Emas, Keadaan, dan Lumpur Hadiah dari Anak-anak yang Bijaksana


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Waktu itu satu minggu menjelang hari Natal. Saya sedang menjaga empat orang anak kami sementara istri saya memeriksakan kesehatan bayi kami. (Menjaga anak bagi saya berarti membaca koran sementara anak-anak membuat rumah berantakan.)

Hanya hari itu saya tidak membaca. Saya menggerutu. Pada setiap halaman koran yang saya buka terpampang hadiah-hadiah yang gemerlapan, gambar rusa kutub sedang melompat-lompat, dan saya diberitahu bahwa waktunya tinggal enam hari lagi untuk memburu dan membeli barang-barang yang tidak bisa saya beli dan tidak dibutuhkan siapa pun. Apa sih sebenarnya hubungan semua itu dengan kelahiran Kristus? Tanya saya dengan jengkel dalam hati.

Terdengar suara ketukan di pintu ruang baca, tempat saya menyendiri. Lalu Nancy berkata, "Yah, kami akan mementaskan suatu sandiwara. Maukah Ayah melihatnya?"

Sebenarnya saya tidak mau. Tetapi saya mempunyai tanggung jawab sebagai seorang ayah, karena itu saya mengikutinya ke ruang tamu. Segera saya tahu, pertunjukan itu sandiwara Natal, karena di dekat kaki kursi piano terlihat lampu senter yang menyala, yang dibungkus dengan kain lampin dan diletakkan di dalam kotak sepatu.

Rex, enam tahun, datang memakai jubah mandi saya dan membawa batang pengepel. Ia duduk di kursi piano, menatap lampu senter itu. Nancy, sepuluh tahun, memakai kerudung dari seprai di kepalanya, berdiri di belakang Rex dan memulai sandiwara itu, katanya, "Saya Maria dan dia Yusuf. Biasanya Yusuf berdiri dan Maria duduk. Tetapi kalau Maria duduk akan kelihatan lebih tinggi daripada Yusuf yang berdiri, karena itu kami pikir lebih baik begini saja."

Lalu Trudy, empat tahun, berlari masuk. Ia tidak pernah bisa berjalan pelan. Ia memegang sarung bantal. Ia mengembangkan kedua tangannya lebar-lebar dan hanya berkata, "Saya seorang malaikat. "

Kemudian muncul Anne, delapan tahun. Saya langsung tahu ia berperan sebagai orang majus. Ia berjalan pelan-pelan seolah-olah sedang menunggang seekor unta (ia memakai sepatu hak tinggi kepunyaan ibunya). Dan ia dihiasi dengan segala perhiasan yang ada. Di atas sebuah bantal ia membawa tiga macam barang, pastilah emas, kemenyan, dan mur.

Berkali-kali ia berlutut ke arah lampu senter itu, kepada Maria, Yusuf, malaikat, dan saya, lalu berkata, "Saya adalah ketiga orang majus. Saya membawa hadiah-hadiah yang berharga: emas, keadaan, dan lumpur."

Dan pertunjukan itu sudah usai. Saya tidak tertawa. Saya berdoa. Benar juga apa yang dikatakan Anne! Kita menyambut hari Natal dengan beban kemewahan emas -- dengan hadiah-hadiah yang berlebihan dan pohon yang gemerlapan. Dalam keadaan seperti itu, yang dibentuk oleh waktu, tempat, dan kebiasaan, kita tidak dapat melakukan apa-apa. Dan keadaan itu, apabila kita merenungkannya, seperti lumpur.

Saya menatap wajah cerah anak-anak saya, sebagai seorang penonton yang menghargai mereka dan ingat bahwa Yesus Kristus sudah memperlihatkan kepada kita bagaimana hal-hal ini dapat diubah. Yesus Kristus datang ke dunia ini supaya dengan kedatangan-Nya Ia dapat memberi berkat yang kekal. Ia menerima keadaan yang tidak sempurna dan mengecewakan, dan lahir dalam keadaan itu supaya dapat menanamkan hal-hal yang ilahi. Bagi Anda dan saya, mungkin lumpur itu merupakan sesuatu yang tersembunyi yang harus disapu dan dibersihkan, tetapi bagi anak-anak, mereka dapat belajar dari situ untuk membentuk kehidupan mereka.

Di tengah-tengah acara yang gemerlapan, kebiasaan, dan hal-hal yang duniawi, anak-anak melihat dengan jelas kasih yang ada di dalam diri mereka yang berusaha keras untuk mereka ungkapkan.

Kategori Bahan PEPAK: Perayaan Hari Raya Kristen

Sumber
Judul Artikel: 
Emas, Keadaan, dan Lumpur -- Hadiah dari Anak-anak yang Bijaksana
Judul Buku: 
Kisah Nyata Seputar Natal
Pengarang: 
-
Halaman: 
82 - 84
Penerbit: 
Yayasan Kalam Hidup
Kota: 
Bandung
Tahun: 
1989

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar