Gideon


Jenis Bahan PEPAK: Bahan Mengajar

Pada sebuah kebun anggur dekat sebuah bukit batu, keadaan sunyi senyap. Sebatang pohon jati yang rindang tumbuh di celah-celah batu-batu dan memberi keteduhan. Di tempat yang teduh itu, nampak seorang anak muda. Ia sedang asyik bekerja dekat kilang anggurnya. Tetapi di sana tidak ada kelihatan buah anggur. Kalau begitu, apa kerjanya? Ia sedang menumbuk gandum dalam kilang itu. Jeraminya dipisahkan dari butir-butir gandum lalu dibuangnya. Kemudian butir-butir gandum itu dikumpulkan dalam kantong.

Pada sebuah kebun anggur dekat sebuah bukit batu, keadaan sunyi senyap. Sebatang pohon jati yang rindang tumbuh di celah-celah batu-batu dan memberi keteduhan.

Di tempat yang teduh itu, nampak seorang anak muda. Ia sedang asyik bekerja dekat kilang anggurnya. Tetapi di sana tidak ada kelihatan buah anggur. Kalau begitu, apa kerjanya?

Ia sedang menumbuk gandum dalam kilang itu. Jeraminya dipisahkan dari butir-butir gandum lalu dibuangnya. Kemudian butir-butir gandum itu dikumpulkan dalam kantong. Gandum itu sangat berharga baginya. Tetapi anak muda itu nampak sangat murung. Matanya suram, hatinya sangat sedih.

Kadang-kadang, ia berdiri di atas bongkah batu yang sedang dibakar oleh matahari yang panas terik. Lama ia menatap ke sebelah timur. Nampak gandum yang sedang menguning di ladang. Di sana-sini, kelompok-kelompok manusia bekerja dengan terburu-buru. Orang-orang Midian belum kelihatan, tetapi mereka pasti datang karena musim panen sudah tiba. Tiap-tiap tahun mereka muncul dari gurun pasir untuk merampok, sudah 7 tahun berturut-turut. Mereka adalah segerombolan perampok yang terkenal ganas, datang mengendarai unta. Mereka berpencar ke segala jurusan dan siapa saja yang dijumpainya pasti dibunuhnya. Barang-barang yang tidak dirampas, dirusaknya. Kambing, sapi, atau keledai pun ikut dirampas. Bila mereka sudah kembali ke seberang Sungai Yordan, barulah orang-orang Israel keluar dari gua-gua dan celah-celah di pegunungan dan bukit-bukit di mana mereka bersembunyi. Bangsa Israel sangat menderita. Mereka bekerja keras bertani dan memelihara ternak, tetapi yang meni kmati hasilnya adalah orang-orang Midian.

Itulah sebabnya Gideon yang sedang asyik bekerja dekat kilang anggur itu sedih. Bangsanya sampai ditindas dan diperas demikian. Memang bangsa Israel kembali sengsara lagi, karena meninggalkan Tuhan. Itulah yang paling menyedihkan hati Gideon. Debora sudah lama meninggal. Siapa yang berani memimpin bangsanya melawan perampok dan penindas jahat itu?

Tiba-tiba Gideon terkejut. Siapa itu, yang duduk di bawah pohon jati? Seorang laki-laki memandang kepada Gideon. Lalu Gideon mendengar orang itu mengatakan: "Hai pemuda yang perkasa, Tuhan besertamu!" Tuhan besertamu? Gideon geleng kepala.

"Ya, tuan," sahutnya, "bila Tuhan Allah beserta kami, mengapa dibiarkan-Nya kami sengsara seperti ini? Di mana segala keajaiban yang pernah Tuhan lakukan dulu terhadap nenek moyang dan para orang tua kami? Tuhan sudah meninggalkan kami dan membiarkan kami dikuasai oleh orang-orang Midian." Orang itu mendekat lalu berdiri di hadapan Gideon. Katanya dengan tegas: "Pergilah, hai Gideon. Engkau harus membebaskan Israel. Aku datang untuk menyuruhmu!"

Gideon terkejut. Ia gemetar. "Aku?" sahutnya.

