Mendidik Anak Sekolah Minggu Secara Terencana

Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Ini berarti: suatu tindakan terencana (yang dipersiapkan sebelumnya) untuk mentransformasikan suatu pengetahuan (atau hal yang hendak diajarkan) kepada anak, sehingga anak terbentuk menjadi pribadi tertentu seperti yang diharapkan (yang tampak dalam kehidupannya sehari-hari). Perhatikan:

  • Ulangan 6:1-9, guru diminta mengajarkan secara berulang-ulang, agar anak-anak mencintai Allah setiap saat dimanapun mereka berada.
  • Matius 28:19-20, guru diharapkan mengajarkan segala sesuatu yang diajarkan Tuhan Yesus, sehingga mereka menjadi murid Tuhan Yesus.
Seluruh usaha keras guru dalam mendidik atau mengajarkan ajaran-ajaran itu adalah agar seluruh ajaran itu tertransformasi dalam kehidupan sehari-hari anak-anak didiknya.

Artinya anak menjadi subjek yang diharapkan menjadi pribadi mandiri yang mengasihi Allah dengan seluruh totalitas dirinya, dengan cara hidup seperti yang Yesus ajarkan dan teladankan. Itu sebabnya Calvin (reformator) menekankan pentingnya pengajaran jemaat, juga untuk jemaat dewasa dalam kebaktian hari Minggu. Itu sebabnya nama "SEKOLAH MINGGU", sangat tepat untuk kegiatan pendidikan Kristen bagi anak-anak! Karena fungsi "sekolah" memang harus ada dalam sistem pembinaan anak-anak!

Jadi pola hubungan guru-anak seharusnya adalah sebagai berikut:

Guru    ===>   - Mendidik/mengajar (sesuatu)       ===> Anak SM
               - Melatih anak (melakukan sesuatu)
               - Mendiskusikan (sesuatu hal)
               - Melakukan bersama anak (sesuatu hal)
               - Memberi kesaksian (pergumulannya)
atau model hubungan guru-anak menjadi:
Subjek  ===>      (yang saling berbagi)      ===> Subjek
Aktif                                             Aktif
Fasilitator                                       Adik seiman
Hayati Firman                                     Hayati Firman
Guru dan anak saling berbagi perasaan, pergumulan, pikiran dan pendapat masing-masing, sedemikian sehingga guru dapat memahami "dunia" anak dan pergumulan mereka. Kemudian guru menyampaikan berita Injil dalam "bahasa anak" dan sesuai dengan "dunia" dan pergumulan anak-anak tersebut. Jadi dalam hal ini anak dibimbing oleh guru (sebagai fasilitator) agar makin mengenal dan mencintai Tuhan Yesus.

Semua upaya pendidikan/pengajaran tersebut, haruslah mempertimbangkan juga berbagai dimensi dalam perkembangan anak, seperti dimensi: kognitif (pengetahuan), afektif ( penghayatan-perasaan), psikomotorik (ketrampilan fisik), umumnya ketiga hal itu saling berkaitan (dan harus diperhatikan) jika dikehendaki hasil pendidikan yang efektif dan memuaskan!

Biasanya guru (banyak Sekolah Minggu) hanya menekankan aspek kognitif (atau aspek pengetahuan) saja dalam Sekolah Minggu, hal itu tampak dari isi dan tujuan cerita guru dan tampak dari aktivitas kelas sesudah cerita, perhatikan contoh berikut:

  • Tujuan dan isi cerita guru pada umumnya hanya memberikan pengetahuan atau informasi atau data-data kepada anak-anak Sekolah Minggu.
  • Aktivitas kelas biasanya berupa tugas "mengingat" kembali informasi yang sudah diberikan, misalnya:
    • Siapakah tokoh-tokoh utama cerita hari ini? Dan hubungan kekerabatan antar tokoh, misalnya: tokoh A "Siapa nama ayahnya?" Berapa saudara? Berapa usianya? Apa kegemarannya?
    • Dimanakah tempat terjadinya? Nama kota "X" artinya apa?
    • Apa yang terjadi? Bagaimana urutan ceritanya?
Sedangkan aktivitas anak kecil sering berupa keterampilan (psikomotoris) dalam mewarnai, menggambar, dan sebagainya. Untuk anak 7-9 tahun aktivitas sering berupa ketrampilan membuat hasta karya (semacam slip atau pembatas Alkitab, hiasan dinding dan sebagainya). Sedangkan anak kelas besar lebih sering ditekankan kemampuan daya ingatnya, dengan berbagai aktivitas yang menekankan kecerdasan pikiran.

Akibatnya anak-anak pun dinilai dari prestasi daya ingatnya, yang paling pandai mengingat nilai paling tinggi dan sering disebut "anak Tuhan yang baik." Apa benar kebaikan anak dapat diukur sesuai "daya ingat" (kognitif)nya saja? Tetapi kenyataannya anak yang nilai daya ingatnya bernilai baik, belum tentu moralnya baik, belum tentu sopan-santunnya baik, belum tentu jujur dan sebagainya.

