru sekolah Minggu? Ampuni aku Tuhan!

Tanpa menunggu jatuhnya linangan air mataku, aku langsung berdiri, "Ayo, kita ke rumah Budi, kita mau berdoa untuk dia." Langkahku begitu mantap. Dengan lembut kuketuk pintu kayu yang sudah mulai lapuk itu. Kakiku begitu ringan melangkah saat memasuki rumah yang gelap dan tidak berlantai itu. Aroma tidak sedap rumah itu menjadi aroma kegirangan dalam hatiku saat Budi berlari ke arahku dan menjabat tanganku.

"Kenapa Budi tidak datang ke sekolah Minggu?" tanyaku.

"Sakit panas, Kak!"

Langsung aku sentuh dahinya. Tidak panas! Dan, raut wajahnya pun tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sakit. Suara anak-anak sekolah Minggu yang ikut dalam kunjungan itu pun kudengar berbisik- bisik menyangsikan pengakuan Budi.

Aku tahu dia berbohong, tetapi kukendalikan diriku karena aku sangat tidak suka dibohongi. Dengan memegang tangannya, aku berkata, "Kalau begitu kami akan mendoakan kamu ya, Budi!"

Minggu berikutnya, kembali kulayangkan pandanganku ke setiap bagian dalam ruangan sekolah Minggu yang penuh dengan gegap gempita tepukan tangan anak-anak yang dikasihi Tuhan. Dan, pena yang kupegang tidak menorehkan tanda silang lagi pada sebuah nama anak lelaki yang hari ini tampil begitu manis dan bersih.

Saat kulihat sukacita di wajah Budi hari itu, aku seperti melihat wajah Yesus tersenyum padaku. Aku adalah salah satu contoh hamba yang tidak setia, tetapi diberikan kesempatan oleh Tuannya untuk memperbaiki sikap dan hati dalam melayani-Nya lebih sungguh lagi. Ampuni aku Tuhan karena hampir menolak seorang anak yang mau datang kepada-Mu dan gagal menjadi teladan bagi domba-domba-Mu.

Kiriman dari: <Welni(at)>

Kategori Bahan PEPAK: Kesaksian Guru