Ia takut. "Aku? Aku tidak patut dipilih. Aku orang biasa saja. Lagi pula aku anak bungsu di keluarga kami!" "Aku akan besertamu," kata orang itu, "dan kamu akan membinasakan orang-orang Midian."

Gideon berlutut dan menundukkan kepalanya ke tanah. Aku akan besertamu! Itu bukan manusia, tetapi malaikat Tuhan, bahkan Tuhan Allah sendiri berkata kepadanya. Kalau begitu, segalanya mungkin, asal Tuhan bekerja. Disembelihnya seekor anak kambing dan dipersembahkannya kepada Tuhan Allah di tempat itu. Kemudian ia pulang ke rumah dan berjalan dalam kotanya, kota Ofra, matanya bersinar-sinar. Rahasia besar yang ada dalam hatinya sudah menghilangkan segala kesedihannya. Ia tak putus asa lagi.

Malam tiba. Kota Ofra tidur dengan nyenyak. Dekat rumah Yoas, ayah Gideon, terdapat sebuah mazbah tempat memuja Baal. Di sampingnya ada sebatang tiang pujaan Dewi Asyera, dewi langit. Seluruh kota datang ke tempat itu. Di sini, mereka membakar korban dan memuja Baal dan Asyera. Sungguh besar dosa bangsa Israel. Mereka lupa akan hukum Allah yang dulu diberikan oleh Musa. Yoas juga turut berdosa.

Sssstt, apakah itu? Pintu dibuka perlahan-lahan. Pintu rumah Yoas. Beberapa bayang-bayang hitam menuju tempat Baal. Sebuah parang yang berkilat-kilat tampak dalam sinar bintang yang hampir pudar.

"Runtuhkan patung Baal dan tiang pujaan itu," bisik seseorang. Itu suara Gideon. Begitulah perintah Tuhan Allah. Sepuluh pembantunya segera menurut perintahnya.

Pagi-pagi benar, ketika orang-orang Israel melihat patung Baal sudah rusak binasa, mereka marah. Tiang pujaan Asyera pun sudah tumbang. Tak jauh dari situ, nampak mazbah baru untuk Tuhan Allah. Di atasnya masih ada sisa-sisa korban yang baru dibakar. Mereka ribut. "Siapa yang berani berbuat ini? Siapa yang merusak patung Baal ini?" hardik mereka dengan suara keras. Siapa lagi? Tentu saja Gideon. Mana dia? Berbondong-bondong mereka menuju ke rumah Yoas. Rumah itu dikepung, lalu Yoas dipanggil keluar. "Mana anakmu?" mereka berteriak. "Ayo, bawa ke sini, supaya kami bunuh!"

Yoas terkejut. Tetapi ia cerdik. Lalu dijawabnya: "Mengapa kamu harus berjuang untuk Baal? Baal bukan anak kecil, tidakkah ia dapat mengurus urusannya sendiri? Kalau ia benar-benar dewa, ia akan menghukum anakku. Sabar saja."

Benar juga kata Yoas. Bangsa Israel menunggu hukuman Baal. Gideon akan dihukum berat, pikir mereka. Tetapi ternyata tidak terjadi apa-apa, Gideon tetap sehat dan tidak diganggu oleh apa pun. Tak lama kemudian ada kabar, bahwa Midian sudah datang dan sekarang berada di lembah Yizreel.

Gideon tak sabar lagi. Roh Tuhan mendorong dia. Ia meniup nafirinya yang bergema sampai ke mana-mana. Lalu disuruhnya utusan-utusan untuk memberitahukan kepada sukunya, suku Manasye, supaya mereka mengangkat senjata. Juga ke suku-suku lainnya: Asyer, Zebulon, dan Naftali dikirimnya utusan.

Dari segala jurusan, orang-orang datang dengan senjata masing-masing, siap untuk berperang. Makin lama pasukan Gideon makin besar jumlahnya. Tetapi Gideon agak ragu-ragu juga. Sudah dilihatnya bagaimana kuatnya tentara bangsa Midian. Mereka mengendarai unta beribu-ribu banyaknya. Lembing mereka tajam. Musuh itu jauh lebih kuat daripada bangsa Israel.