Demikian juga anak yang terampil berhasta karya, dan mendapat nilai baik, belum tentu anak yang moral baik, beretika baik! Celakanya, aktivitas hasta karya ini lebih diminati anak putri daripada anak laki-laki, akibatnya anak laki-laki akan memiliki bobot nilai kurang daripada yang putri, apakah ini berarti yang laki-laki kurang pandai? Belum tentu! Karena bidang minat mereka bukan itu! Memang anak laki-laki lebih suka berlari-lari, menyusun balok-balok, dsb. Lalu untuk apa penilaian aktivitas anak di kelas (selama ini) jika aktivitas itu tidak mencerminkan apa-apa? Bahkan terkesan diskriminatif (cenderung bersifat feminim). Penulis khawatir ini juga penyebab mengapa Sekolah Minggu dan gereja secara kuantitas statistik lebih banyak wanita daripada pria. Mungkinkah ada yang salah dalam aktivitas gereja?

Jelaslah ada yang kurang beres dengan sistem penilaian selama ini dalam Sekolah Minggu kita. Bukankah anak seharusnya diharapkan lebih berprestasi dalam soal moral, etika dan hal-hal yang berkaitan dengan perwujudan ajaran Kristen dalam kehidupan. Seberapapun bodohnya anak itu, seberapapun tidak terampilnya anak itu (secara psikomotoris), asalkan ia mencintai Tuhan, anak yang jujur, sopan, bermoral, mengasihi orangtua dan teman-temannya, ia adalah anak yang baik di hadapan Tuhan.

Karena itu, sebenarnya tugas guru lebih pada pengajaran iman dan pengajaran moral daripada pengajaran berbagai pengetahuan atau ketrampilan. Jadi seharusnya lebih bersangkutan dengan dimensi afektif (penghayatan) anak. Tentu saja iman dan moral yang baik juga perlu ditunjang dengan pengetahuan (kognitif) dan dimensi psikomotorik juga. Namun penghayatan merupakan pokok tekanan pengajaran di Sekolah Minggu. Pokok ajaran Kristen (dalam Ulangan 6:4-5), yaitu agar anak mengasihi Allah dengan totalitas hidupnya.

Jadi, tidak cukup anak mengerti/tahu (secara kognitif) tentang Allah dan cerita-cerita Alkitab, tidak cukup anak terampil melipat tangan dan tutup mata (saat berdoa). Lebih dari itu, anak harus sampai pada penghayatan dan kesadarannya sendiri untuk mengasihi Allah dan berdoa pada-Nya, dan memiliki cara hidup yang sesuai dengan ajaran-Nya (dengan moral yang Yesus telah ajarkan). Dengan semangat mengasihi Allah (secara total) semacam ini jugalah, kita menjadi GSekolah Minggu yang melayani dan mengajar anak-anak. Namun sekarang muncul pertanyaan, Sekolah Minggu model apa yang dapat memenuhi tujuan-tujuan pendidikan tersebut di atas?

Kita memerlukan sebuah model Sekolah Minggu, yang menekankan aspek iman dan moral (wujud dari penghayatan iman kepada sesama) daripada aspek pengetahuan saja. Sehingga produk hasil akhirnya adalah anak terbentuk menjadi seorang anak Tuhan yang menghayati cintanya kepada Allah yang sudah mengasihinya, dan seorang anak yang hidup dengan moralitas Yesus, yaitu cara hidup/moral yang sesuai dengan ajaran Yesus. Sekolah Minggu semacam ini sangat dibutuhkan oleh anak-anak, yang hidup di tengah lingkungan masyarakat yang sering memberikan teladan moral yang buruk dalam hal: keadilan, kejujuran, kebenaran, dan kasih.

Sekolah Minggu dengan tujuan "pembentukan" pribadi anak ini, sangat sulit dibentuk oleh model Sekolah Minggu seperti yang sekarang (bentuk tradisional), yang menjadikan anak hanya objek pasif saja. Jadi perlu adanya model Sekolah Minggu yang membuat anak sebagai "subjek" yang aktif, yang di-"pupuk" agar bertumbuh dalam segala hal ke arah Yesus (Efesus 4:15). Model Sekolah Minggu semacam inilah yang diharapkan menjadi sumbangan buku ini bagi dunia Sekolah Minggu.

Dan masih ada satu masalah lagi, yaitu bagaimana anak-anak dapat bertumbuh, jika ia kurang tertarik dengan suasana kelasnya, kurang tertarik dengan acaranya, atau bahkan tidak tertarik untuk datang ke Sekolah Minggu? Karena itulah perlu dibentuk suatu model Sekolah Minggu yang menarik bagi anak-anak dalam membimbing mereka menjadi anak yang mencintai Tuhannya. Sekaligus membentuk mereka menjadi manusia yang bermoral dan penuh kasih dalam praktik hidupnya.

Kategori Bahan PEPAK: Pelayanan Sekolah Minggu

Sumber
Judul Buku: 
Teknik Kreatif dan Terpadu dalam Mengajar Sekolah Minggu
Pengarang: 
Paulus Lie
Halaman: 
64 - 67
Penerbit: 
Yayasan Andi
Kota: 
Yogyakarta
Tahun: 
1999