Setelah Natal Berlalu

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Ada yang indah ketika Natal berlalu, orang menyambut tahun baru. Ada doa: semoga tahun ini lebih baik daripada tahun yang baru saja berlalu. Ada tekad: Aku mau menjadi lebih baik daripada aku yang dahulu.

Inilah saat untuk merenungkan semua pengalaman yang indah, untuk kita lanjutkan, bahkan untuk kita tingkatkan. Tetapi ini juga saat untuk dengan jujur menilai diri: Mengakui apa yang kurang dan apa yang salah, agar kita hindari dan kita perbaiki. Inilah saat yang paling tepat bagi orang untuk membuat janji pada diri sendiri. Untuk membuat sebuah resolusi yang berusaha kita tepati. Resolusi itu bisa besar, bisa kecil. Namun apa pun itu, baiklah kita pilih apa yang kita anggap paling berarti. Meskipun hidup kita tidak begitu saja atau secara tiba-tiba menjadi sempurna, kita toh secara pasti berubah menjadi semakin baik setiap kali.

Sayangnya, bagi sementara orang, tahun baru bukanlah saat yang paling tepat untuk berefleksi. Untuk merenung secara intens, dan kemudian merumuskan sebuah resolusi. Bagi sementara orang, tahun baru datang setelah semua kesibukan dan keramaian pesta Natal. Saat itu yang tersisa adalah kelelahan yang sangat, dan kebutuhan untuk beristirahat. Tidak ingin mengerjakan apa-apa. Tidak ingin memikirkan apa-apa.

Alangkah sayangnya bila demikian. Yaitu bila kita memulai awal perjalanan kita, justru dengan kondisi semangat seperti itu. Tanpa tekad. Tanpa akad. Oleh sebab itu, sekalipun tidak mudah, kita mesti menggandakan upaya kita, membulatkan tekad, dan mengumpulkan semangat. Sebab tahun baru bukanlah saat beristirahat. Dan yang jauh lebih penting lagi, Natal seharusnya tidak cuma menyisakan kelelahan yang sangat. Malah sebaliknya, Natal semestinya justru membuat kita semakin sadar dan semakin paham, bagaimana hidup mesti kita isi, dan ke mana hidup mesti kita arahkan. Pendek kata, Natal janganlah hanya membuat kita berhenti di Betlehem. Lalu tak ada apa-apa. Sebab Yesus pun tak berlama-lama di sana.

Di dalam almanak gerejawi, awal Januari adalah perayaan Epifani. Epifani artinya adalah "manifestasi" atau "pernyataan": Allah yang memanifestasikan atau menyatakan kemuliaan-Nya di dalam Yesus Kristus. Pada perayaan Epifani itu, kisah perjumpaan orang-orang Majus dengan Yesus mendapat tempat yang khusus. Orang-orang Majus menjadi fokus setelah semua peristiwa yang menyekitari kisah kelahiran bayi Yesus. Tentang mereka, Matius menulis: "Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman Raja Herodes, datanglah orang-orang Majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya, 'Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur, dan kami datang untuk menyembah Dia'" (Matius 2:1,2).

Natal adalah peristiwa ketika Allah mencari dan kemudian menemukan manusia. Setelah Natal adalah waktu untuk manusia mencari Allah dan menemukan-Nya.

Apakah Anda masih bingung, resolusi apa yang paling berarti, yang mesti Anda buat sebagai janji bagi diri sendiri? Bila memang begitu masalahnya, saya ingin mengusulkan hal berikut ini. Bagaimana bila pada awal tahun yang baru ini, yang sekaligus merupakan perayaan Epifani, kita membuat sebuah resolusi agar tahun ini kita jadikan sebagai tahun untuk mencari? Mengapa mencari? Sebabnya telah saya katakan di atas. Betapa sering, setelah kesibukan-kesibukan yang luar biasa di hari Natal, kita lalu cuma berhenti di Betlehem. Lalu tidak ada apa-apa lagi. Seolah-olah Yesus terus-menerus tinggal sebagai seorang bayi. Sampai tahun depan, kita rayakan kelahiran-Nya kembali. Padahal kita tahu, Yesus tidak berlama-lama di Betlehem. Setelah Betlehem, lalu Mesir. Setelah Mesir, lalu Nazaret. Setelah Nazaret, lalu Yerusalem.

Kisah kehidupan Yesus tidak berhenti dengan kisah melankolis di kandang hewan, atau cerita romantis di padang Efrata; tetapi sarat dengan perjumpaan yang intens dengan kenyataan yang pahit dan kejam dari kehidupan manusia. Kisah manisnya persahabatan, tetapi juga sakitnya pengkhianatan. Kisah indahnya kehidupan, tetapi juga seramnya kematian.

"Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur, dan kami datang untuk menyembah Dia." Kalimat yang terakhir itu, amat menentukan. Sebab kita tahu, bukan orang-orang Majus itu saja yang mencari Dia. Herodes pun, dengan sama intensnya, mencari dan ingin berjumpa dengan Dia. Namun, ada perbedaan besar di antara keduanya. Orang-orang Majus mencari untuk menyembah Dia. Herodes, sebaliknya, mencari untuk membunuh- Nya.

Tidak cukup menjadikan perjalanan hidup kita hanya sebagai sebuah upaya untuk mencari. Sebab yang akhirnya menentukan adalah, apa yang kita cari? Dan, apa yang hendak kita lakukan dengan yang kita cari itu? Di mana-mana kita berjumpa dengan orang-orang yang mencari. Orang-orang yang tidak puas dengan apa yang ada, dan ingin memperoleh yang lebih lagi. Tetapi di mana-mana kita juga melihat bahwa apa yang dicari itu bersifat membunuh dan mematikan. Membunuh dan mematikan sesama serta sekitarnya. Dan yang pada hakikatnya, akhirnya membunuh dan mematikan dirinya sendiri.

Itulah yang kita lihat pada orang-orang yang mencari serta menumpuk kekayaan dengan tak puas-puasnya. Itulah yang kita lihat pada orang- orang yang mencari dan mempertahankan kekuasaan sebesar-besarnya, tanpa mau berbagi dan berhenti. Itulah yang kita lihat pada orang- orang yang mencari dan mereguk kenikmatan tanpa mengenal batas dan tanpa memedulikan mana yang benar dan mana yang salah.

Mencari Yesus sama sekali berbeda. Bila kita mencari Dia, di manakah kita dapat menjumpai-Nya? Seperti kisah orang Majus, kita tak dapat menemukan-Nya di Yerusalem, tetapi di Betlehem, di kandang binatang. Dia harus kita temukan di jalan kasih dan pengurbanan. Dia harus kita temukan dalam solidaritas dengan mereka yang lemah, miskin, hina, dan tertindas. Dia harus kita temukan dalam semangat ketaatan dan penyerahan diri yang penuh kepada Allah. Tidak di istana. Tidak pula di gereja. Tetapi di tengah kehidupan nyata.

Kategori Bahan PEPAK: Perayaan Hari Raya Kristen

Sumber
Judul Buku: 
Mencari Natal yang Hilang
Pengarang: 
Eka Darmaputera
Halaman: 
67 - 72
Penerbit: 
Gloria Graffa
Kota: 
Yogyakarta
Tahun: 
2003