Gideon percaya juga bahwa ia dapat mengalahkan musuh yang bersenjata lengkap itu, tetapi pikirannya tak dapat menerima bahwa hal itu mungkin. Ia berjalan di tengah-tengah pasukannya dengan hati yang sangat gelisah. Ia berdoa, "Ya, Tuhan, tolonglah aku! Kalau Tuhan sungguh-sungguh mau membebaskan bangsa Israel, katakanlah kepadaku!"

Lalu dibentangkannya sehelai kulit domba di tempat pengirik gandum. "Jika hanya kulit ini yang berembun dan seluruh tanah di sekitarnya tetap kering, aku akan percaya bahwa Tuhan akan menolong Israel melalui tanganku. Aku akan percaya bahwa Tuhan Allah akan memberi kemenangan kepada kami." Keesokan harinya, ketika ia memeras kulit domba itu, ia berhasil memeras semangkuk air dari kulit itu, padahal pasir sekelilingnya tetap kering.

Gideon amat girang. Tetapi perasaan takutnya belum hilang. Sekali lagi dibentangkannya kulit di tanah. "Ya Tuhan, janganlah kiranya Tuhan marah kalau sekali lagi aku minta tanda. Biarlah tanah ini besok pagi basah karena embun, tetapi kulit ini tetap kering."

Tuhan Allah mengabulkan permintaannya. Keesokan harinya tanah dan rumput sekelilingnya basah karena embun, tetapi kulit itu kering. Sekarang Gideon tidak takut lagi. Dengan penuh keberanian, ia menghadapi musuhnya.

Dua kali kepercayaan Gideon diperkuat. Sekarang dua kali ia akan dicobai oleh Tuhan Allah. Tuhan ingin mengingatkan bangsa-Nya, bahwa Tuhanlah yang membebaskan mereka, bukan Gideon, bukan senjatanya, juga bukan prajuritnya.

"Tentaramu terlalu banyak, Gideon," kata Tuhan. Terlalu banyak? Gideon heran, tetapi ia menurut kehendak Tuhan. "Siapa yang mau pulang, silakan pulang saja," katanya. Sebanyak 22 ribu orang segera pulang. Tinggal sepuluh ribu lagi. Tetapi itu juga masih terlalu banyak. Sekali lagi Tuhan menguji Gideon. Tuhan menunjuk 300 orang yang boleh tinggal, yang lain disuruh pulang saja.

Tetapi Gideon tidak takut, biar tentaranya hanya sedikit. Tuhan ada di sampingnya.

Malam tiba. Ia berdiri di atas gunung bersama-sama dengan pasukannya yang sedikit itu. Di lembah gunung itu, nampak unggun api musuh yang menerangi berlapis-lapis tenda dan banyak unta musuh. Tetapi Gideon tidak lagi gentar melihat musuhnya yang banyak itu. Tengah malam Gideon bangun. Perlahan-lahan ia turun ke bawah. Ada kuasa yang memimpin dia. Ada suara yang tidak terdengar oleh pasukannya yang memerintahkan dia supaya pergi ke tempat perkemahan musuh. Hanya Pura, pengawalnya, turut dengan dia. Hati-hati mereka menyelinap ke arah musuh. Pengawal-pengawal tidak melihat kedua orang itu. Akhirnya mereka tiba dekat unggun api di pinggir perkemahan orang Midian.

Tiba-tiba mereka mendengar orang yang berteriak ketakutan. Segera kemudian terdengar pula suara yang lain. Bunyi itu datang dari kemah di depan mereka. Gideon merapatkan telinganya ke dinding yang tipis itu.

Rupanya seorang prajurit terjaga. Ia bermimpi. Kemudian ia menceritakan mimpinya itu kepada temannya. "Aduh," katanya, "mimpiku aneh sekali. Aku bermimpi ada seketul roti terguling-guling dari gunung ke lembah ini. Roti itu makin lama makin besar dan menuju perkemahan kita lalu menghantam semua kemah sampai hancur rata dengan tanah."

