Berharap dan Berdoa


Jenis Bahan PEPAK: Artikel

Bagiku, ibu adalah teladan yang paling hebat untuk cinta, kebaikan, kelembutan, dan pengorbanan. Ia adalah satu-satunya guru sejati yang pernah kukenal dalam hal memegang teguh prinsip kejujuran. Ia sangat berarti dalam hidupku. Aku tumbuh dalam sebuah rumah yang dibeli oleh orangtuaku, tepat sebelum aku lahir. Masa kanak-kanakku dipenuhi dengan ekspresi kasih sayang dan cinta yang sangat singkat. Ibuku menyediakan coklat hangat dan kue-kue pada sore ketika hari hujan. Ketika aku membutuhkannya, ia melemparkan senyuman hangat dan tepukan di punggungku. Aku pindah ke tempat yang tak terlalu jauh ketika aku beranjak dewasa. Lokasinya hanya beberapa mil jauhnya dari rumah kami. Aku berharap bisa memberikan kasih sayang kepada anak-anakku, seperti halnya yang kudapatkan dari kedua orangtuaku. Selain itu, anak-anakku bisa merasa aman dan terlindungi, seperti halnya yang kurasakan dari orangtuaku.

Tetapi, suatu perubahan terjadi ketika aku berkendaraan di bawah guyuran hujan pada suatu sore di bulan Desember 1989. Semua perasaan nyaman hilang dan larut dalam guyuran air hujan. Waktu itu, ibuku nyaris mati karena penyakit kanker.

Natal adalah waktu yang paling disukai oleh ibuku. Kadang-kadang, ia mengeluh tentang kesibukannya pada masa itu. Meskipun demikian, pohon Natal keluarga kami selalu dihiasi dengan hiasan-hiasan kristal yang mahal. Aku tahu bahwa ibuku sangat bangga dengan pohon spesialnya.

"Tolonglah, Tuhan," doaku ketika aku berkendaraan di tengah hujan, "tolong biarkan ibuku hidup untuk satu Natal lagi." Aku masuk ke tempat parkir sebuah mal perbelanjaan yang ramai. "Aku belum siap untuk membiarkannya pergi dan aku membutuhkannya di sini." Aku enggan untuk membeli beberapa hadiah saat itu. Tetapi, aku memilih beberapa hadiah untuk suami dan putriku. Tidak seharusnya kubiarkan perasaan kehilangan itu merusak liburan keluargaku.

Aku berdiri di tengah-tengah lokasi yang memamerkan hiasan-hiasan Natal. Kupikir, sebuah hiasan Natal bisa menjadi hadiah yang menggembirakan ibuku. Hiasan Natal mungkin bisa menghubungkannya kembali dengan kecintaannya pada Natal. Selain itu, aku berharap agar ibuku mempunyai harapan yang baru. Sekali lagi, aku berdoa agar hadiah Natal bisa memberikan harapan baginya untuk melihat hari yang diberkati ini sekali lagi. Sebuah hiasan di tempat pameran itu menarik perhatian khusus. Dengan senang hati, kuambil hiasan itu dan aku membayarnya di kasir. Aku meletakkannya di atas meja dan membalikkan sisinya. Di bagian belakang hiasan itu, butir-butir mutiara disusun dan membentuk kata "hope" (harapan)

Kulihat hiasan itu dengan pandangan tak percaya. Aku yakin bahwa ini suatu tanda bahwa ibuku akan mendapat harapan yang baru melalui hadiah ini. Ia bisa bertahan cukup lama untuk merayakan satu Natal lagi bersama kami.

Aku segera membawa hiasan itu ke rumahnya. Bahkan, aku tidak bisa berhenti membungkusnya karena keinginanku yang kuat untuk segera memberikan hadiah itu kepadanya. Aku menggenggam kantong plastik itu di dadaku. Dengan terengah-engah, kuceritakan hal itu kepadanya. Kukatakan pada ibuku tentang makna ´harapan´ itu bagiku. Ia tersenyum ketika mendengarkan ceritaku yang beruntun. Dengan hati- hati, ibuku menggantungkan hiasan yang gemerlapan itu pada pohon Natal yang besar. Pohon Natal itu terletak di sudut ruang keluarga.

Tetapi, ´harapan´ ibuku tidak sama dengan harapanku. Ketika Natal semakin dekat, ibuku mengatakan kepadaku bahwa ia ingin meninggal dunia sebelum Natal tiba. Ia takut akan mengalami sakit pada hari Natal sehingga liburan kami pada hari itu dipenuhi dengan kesedihan. Aku meyakinkan ibuku bahwa ayahku, aku, dan anakku ingin bersamanya pada Natal untuk yang terakhir kalinya, baik ia dalam keadaan sakit maupun sehat. Tetapi, ia tetap bertahan. "Aku berharap meninggal dunia sebelum Natal."

Dan, itulah yang terjadi. Ibuku meninggal pada 7 Desember 1989. Ia mengakhiri perjuangannya yang panjang melawan kanker. Kukuburkan hiasan sutra dan mutiara bersamanya. Ia meninggalkan putri satu - satunya. Aku merasa sedih sekaligus bingung. Bukankah lewat doa aku bisa menemukan hiasan ´harapan´ sebagai tanda bahwa ia akan bertahan melewati Natal? Pesan apa yang ada di balik mujizat kecil yang kualami pada Natal itu?

Akhirnya, aku mulai bisa mengerti makna mujizat itu beberapa bulan setelah kematian ibuku. Dengan kebijakan-Nya, ternyata Tuhan telah menjawab doa ibuku, dan bukan doaku.

/Candy Chand -- Antelope, California

Kategori Bahan PEPAK: Perayaan Hari Raya Kristen

Sumber
Judul Buku: 
The Magic of Christmas Miracle
Pengarang: 
Jamie C. Miller, Laura Lewis, dan Jennifer Basye Sander
Halaman: 
125 - 128
Penerbit: 
PT Bhuana Ilmu Populer
Kota: 
Jakarta
Tahun: 
1998

Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs PEPAK

Komentar