Prajurit yang satu lagi menyela: "Aku tahu artinya. Kita akan binasa. Gideon akan mengalahkan kita sampai habis!" Suaranya gemetar karena takut. Gideon sangat girang mendengar percakapan mereka. Di dalam gelap itu, dekat musuhnya, ia berlutut mengucap terima kasih kepada Tuhan. Ia mengerti sekarang bahwa Tuhan menyuruh dia mengintai ke sana untuk meyakinkan dia bahwa Tuhan beserta bangsa Israel. Cepat-cepat ia pulang ke pasukannya. Semangat pasukan kecil itu berkobar-kobar. Mata mereka bersinar-sinar waktu Gideon menjelaskan siasat yang akan dilakukannya.

Tiap-tiap prajurit diberi sebuah nafiri dan sebuah kendi yang kosong. Di dalam kendi itu disembunyikan obor yang menyala. Kemudian pasukan yang 300 orang itu dibagi menjadi tiga regu, masing-masing terdiri dari 100 orang. Lalu mereka mengepung musuh. Menjelang tengah malam, para pengawal orang Midian berganti jaga. Tentara lainnya tidur nyenyak. Saat itulah Gideon memberi aba-aba. Ia menghempaskan kendinya ke batu sehingga pecah dan obornya nampak menyala dalam kegelapan malam itu. Melihat obor Gideon yang menyala itu, pasukan Israel pun memecahkan kendi masing-masing. Lalu Gideon meniup nafirinya sekuat-kuatnya, diikuti oleh tiga ratus nafiri orang-orang Israel yang sudah mengepung perkemahan Midian. Orang-orang Midian yang tersentak dari tidurnya tiba-tiba melihat nyala api mengepung mereka ditambah lagi dengan bunyi nafiri yang memekakkan telinga. Orang-orang Midian berusaha mencari senjatanya. Berapa ribu orang Israel datang menyerbu? Orang-orang Midian tidak tahu.

"Pedang untuk Tuhan dan untuk Gideon!" pekik orang-orang Israel membahana.

Orang-orang Midian kebingungan, lari tak tentu arah dan berteriak-teriak ketakutan. Mereka kacau balau. Tak mengenal kawan atau lawan. Alhasil, mereka saling menyerang satu sama lain dan saling membunuh, sedang pasukan Gideon tetap berdiri mengepung musuh. Akhirnya orang-orang Midian berlarian tak tentu arah. Sebagian lari ke Sungai Yordan dengan maksud mau terus menuju ke negeri Midian. Tetapi banyak yang tak dapat mencari jalan dalam kegelapan itu. Keesokan harinya mereka dibunuh oleh orang-orang Israel yang datang membantu tentara Gideon.

Gideon bersama-sama dengan pasukannya terus mengejar musuh yang berhasil menyeberangi Sungai Yordan. Raja-raja Midian dibunuh juga. Barang-barang mereka dirampas semua. Benarlah kata Tuhan Allah, orang-orang Midian habis musnah.

Seluruh bangsa Israel berterima kasih kepada Gideon. Mereka ingin mengangkat dia menjadi raja. Dan sesudah dia, anaknya. Tetapi Gideon menolak. Bukan dia yang melepaskan bangsa Israel dari tindasan musuh, tetapi Tuhan Allah. "Aku maupun anakku tidak akan menjadi pemimpinmu. Tuhanlah pemimpinmu."

Itu yang selalu dipesankannya kepada bangsanya selama hidupnya: Tuhan adalah Raja Israel dan tak ada dewa berhala lain di samping-Nya. Tetapi sesudah Gideon mati dan dikuburkan di kota Ofra, kota ayahnya, Israel lupa akan kata-katanya. Tak ada lagi orang yang menjadi pemimpin bangsa Israel, lalu mereka kembali menyembah dewa berhala. Bahkan baju imam yang oleh Gideon disuruh buatkan, mereka sembah juga. Bangsa Israel yang bodoh! Sebab itu mereka jatuh lagi dalam sengsara.

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Sekolah Minggu

Sumber
Judul Buku: 
Cerita-Cerita Alkitab Perjanjian Lama
Pengarang: 
Anne de Vries
Halaman: 
214 -- 220
Penerbit: 
BPK Gunung Mulia
Kota: 
Jakarta
Tahun: 
1999

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar